MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #15

14. Orang Kesepian

Dalam hidup, kadang ada hal yang tak dapat dijelaskan, yang mungkin jawabannya akan lebih mudah diterima jika dikatakan: mungkin sudah takdir. Seperti saat ini, ketika seonggok jigong berhasil mengalihkan kecurigaan Bella pada Iman.

"Gue mau balik aja!" gerutu Bella sambil menyeka wajah.

"T-tapi kita kan belum masuk puncak acaranya," kata Iman, basa-basi.

"Bodo, Man. Bodo!" balas Bella. "Lo pikir ini ultah apa pake puncak acara? Lo mau tiup lilin di mana? Ini acara orang meninggal, Man. Kalaupun ada yang mesti ditiup, sini ubun-ubun lo gue tiup biar gak kemasukan setan. Puncak acaranya dimulai sejak orangnya meninggal! Lo harusnya tau kalo ..., kalo ...."

Akan tetapi, Bella tiba-tiba memelankan suaranya dan berhenti bicara di ujung kalimat. Dia baru ingat kalau acara ini punya Iman, yang meskipun tampak terlalu santai untuk orang dalam keadaan duka.

Merasa bersalah, sambil gugup Bella berkata, "Sorry, Man ..., gue tadi ...."

"Gak apa-apa." Iman cengengesan.

"Man, lo tegar banget deh. Gak apa-apa kalau mau nangis, jangan ditahan."

"Gak ada yang harus ditangisi, karena--"

"Karena udah takdir? Man, gimana sih caranya biar jadi setegar lo?" potong Bella.

Karena justru gue gak bisa nangis, gue gak tau caranya buat sedih lho ini, batin Iman. Entah kenapa, semakin ke sini dia merasa semakin durhaka karena enggak bisa menangisi Bapak.

"Eh ..., Man, gue balik aja deh," canggung Bella, yang masih enggak enak hati.

"Gak makan dulu?"

"Gak deh. Mana bisa gue makan di tempat dan keadaan seperti ini. Ini bukan kondangan, Man. Khususnya dalam keluarga gue, yg menganut prinsip jangan makan di rumah duka. Bungkusin aja."

"Ha?" kaget Iman.

"Iya, gue gak bisa makan di sini. Bungkusin aja."

"O-oke ...."

🦆

"Jangan sedih-sedih ya, Man. Man ..., andai ada cewek yang pernah mutusin lo, dia pasti rugi banget," kata Bella saat menerima makanan dari Iman.

"Itu ..., lo ...."

Lihat selengkapnya