Mengabadilah Bersamaku

E. N. Mahera
Chapter #40

Iman dan Cinta

AGAK SORE, AKU mengajak Aina untuk berkeliling kampung.

Sepanjang jalan raya dan gang-gang yang kami susuri, kami menjumpai banyak sekali orang. Berpapasan dengan mereka yang baru pulang dari kebun; para wanita yang sedang mencari kutu rambut atau bergosip di bawah pohon; para pria yang sedang memperbaiki jala di samping rumah atau kongko di teras; sekelompok orang dewasa campuran pria dan wanita atau suami istri yang sedang bercengkrama; dan tentu, para pemuda, remaja, dan anak-anak yang ada di mana-mana dengan kegiatannya masing-masing. Kampung itu kesulitan jaringan internet, jaringan telepon agak-agak, sedangkan televisi hanya dimiliki beberapa keluarga; karenanya masih banyak orang yang beraktivitas bersama.

Kadang kami mampir sebentar di beberapa rumah untuk menyapa pemiliknya yang kebetulan duduk di teras. Ketika Aina kuperkenalkan, mereka mengajukan beberapa pertanyaan:

“Kapang datang?” Mereka.

“Beberapa hari lalu.” Aku menjawab.

“Mama mana?” Mereka.

“Mama nggak ikut.” Aku.

“Mama apa kabar?” Mereka.

“Baik.” Aku.

“Ini calon istri?” Mereka menatap Aina.

Aku biasanya mengangguk.

“Kapan menikah?” Mereka menatapku.

Aku biasanya menunduk.

Cukup banyak teras yang kami singgahi dan hampir semua orang yang berpapasan pasti menyapaku. Aku mengenal hampir seluruh orang dewasa di kampung itu. Kebanyakan mereka adalah kerabat, kami berbagi marga, atau marga mereka terikat dengan margaku. Selain itu, aku sulit dilupakan oleh mereka walaupun aku hanya menetap sebentar di sana saat masih bocah. Alasannya, aku selalu pulang kampung setiap tahun, dan–tentu–kematian papa. Papa satu-satunya orang dari kampung tersebut yang mati saat peristiwa berdarah itu.

 

Jalan-jalan sore kami berlanjut sampai ke TPU kampung untuk mengunjungi pusara para nenek moyang dan kerabat, termasuk opa dan oma. Pekuburan itu berjarak hanya beberapa meter dari pantai sehingga deru ombak terdengar jelas sekali. Dari celah semak belukar dan ketapang yang membatasi jangkauan pandang ke arah pantai, terlihat laut jelang pasang. Senyum Aina lebar melihat penampakan laut itu.

Aku dan Aina berjalan melewati kumpulan pusara yang tak tertata rapih. Pusara-pusara itu ragam bentuk, banyak yang dipagari serta beratap, beberapa beratap saja, dan banyak juga yang hanya pusaranya saja, bahkan ada yang hanya ditandai dengan kepala pusara saja. Karena tanpa pengaturan petak yang jelas, apalagi TPU ini sudah ada sejak zaman Jepang, pusara-pusara di sana kelihatannya sangat berantakan. Ada kepala pusara yang menghadap timur, sebagian barat, bahkan ada yang serong seenaknya.

Suasana di TPU sangat tenang karena permukiman para penduduk lumayan berjarak dari sana, sesekali terdengar suara jangkrik dan sejenisnya; suara katak pun satu persatu mulai terdengar sebab hari semakin tua, tanda petang akan lepas, senja mendekat. Aku suka suasananya, ketenangannya. Kecuali, warna langitnya yang mulai menjingga.

Aina berbeda. Kebetulan, petak yang didiami para buyut dan keluarga besarku cukup sulit dijangkau, sehingga aku dan Aina sesekali harus melompati beberapa pusara. Aina di belakangku terus menggenggam pergelanganku, sesekali meremas kasar, bahkan bajuku ditarik-tarik bila aku berjalan terlalu cepat. “Mas, nggak ada ular, kan?”

Niat mengusilinya, tak kujawab pertanyaan itu dan wajahku kubuat tanpa ekspresi. Ketika membantunya melompati pusara yang menghalangi jalan, Aina banyak bertanya, pertanyaannya pun kebanyakan pertanyaan bocah. “Mas, ini nggak apa-apa kita lompatin kubur orang? Katanya pamali, loh.” – “Mas, kenapa kuburan-kuburan ini nggak diatur? Ini TPU, kan?” – “Mas, itu suara apa? Kamu nggak takut?” – “Mas, ini tanaman apa? Bentuknya bagus.” – “Mas, kuburan itu baru, ya? Masih banyak karangan bunganya.” – “Mas, kok kuburan ini nggak ada nisannya? Meninggalnya penasaran, ya, Mas?” Aku kebanyakan diam, menggeleng, atau menjawab sekadarnya. “Mbak, kalau kamu niat bikin aku takut, percuma, aku orang sini.”

Ada satu pertanyaan Aina yang kujelaskan cukup terperinci. “Mas, kok ada lilin di kubur itu?” Aku menjawabnya: saat seseorang mati, sejak hari dikuburkan sampai empat puluh hari mendatang, akan ada anggota keluarga yang datang setiap sore untuk membakar lilin atau pelita di atas kepala pusara. Orang-orang percaya bahwa selama empat puluh hari sejak kematiannya, roh orang mati masih kongko di bumi. Aku biasa menyebut kebiasaan itu Ritual Empat Puluh Hari

 

Tiba di depan pusara opa dan oma, penampakannya bersih. Tak ada bunga kamboja yang bertebaran di pekarangan pusara. “Kita nggak perlu repot, soalnya belum lama ini ‘udah ada yang ke sini,” kataku lalu membuka pintu pagar pusara itu. Pusara opa dan oma sama seperti pusara papa, berpagar dan beratap, seperti sebuah kediaman kecil.

Saat kami telah berada di dalam kediaman dua pusara yang berdampingan, aku berkata, “Mbak, keluargaku ‘emang sering datang ke kuburan saudara, basiloloa namanya. ‘Udah jadi tradisi keluarga. Nggak cuma dekat hari raya, hari ulang tahun, atau hari kematian ‘aja. Kalau ada yang kebetulan pulang kampung, wajib hukumnya datang ke kuburan keluarga. Keluargaku percaya hal-hal kayak ‘gitu, mereka sering cerita kalau kuburan keluarga ‘udah lama nggak didatangi dan ‘udah kotor banget, yang punya kubur akan datang lewat mimpi.”

Aina diam. Aku diam. Saat itu kamu berdiri menghadap dua pusara itu. Tak berapa lama, Aina buka mulut. “Maaf, ya, Mas, eh, kamu percaya hal-hal kayak ‘gitu? Kamu kan nggak percaya Tuhan.”

Lihat selengkapnya