Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #32

Pio-Pio

HARI BERIKUTNYA DI Tobelo, hari Minggu.

Karena Tua Pendeta tak bisa meninggalkan pelayanan jemaatnya, pagi itu kuputuskan untuk pergi ke kampung tempatnya bertugas. Aku tak ingin dianggap meludahi wajahnya, lagi pula mama memesankan agar menemuinya. Awalnya aku tak berniat membawa Aina, tapi karena adikku bilang bahwa di bagian Utara Tobelo banyak penampakan alam yang luar biasa, pantai, telaga, permandian air panas, sampai air terjun, Aina merengek minta ikut. Sudah kucoba melarang secara halus agar lebih baik Aina tak bertemu dengan Tua Pendeta yang selalu bicara blak-blakan. Namun, demi cintanya pada alam, Aina tak gentar.

Kami berangkat berempat, aku, Aina, adikku, dan seorang pemuda yang dipanggil Pio-Pio. Entah dari mana asal julukan pemuda itu, tapi semua orang menyapanya begitu, termasuk Tua Pendeta. Pio-Pio adalah pemuda yang tinggal di depan rumah Tua Pendeta. Usianya dekat dua puluh, tapi ia tak bisa membaca karena tak lulus SD. Alasannya putus sekolah karena ia sering mengalami perundungan dan dianggap idiot oleh banyak orang. Padahal tak demikian, ia hanya sulit diajak bicara hal-hal yang membutuhkan kerja otak berlebihan dan bicaranya agak gagap. Ia tinggal berdua dengan adiknya yang masih SD, ibunya meninggal karena melahirkan sang adik, dan ayahnya menyusul ibunya beberapa tahun kemudian karena TBC. Lantaran keluarga besar orang tua mereka tinggal jauh sekali dari Tobelo, Tua dan adik sepupuku yang biasa memperhatikan kehidupan kakak-beradik malang itu. Karena itu aku mengenal Pio-Pio cukup baik, ia sering kumintai tolong ini itu, misalnya pergi membeli sigaret ke warung. Namun, sejak Aina mengenalnya, aku tak bisa lagi seenak hati menyuruh Pio-Pio untuk hal yang bisa kulakukan sendiri.

Lihat selengkapnya