Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #31

Puisi Sapardi

ESOKNYA, PAGI-PAGI sekali, atas permintaan Aina, kami berempat, termasuk adikku dan pacar barunya yang tak kusukai, pergi berkeliling mengunjungi pulau-pulau kecil di sekitar Kota Tobelo. Pulau-pulau kecil itu berpasir putih dan dipenuhi pohon kelapa, membuat Aina terpukau dengan keindahannya. Aina tampak bahagia sekali dan terus memuji keindahan alam yang bagiku tak indah-indah amat. Namun, jalan-jalan kami hari itu hanya setengah hari sebab Aina lupa membawa tabir surya (sl: seperti biasanya Aina, pergi perang tanpa peluru).

Lantaran masih sore ketika kami tiba kembali di Tobelo, aku mengajak Aina berkeliling dengan sepeda motor adikku. Sepanjang jalan, aku memberi banyak cerita dan penjelasan kepada Aina, terlebih mengenai tempat-tempat penting bagi ingatan masa kecilku, termasuk rumah kontrakanku sebelum Kerusuhan Halmahera. Di jalan utama Kota Tobelo, Jalan Kemakmuran, aku sempat menunjukkan kepada Aina sebuah gedung bekas wartel (warung telepon). “Mbak, kata mama, dulu, aku suka ke wartel, nggak tahu kenapa, aku juga nggak ingat. Makanya setiap kali papa ke wartel buat teleponan sama temannya di luar kota, aku pasti diajak. Kadang-kadang papa nggak ada keperluan apa-apa tapi kita tetap ke wartel karena aku sering ‘nangis supaya bisa ke wartel,” kataku sambil menepuk-nepuk lutut Aina.

“Itu tahun berapa, Mas? Aku ‘aja nggak pernah ke wartel, padahal—.”

“Padahal kamu lebih tua, kan?” Kulanjutkan kalimat terputus Aina dan tawaku pecah. Aina sigap melepaskan pelukannya lalu mencubit pinggangku. Motor yang kukendarai agak oleng. Kami tertawa.

“Aina, di sini beda sama di Jakarta. Internet aja baru stabil belakangan ini. Stabil ya, bukan cepat. Ibaratnya, nanti orang Jakarta ‘udah naik pesawat ke Neptunus, orang sini masih naik becak ke rumah Agus.” Tawa kami pecah bersamaan lagi.

Kami terus menyusuri Jalan Kemakmuran; sampai di sebuah perempatan, motorku berhenti di dekat trotoar. “Nah, ini namanya perempatan pelabuhan, dulu papa punya langganan tukang cukur yang biasa mangkal di pinggir jalan daerah sini. Si kakek tukang cukur itu udah tua banget, pakai tongkat, dan dia biasanya naik sepeda ontel. Kakek itu yang buat aku ‘nulis puisi Aku Ingin di balik foto papa.”

“Waktu itu kamu bilang puisi itu—.”

“Nanti ‘aja, ya, aku cerita.”

Aina tak berkomentar. Kulihat dari kaca spion, Aina penasaran. Motor bergerak lagi, kami terus mengelilingi kota. Dibanding laknat Jakarta sore hari, penampakan Kota Tobelo lebih tenang saat sore, tak ada lampu merah, tak ada kemacetan, tak ada klakson kendaraan atau umpatan; benar-benar seperti kota mungil di Indonesia. Sampai kemudian, kami telah melintasi Rumah Sakit Umum, terus sampai Pusat Perkantoran, tempat biasanya masyarakat Tobelo menghabiskan sore. Dan persis di depan kantor bupati, Aina minta berhenti karena melihat penjual bakso. Kami lalu duduk di bangku taman membelakangi kantor bupati yang megah, di bawah rindang salah satu dari sekian puluh pohon besar di sisi jalan. Ramai sekali di situ, terlihat banyak keluarga kecil yang sedang santai sore di bawah puluhan pohon besar penghias kota, beberapa sedang bermain di taman bersama anaknya. Beberapa puluh meter dari tempat kami duduk, terlihat para pemuda sedang bermain sepak bola di tanah lapang dekat kantor bupati. Di sepanjang jalan, beberapa sedang lari sore. Di trotoar, banyak yang lesehan dan beberapa sedang berswafoto. Suasana khas kota kecil di Indonesia Timur.

Sehabis satu mangkuk baksonya, Aina tersenyum padaku. “Kamu yakin nggak mau pesan? Enak, loh. Nanti kalau nggak habis, biar aku yang makan.”

Kujawab, “Kamu gendutan, ya?”

Wajah Aina keras seketika, kaget dengan jawaban asal sekaligus candaan kurang ajarku. Tanpa suara, Aina langsung mengembalikan mangkuk kosongnya kepada si penjual. Kasihan melihat Aina, kupesan satu mangkuk bakso lagi, mencicipi sesendok kuahnya, kemudian menyerahkannya kepada Aina.

“Nggak.”

“Jangan ngambek, Mbak! Kamu ‘udah janji kita nggak berantem di sini.” Lalu kucium pipi Aina.

Muka bajanya perlahan retak dan senyum terlukis di sana, lalu melirik sekitar. “Mas, kita di tempat umum!”

Lihat selengkapnya