BEGITU MATAKU TERBUKA, tirai jendela kamar sudah berwarna keemasan, tampaknya matahari sudah melayang di ujung cakrawala. Kepalaku terasa amat berat. Aku kelebihan minum semalam, mungkin lebih dari dua botol. Setelah menggosok-gosok mataku dengan punggung tangan beberapa kali lalu memalingkan kepala ke kanan, aku terkejut bukan main melihat Aina berbaring di sampingku dengan hanya berpakaian dalam yang atas bawahnya kompak berwarna hitam; keterkejutanku menjadi saat aku juga sadar bahwa aku sendiri sedang bertelanjang dada.
Tetap berbaring, aku mulai membongkar jalan-jalan di dalam pikiranku. Aku lupa sama sekali apa yang terjadi setelah kami mendengar gerutu Om Laut. Ingatan terakhirku di teras rumah adalah Om Laut menghina segala hal tentang reformasi, kemudian ingatanku melompat kepada peristiwa di dalam kamar; sepotong aku masih ingat kala aku meminta dia untuk berlutut di depanku dan dia melakukannya kepada Tom untuk kali ketiga meski dia menolak dicium dan dipeluk. “Bau captikus nggak enak, Mas. Aku mau muntah,” katanya. Dan ingatanku hanya sampai di situ.
Tetap berbaring, kugenggam tubuh Tom yang sedang tegak-tegaknya, terasa biasa, artinya semalam beliau tak bekerja keras. Setelah itu, aku mengendus beberapa beberapa bagian tubuhku sendiri, tak ada jejak parfumnya. Terakhir, kujulurkan kepala dan mulai mengendus tubuhnya dari leher sampai perut, masih aroma parfum andalannya yang menusuk hidungku. Selama aku mengendus seperti anjing dan wajahku begitu dekat dengan tubuhnya, aku sadar, aku sedang mengamati sebuah maha karya tubuh perempuan, dan Tom yang berdiri tegak sejak tadi, seakan-akan harus segera terbang lepas dari sangkar. Lebih-lebih, dia lebih berisi, lebih menggairahkan karena lengkungan badannya yang makin berwujud. Saat itu, segaris cahaya matahari pagi yang terselip masuk lewat sela-sela tirai jendela, sedang menggarisi sebagian tubuhnya, membuat kulit kuning langsatnya menyala. Tanpa berpikir, saat itu tanganku mulai mengelus pahanya. Serasa tanganku sedang membelai salju di pegunungan Hermon. Tak berapa lama, kakinya bergerak. Buru-buru kulepaskan tanganku dari pahanya. Lalu aku membelai rambutnya, pagi itu Aina tidur dengan jepit rambut biru muda murahan yang kuberikan pada kencan-kencan awal kami.
Tak ingin dibudaki Tom, aku mencium pipinya lalu bangkit dari pembaringan dengan kepala yang amat berat kemudian menggeser sedikit tirai jendela untuk melihat keadaan di luar, seketika sinar matahari memukul wajahku, mataku memicing. Tirai kututup lagi lalu meraih ponsel, dekat jam 8 pagi. Dengan tetap bertelanjang dada, aku beranjak keluar kamar. Ruang tengah sepi, tak ada tanda kehidupan di dalam rumah itu; aku menuju kamar adikku, dia juga masih terlelap. Lalu kubuka pintu depan, udara pagi dan sinar matahari langsung menamparku. Dan udara pagi tanggal 10 Juni menyadarkanku, hari itu hari ulang tahunku.
Selanjutnya aku membuka jendela ruang tengah yang catnya telah memudar dan terkelupas; karena jendela itu tersangkut, aku harus memukul daun jendelanya beberapa kali agar terdorong ke luar, menciptakan suara hentakan pada permukaan papan yang berisik.
“Mas?” Suara dari dalam kamar.
Aku kembali ke kamar. Aina masih berbaring dan sedang menyeka matanya dengan telapak tangan. Melihatku masuk, Aina berkata, “Tutup pintunya, Mas. Aku lagi telanjang ini.” Pintu kamar kututup. “Sini, Mas!” Kata Aina seraya mengangkat kedua tangannya ke udara, minta dipeluk. Aku mendekat. Sebelum aku sempat menyentuhnya, Aina berkata, “Tunggu dulu. Kamu ‘udah mandi, belum?” Aku menggeleng. “Mandi dulu baru peluk! Aku nggak suka bau captikus.”
Tanpa berkata, aku menuju kamar mandi, dan di sana isi kepalaku hanya penampakannya pagi itu. Nyata sekali di dalam kepalaku, paha, perut, dan hampir seluruh tubuhnya konkret terbayang. Tom makin membesi saja.
‘Sudah mandi dan wangi. Kembali ke kamar, Aina tetap berbaring dan terlelap lagi. Aku lalu beranjak ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami. Sudah lama aku tak berdiri di depan kompor. Selama kami bersama, Aina yang terus melayaniku, padahal Aina sama sekali bukan orang dapur yang handal. Aina hanya bisa meramu makanan kambing dan sejenisnya, yang sebenarnya emoh kusebut makanan manusia. Sebagai anak kandung mama, orang dapur sejati, kemampuanku di depan kompor jauh lebih baik dari Aina. Lebih-lebih, tumbuh dengan seorang ibu yang punya usaha kuliner, banyak waktuku habis bersama mama di dapur.
Dengan alat dan bahan pinjaman dari rumah Om Laut yang kebetulan ada bihun, aku membuat bihun goreng dengan bumbu yang biasa R. pakai untuk mi gorengnya. Gagal. Bihun terlalu tipis, bumbu-bumbunya tidak meresap dengan baik, ditambah telur orak-arik tak dapat menggantikan dagin cincang yang biasa ada dalam mi goreng R. Saat adikku bangun, aku menyuruhnya memakan bihun goreng itu dan menyuruhnya ke pasar untuk membeli bahan makan siang kami. Sementara itu, nasi sisa semalam kubuatkan nasi goreng untuk Aina.
Sedang aku memasak, tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan tangan orang itu sigap memegang Tom yang sedang layu. Seketika beliau mengembung lagi. Aku menoleh, dia, telah berdaster.
“Selamat pagi, Mbak,” kataku seraya tangan kiriku melepaskan genggamannya dari Tom, saat yang sama, dia langsung membenamkan kepalanya pada tulang punggungku, “Kenapa Tom nggak boleh dipegang?”
“Pelecehan, Aina.”
Kami tertawa. “Pelecehan tapi kok ini keras?” Katanya lagi, meremas Tom lagi, kami tertawa lagi. Aku merasa janggal saat itu. Gelagatnya yang agresif amat aneh. Baru dua kali dia begitu, di Yogyakarta dan pagi itu. “Kamu duduk dulu, Mbak! Aku lagi masak ini.”
“Nggak, nggak mau. Mumpung pacarku ulang tahun hari ini dan ini pertama kalinya kita sama-sama, aku mau ‘meluk dia seharian.” Aina mengeratkan genggamannya dan membenamkan kepalanya lagi pada tulang punggungku sementara tanganku terus mengaduk-aduk isi belanga dengan spatula.
“Mas, nggak mau aku yang masak ‘aja? Hari ini kan ulang tahun kamu. Nasi goreng aku kayaknya enak.”
“‘Udah mau selesai ini. Kamu duduk ‘aja, Mbak.”
Aina menurutiku kali itu, beranjak duduk di meja makan kayu panjang.