"AAAHHH!"
Iman terlonjak kaget dari sofa di ruang tengah. Dia celingak-celinguk. Memperhatikan sekitar, mencari sosok yang rasanya ditemui barusan. Yang mirip Bapak.
"Udah bangun, Man? Ayo sini sarapan, sekolah," panggil Ibu dari dapur.
"Bu, Bapak mana?" tanya Iman setibanya di dapur, lalu duduk di meja makan.
"Bapak kan ..., udah," suara Ibu terdengar berat melanjutkan, "gak ada."
"Iya, tau kok kalau Bapak udah gak ada. Tapi tadi, Bapak ada."
"Maksud kamu?"
"Iya, tadi arwah Bapak muncul, Bu." Iman berusaha meyakinkan.
"Arwah?"
"Iya," yakin Iman.
"Bapak gentayangan?"
Iman bergidik takut, memandang sekitar seolah dia berada di tengah-tengah kuburan.
"Iya. Gen-ta-ya-ngan."
"Maksud kamu, Bapak meninggalnya gak diterima bumi terus jadi hantu? Gitu? Emangnya kejahatan apa yg Bapak lakuin?"
"G-gak gitu juga sih ...."
"Man, kamu sejak kapan mulai halu-halu gini?" tanya Ibu, ketika duduk di samping Iman.
"Bapak beneran ada pas nonton sinetron azab, gentayangin. Apa gara-gara sinetron azab itu Bapak jadi terpanggil? Kalau Ibu gak percaya, terpaksa dibuktiin ...."
Iman melompat dari kursi hingga kursinya terdorong ke belakang. Tapi, ketika dia hendak menuju ruang tengah, tangannya ditahan.
"Man, sinetron azab belum tayang sekarang. Lagian, siapa sih yang mau lihat orang kena azab pagi-pagi buta?" henti Ibu, khawatir dengan keadaan Iman. "Sekarang gini aja deh. Ibu ngerti kamu pasti sedih kehilangan Bapak. Kamu nanti di sekolah, undang aja temen-temen ke rumah buat acara tiga harian malam ini, oke?"
Iman mengerucutkan bibir. "Gak punya temen."