BEGITU KAMI DUDUK di meja makan, pamanku berkata, “Aina, kami minta maaf, ya, kalau ada yang kurang enak di hati. Ini piring-piring sudah kami ganti baru. Sekali lagi, maaf, ya, Aina.”
“Nggak apa-apa, Om. Aku justru nggak enak. Makasih banyak, Om, Tante.”
Setelah itu, kami bertujuh—aku, Aina, adikku, Om Laut dan istrinya, serta dua anaknya—diam cukup lama di meja makan. Tak ada yang menyentuh sendok atau piring. Mungkin kami berenam, kecuali Aina, bingung. Anak dan istrinya menatap Om Laut, sementara aku dan adikku saling tatap. Aina terus-terusan senyum. Pada akhirnya adikku dengan mulut kurang ajarnya, berkata dalam dialek Tobelo, “Torang tunggu saja ada yang totofore kamuka, baru tong mulai makang.” (Arti: kita tunggu sampai ada yang gemetaran karena lapar dulu, baru kita mulai makan).
Aku menggeleng beberapa kali setelah ucapannya. Namun, Aina yang malah berkata, “Nggak apa-apa, Om, Tante. Doa ‘aja.”
Makan malam itu menyenangkan. Om Laut tak mempermasalahkan Aina. Selesai di meja makan. Adikku langsung pergi ke kamar karena menghindariku, sementara Om Laut mengajak aku dan Aina mengobrol di teras rumahnya. Suasana amat tenang di sekitar kami meski jalan raya antar-kabupaten hanya berjarak beberapa langkah dari teras. Tak banyak manusia yang tampak di sekitaran, dan teras-teras rumah di sekitar kosong; jam-jam tersebut adalah jam sinetron kegemaran banyak orang sedang tayang. Satu-satunya hiburan di kampung itu adalah televisi dan sinetronnya yang dianggap para amatir di Jakarta sebagai seni tak bermutu atau hiburan ‘sampah’; sampah yang bagi banyak orang di pelosok Indonesia adalah mutiara.
Baru sekian menit mengobrol di teras, Om Laut masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebuah stoples yang dapat menampung cairan sebanyak 5 liter; di dalam stoples itu berisi cairan warna merah yang penuh akar-akar pohon. Itu captikus akar yang berbeda dengan captikus biasa yang warnanya jernih keperakan; captikus akar sulit ditemukan di luar Halmahera sebab akar di dalamnya bukan akar sembarangan. ‘Tendangannya’ pun bukan main-main, sejak dua tiga tenggak seseorang pasti melayang.
Dengan sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa, pamanku mulai menuang captikus ke dalam gelas. Saat itu aku sadar, kami akan minum captikus sesuai kebiasaan orang Halmahera, sampai matahari terbit dan baru boleh bangkit dari kursi setelah kesepakatan bersama. Karenanya aku berkata kepada Aina, “Kamu nggak ‘ngantuk, Mbak?”
“Jangan disuruh masuk dulu, Billy, saya mau bicara dengan Aina,” kata Om Laut sigap, ia mengerti maksudku.
“Aina nggak minum, Om,” kataku.