MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #9

8. Mengaku Bapak

Mengenang Bapak, adalah satu dari sekian kegiatan yang sukar dilakukan. Bapak tak pernah bicara dengan Iman. Tak pernah kegiatan apa pun bersamanya--kecuali kalau berbaring di atas kasur dianggap kegiatan.

Anehnya, di posisi saat ini, merasakan kehilangan justru jadi bagian paling sulit. Mungkin, barangkali selama ini Iman melihat Bapak sebagai tugas-tugas yang sulit, bukan sebagai bapak. Dan dalam tugas-tugas sulit itu, kadang kala, dia jenuh.

Bertahun-tahun Bapak memakan kehidupan sosialnya. Mencuri waktu dan energinya.

Mudah bagi orang lain menganggap hal ini sudah jadi kewajiban, terutama seorang anak, untuk berbakti. Tapi bagi Iman, tidak.

Ibu jadi satu-satunya pihak yang terpukul saat ini. Dia menangis. Berhari-hari.

Melihat hal itu, Iman semakin merasa bersalah. Tapi, toh dia memang tak bisa menangis, tak merasakan kesedihan. Bahkan untuk sekadar pura-pura menangis, dia tak bisa.

Sejak Bapak dimakamkan, Ibu kebanyakan ada di kamar. Sementara Iman yang canggung atas ketidaksedihannya, meliburkan diri di depan TV di ruang tengah, menonton sinetron azab. Sekalian jaga-jaga, kalau Ibu keluar kamar butuh apa-apa.

Tapi, ketika sendirian di ruang tengah, mendadak cahaya lampu meredup.

"Arus listrik lagi gak stabil pasti. Pasti salah PLN nih," gumam Imam.

Cahaya lampu yang tadinya meredup, jadi hidup-mati sesaat.

"PLN nih pasti, PLN ...."

Perhatian Iman teralih ke arah kamar mandi. Dari dalam air melimpah ke ruang tengah. Dia pun mengecek. Ternyata ada keran yang terbuka.

"Sekarang PDAM nih, PDAM pasti ...."

Setelah memastikan keran tertutup, Iman kembali ke ruang tengah. Tapi, sekali lagi air melimpah dari kamar mandi.

Iman mematikan keran. "PDAM nih pasti, P-D-A-M ...."

Lihat selengkapnya