Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #33

Tua Pendeta

USAI IBADAH, KAMI berlima makan satu meja. Selama makan siang bersama, Tua Pendeta masih menerima Aina dengan baik, jauh dari perkiraanku sebelumnya, bahkan Tua rela memulai makan siang kali itu tanpa doa ucapan syukur terlebih dahulu. Alasannya jelas, ada Aina. Padahal dalam keluarga Kristen, apalagi di rumah Pendeta, doa ucapan syukur sebelum makan adalah wajib sebab Yesus sendiri yang mewajibkannya. 

Tua banyak bertanya tentang kesehatan mama, pekerjaanku, dan pekerjaan Aina. Tua juga sempat menyinggung tentang cita-cita Opa punya keturunan seorang dokter. Pio-Pio terus-terusan diam, aku bicara sesekali, Aina bicara saat ditanya, adikku dan Tua yang bicara berulang kali. Pembicaraan kami menggunakan bahasa Indonesia karena ada Aina. Siang yang menyenangkan sebenarnya.

Sampai setelah makan siang, sebelum kami pamit, Tua meminta aku dan Aina untuk duduk di meja makan lagi. Tinggal bertiga di meja makan bulat yang terbuat dari kayu, air muka gelagat Tua tampak berbeda dari sebelumnya. Dan Tua membuka percakapan kami dengan bicara kepadaku menggunakan bahasa Tobelo, bukan dialek Tobelo seperti biasanya. Tua mungkin berpikir Aina sudah mengerti dialek Tobelo karena adanya kata-kata bahasa Indonesia di dalamnya; jadi dengan bahasa Tobelo, Tua mengira Aina akan sulit memahaminya. (Sl: bahasa Tobelo adalah bahasa lokal yang dituturkan beberapa suku di Halmahera. Penutur bahasa Tobelo tak banyak lagi, biasanya hanya para paruh baya atau sepuh yang menggunakan bahasa para leluhur ini. Aku sendiri tak menuturkannya, tapi aku mengerti saat orang bicara. Dan Tua tak pernah bicara bahasa Tobelo denganku, hanya dengan mama Tua Pendeta bicara bahasa itu kadang-kadang, tapi mama juga tak menuturkan bahasa itu, hanya paham saja ketika orang bicara. Dalam keluarga, kami bicara dalam dialek Tobelo (istilahku) atau umum dikenal sebagai bahasa Melayu Ternate, atau Bahasa Pasar orang Halmahera. Bahasa Pasar ini dituturkan oleh semua suku di Halmahera dan dimengerti oleh orang Indonesia Timur secara umum karena memiliki banyak kata yang berakar pada kata bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dialek Tobelo atau Bahasa Pasar ini merupakan bahasa sehari-hari orang Halmahera saat ini).

Kurang lebih ini yang Tua katakan kepadaku saat itu dalam bahasa Tobelo. “Mamamu sudah cerita soal Aina, katanya Aina pantas sekali jadi calon menantu, dan sekarang setelah bertemu Aina, Tua percaya kata-kata mamamu. Tua senang sekali karena Aina seorang dokter. Tapi, kamu tahu masalahnya, kan?” Tua diam cukup lama. “Terus, keputusan Billy bagaimana?”

Tak kujawab. Sempat aku melirik ke samping, dan Aina tampak kebingungan. Sekian saat lewat dan aku tak buka mulut, Tua akhirnya bicara dalam bahasa Indonesia. “Billy, Aina. Kalian sudah dewasa. Tolong ambil keputusan, ya!” Tua menjadi seperi biasanya, tanpa tedeng aling-aling.

Suasana amat tegang saat itu. Panasnya udara karena matahari di luar sedang membakar Halmahera, membikin ketegangan itu makin-makin. Kokok ayam tetangga serta mesin pemotong pohon para penebang hutan di belakang kampung yang jadi latar suara ketika kami diam. Tua lalu meraih tangan Aina yang geletak di atas meja, lalu berkata dalam bahasa Indonesia, “Aina, terima kasih banyak sudah mau datang ke sini. Tante minta maaf. Sebagai orang tua baptis Billy—.” Ucapannya itu tak diteruskan, malah Tua berkata, “Billy, Aina, sebenarnya banyak hal yang ingin Tua ceritakan, khususnya soal Mama Ade. Dulu, ada yang pernah bilang kalau pernikahan beda agama itu kutukan. Generasi satu melakukan itu, nantinya generasi berikut akan melakukannya. Tua nggak percaya, sampai kejadian Mama Ade, terus sekarang kalian. Keluarga kita punya trauma setelah keputusan hidup Mama Ade. Karena kecewa, opa dan oma nggak datang ke pernikahannya. Sampai hari opa mengembuskan napas terakhir, opa bilang, ‘saya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri karena saya gagal mendidik anak’. Dan Tua nggak mau itu terjadi sama Billy dan Aina.” Tua berhenti di situ agar kami bicara.

Lihat selengkapnya