Ada macam-macam misteri ilahi di dunia ini.
Misalnya, nilai pelajaran Bahasa Inggris yang lebih tinggi dari bahasa Indonesia. Padahal kita orang Indonesia.
Misalnya lagi, pena yang selalu hilang secara misterius di kelas, padahal baru dibeli.
Dan bagi Iman saat ini, adalah informasi meninggalnya Bapak. Memang, Bapak sudah lama lumpuh. Tapi, mengetahui bahwa Bapak meninggal, rasanya aneh. Seolah perut bagian bawahnya digelitik dari dalam. Entah perasaan ini hanya dirasakan olehnya, atau justru berlaku bagi semua orang.
Iman tahu dengan baik, bahwa segala yang hidup pasti mati. Tapi entah kenapa, baginya Bapak masuk daftar pengecualian. Toh, Bapak dalam hidupnya hanya setengah hidup. Bapak enggak pernah bisa jalan-jalan, kecuali bergeser untuk sekadar BAB, itu pun dibantu. Dan jika kehidupan yang setengah hidup ini mesti ditagih kembali, rasanya itu agak "kejam".
Iman segera mengambil tas lalu pergi mengambil skuter listriknya, meninggalkan Bella yang kebingungan di kantin. Dia pulang tanpa izin, karena toh tak ada yang kenal sama dia. Percuma izin, kalau ujung-ujungnya ditanya, "Kamu murid sini, ya?"
Selama di perjalanan pulang, Iman memacu skuter listriknya sekencang mungkin. Dia sering mengeluhkan betapa lamban skuter listriknya, tapi tak pernah sampai membuatnya segelisah hari ini. Emosinya tak stabil di sepanjang jalan. Dia cenderung ke siapa, dan apa saja.
Ketika kendaraan di depannya berhenti.
"Woi, bisa jalan gak sih!? Gak guna lo beli bensin kalau cuma bikin polusi!" bentak Iman, tangannya menunjuk satu-satu wajah pemotor. Padahal sedang lampu merah.
Ketika lampu merah berubah hijau. Dan kendaraan berlalu mendahuluinya.
"Jangan sok kebut dong! Masih pake bensin aja bangga!"
Semua jadi serba salah bagi Iman. Dan perasaan ini mencapai klimaks setelah dia di depan rumah, yang sekarang ramai oleh tetangga, yang sekarang di halamannya menancap bendera kuning, yang sekarang ditunggu mobil jenazah.
Iman sejujurnya masih ingin memastikan ulang berita meninggalnya Bapak. Tapi melihat instrumen pendukung yang teramat banyak, suka tak suka, dia percaya.
"Bapak gak mungkin lagi bercanda," gumam Iman pelan, "malah, Bapak gak mungkin bisa bercanda lagi ...."
Setelah memarkir skuter listriknya di sudut halaman, Iman mencapai pintu dengan sisa tenaga yang ada. Di ruang tengah, dia melihat Bapak.