Iman kurang yakin apakah ini penting, atau tidak. Tapi, dari Bapak dia dapat pengetahuan baru. Bahwa saat dilanda sedih, bersedih bukan jadi satu-satunya pilihan. Kita bisa punya pilihan lain. Kalaupun tak ada, kita bisa ciptakan. Misalnya seperti Bapak, yang memilih tertawa atas kematian, dan menganggap kematiannya justru bikin dia satu langkah menuju surga.
Mungkin bagi orang lain, akan aneh melihat seorang anak memberi selamat atas "kepergian" bapaknya. Namun, justru itu hal terbaik yang bisa Iman lakukan: orang tua dan anak--yang satu hidup, yang satu arwah--saling berjabat tangan di depan gerbang salah satu SMA Negeri. Nama sekolahnya sengaja enggak disebut, sebab biar jadi rahasia sekolah mana yang tidak mengakui keberadaan muridnya sendiri seperti Iman.
"Selamat ya, udah meninggal," ujar Iman, sembari menjabat tangan tak kasatmata Bapak, yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Bapak berpikir sebentar, sebelum menerima uluran tangan Iman. Ada banyak ucapan selamat. Bisa selamat ulang tahun, selamat melahirkan, dan selamat tahun baru. Tapi ucapan selamat meninggal? Ini sekilas terdengar kejam, tapi sekaligus lucu dan unik bagi Bapak.
"Makasih, makasih lho," balas Bapak dengan wajah bangga seolah dapat penghargaan tertinggi umat manusia. "Meskipun lebih enak didengar kalau bilang: selamat menempuh 'hidup' baru."
"Oke, terus?" kata Iman, menatap Bapak dengan pandangan bingung karena belum pergi.
"Terus?"
"Bapak, ini bukannya gak sopan, ya. Tapi bisa gak Bapak pergi? Mau sekolah nih," usir Iman, memaksa tersenyum.
"Ih, pergi? Meninggal itu udah pergi paling jauh lho, Man! Masa Bapak disuruh lebih jauh lagi!? Emangnya bisa meninggal dua kali!?"
"Iya, tau ..., maksudnya gini lho, feeling ini gak enak banget kalau Bapak masih di sini ..., jadi--"
"Kelas kamu yang mana?" potong Bapak seraya menarik tangan Iman dan menuntun berjalan.
Bapak berlari-lari kecil memimpin jalan. Dia melompat beberapa kali saking semangatnya. Iman berusaha mengerti perasaan Bapak. Sekalipun bukan sebagai manusia lagi, bisa kembali jalan setelah bertahun-tahun lumpuh adalah keajaiban. Mungkin mirip perasaan senang ketemu WC setelah berjam-jam pipis ditahan.
Tapi karena saking semangatnya, Bapak lupa pada beberapa faktor penting bahwa Iman tak bisa menembus benda padat. Akibatnya, beberapa siswa keseruduk Iman, juga tembok, tiang bendera, dan baru berhenti waktu hidung Iman mimisan.
"Gak usah panik, Bapak bawa kapas," kata Bapak tak merasa bersalah, lalu mencomot kapas dari hidungnya dan diberikan pada Iman.
"Hm," dengus Iman.
Sayangnya, saat kapas itu berada di tangan Iman, saat itu pula datang bunyi "flop". Kapas itu menghilang.
"Tapi, Man, tau gak kalau ini momen yang Bapak tunggu-tunggu," ujar Bapak, berusaha mengalihkan perhatian Iman saat darah dari hidungnya mulai menetes.
"Kenapa? Momen pertama kalinya seorang bapak nganter anaknya ke sekolah?"
"Bukan ..., ini pertama kalinya Bapak bisa ngelihatin cewe SMA tanpa harus ketahuan Ibu, hehehe."
"Hm ...."
"Canda, Man. Iya, Bapak pengen nganter kamu sampai kelas pokoknya. Tapi ngomong-ngomong, kok belum ada ketemu temen-temen kamu, ya?"
"Ga punya temen."
"Pacar?"
"Apa lagi."
"Yang waktu itu mampir ke rumah, mana dia?"
"Susah jelasinnya ...."
"Sama sekali? Gak kenal siapa-siapa?"