DARI KAMPUNG TUA Pendeta bertugas, selanjutnya kami berempat—tanpa Tua—kembali ke Tobelo, lalu kami bertiga—tanpa Pio-Pio—menuju kampung halaman opa. Esok harinya tanggal 10 Juni, hari ulang tahunku, kami harus ziarah pagi-pagi sekali. Kami membatalkan rencana untuk mengunjungi tempat wisata di bagian utara karena hujan tiba-tiba mengguyur sehingga medan akan semakin sulit.
Selepas dari rumah Tua, tampak luar Aina biasa saja, wajahnya tetap ceria di samping adikku, tapi aku kenal pancaran matanya, di dalam Aina tak baik-baik saja. Mungkin Aina sedang berusaha menepati janjinya agar perjalanan kami di Halmahera, tanpa air mata.
Tiba di kampung halaman opa, di teras rumah, kami disambut oleh seorang paman satu marga—sepupu papa—yang pernah kuceritakan sebelumnya, pama yang kusebut Om Laut, seorang nelayan yang benci pemerintahan sipil; pamanku itu menangis seperti anak kecil saat Pak Harto meninggal. Ia tinggal di samping rumah kosong peninggalan opa, ia yang biasanya mengawasi sekaligus ikut merawat rumah itu.
Saat Aina kuperkenalkan, ia berkata dalam dialek Tobelo, “Om Mantri pasti senang sekali punya cucu mantu seorang dokter.” Ia lalu mengajak kami makan malam di rumahnya. “Ada babi di rumah sebelah. Tidak boleh tolak! Tantemu masak dari tadi sore. Kami tahu, kau pasti datang malam ini, Billy.”
“Om, eh, Aina nggak makan babi,” kataku.
Kening Om Laut mengerut, bingung.
“Mbak Nana muslim, Om,” kata adik sepupuku, lepas saja tanpa beban.