Iman mengambil beberapa potong kue bolu, lalu menutup tudung saji. Dia menoleh ke sebelah tudung saji. Di situ Ibu selalu meninggalkan daftar jadwal seluruh kegiatan Bapak. Dan hampir tiap hari isinya berbeda.
Iman mengambil gulungan kertas yang isinya adalah daftar kegiatan Bapak hari ini. Ketika gulungan itu diangkat, seketika kertas itu jatuh memanjang, mengular sampai ke lantai.
Iman menahan napas sebentar.
"Tidak kaget," ujarnya, berusaha menguatkan. "Sudah sering ...."
Lalu Iman berjalan menuju wastafel, sambil menyeret gulungan kertas itu yang ternyata masih terus memanjang.
Di depan wastafel Iman mendadak diam. Beberapa detik kemudian, dia mengucapkan sesuatu yang telah diulangnya bertahun-tahun, "SOP. Cuci tangan dengan sabun menggunakan air mengalir, baik secara vertikal maupun horizontal."
"Setelah bersih, kemudian sterilisasikan dengan alkohol." Iman berpindah ke samping, di depan alkohol pencuci tangan menempel pada dinding.
"Terakhir: apron!" Iman berjalan menyamping. Tepat di hadapannya, beberapa apron berderet rapi tergantung di dinding. Dia memilih satu sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan. "Sempurna!"
*****
Sebuah ruang kamar diketuk dari luar. Si pengetuk sadar bahwa seseorang di dalam tak akan merespons. Hanya saja dia tetap mengetuk; demi kesopanan.
Untuk hal inilah Iman menembus jalan raya: bertemu Bapak. Sebenarnya, sejak di jalan menuju rumah, Iman hampir di setiap waktu teringat Bapak ketika melihat orang-orang berkedip. Kedipan yang adalah hal biasa bagi orang lain, bagi Iman justru penghubung antara dirinya dan Bapak.
Bapak berkedip lebih dari rata-rata kebutuhan berkedip orang lain. Berkedip, bagi Bapak, hampir sepenting bernapas. Karena melalui kedipan, Bapak bicara.
Kedipan bagi Bapak merupakan simbolisasi Alfabet. Itu lebih kompleks daripada huruf mana pun, karena di dalamnya ada huruf vokal, konsonan; kadang bisa berupa teka-teki, kadang juga tidak memiliki arti.
Bapak yang nyaris seluruh anggota tubuhnya lumpuh, hanya bisa bertumpu pada kedipan.