MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #19

18. Darah Dibalas Darah?

Orang bilang, kita baru mengerti makna kehidupan justru saat di ambang kematian. Momen sepersekian detik sebelum nyawa diambil, perasaan sakit yang diderita akan berbanding lurus dengan betapa pentingnya pengetahuan yang kita dapat, yang sayangnya, berujung pada penyesalan.

Tapi Bapak, yang telah jadi hantu ini, sama sekali tak mewakili wajah orang yang pernah menderita sakit saat kematian ataupun wajah seseorang dengan penyesalan. Bapak berbeda. Ini adalah tipikal wajah yang bikin orang jengkel.

Waktu itu langit tidak hujan. Tapi, pelangi muncul entah dari mana dan berhenti persis di atas kepala Bapak. Laki-laki tua dengan lubang hidung tersumbat kapas kayak habis kena tonjok itu, sukar dipercaya hampir mengatakan sesuatu yang bikin Iman terharu. Iman baru mau bertanya soal fenomena ini, tentang pelangi di kepala, kalau saja Bapak tidak mulai bicara.

"Nah, sekarang giliran kamu buat yang buktiin ke orang-orang, kalau kamu itu penting. Sepenting anggapan Bapak tentang kamu," kata Bapak, dengan dihiasi pendaran pelangi di kepala.

"Jadi itu arti ..., arti nama saya?" tanya Iman. Matanya berkaca-kaca.

"Iya," Bapak menggaruk belakang kepala, "selain karena kalau dikasih nama Edward, kayaknya terlalu ganteng sih, hehehe ...."

Oke, Iman menyesal pernah terharu barusan.

Lalu, perasaan haru beralih ke penasaran, "Pak, itu pelangi Bapak yang bikin?"

"Pelukismu agung, siapa gerangan? Pelangi-pelangi, ciptaan Bapak," senandung Bapak.

"Bapak bisa bikin yang lain?" Iman tambah penasaran.

"Bisa, Bapak bisa bikin apa aja. Bisa bikin benda gerak, bisa bikin kangen, banyak deh. Tapi kamu jangan pikir Bapak bisa bikin pesugihan atau nyolong duit orang lain, ya! Saya ini Bapak kamu, bukan tuyul!" Lalu wajah Bapak berubah murung saat melanjutkan, "Cuma satu yang Bapak gak bisa bikin: nambah amal ibadah. Udah telat soalnya, hehehe ...."

Bingung mau sedih atau ketawa, Iman memilih untuk bertanya lagi.

"Terus, bikin pelangi biar apa?" Iman menunjuk pelangi ala-ala bikinan Bapak.

"Ini?" kata Bapak. "Ini tandanya Bapak punya ide. Bosen kalau bikin muncul lampu terus di atas kepala. Sekali-kali pakai pelangi kek ...."

Iman tak mengerti apa hubungannya pelangi sama ide. Yang Iman mulai tahu, apa pun yang berasal dari Bapak, biasanya pertanda buruk.

🦆

Iman mengelus dada. Seandainya orang lain bisa melihat apa yang dilihatnya, pasti mereka kaget. Seorang laki-laki tua setengah melayang dengan kepalanya ketindihan pelangi. Seolah-olah, dari langit pendaran warna itu khusus jatuh buat menusuk-nusuk pori kepala. Cuma Bapak yang bisa bikin pelangi jadi seseram ini.

Iman baru menyadari satu fakta penting. Terlalu dekat dengan Bapak, pada suatu waktu, ternyata memberi beberapa dampak. Misalnya saat ini, ketika Bapak menyentuh pundaknya. Bapak mendorong punggung Iman, memaksa berjalan ke tujuan yang masih jadi misteri.

Iman sebenarnya sudah melawan. Coba ke samping, tak bisa. Coba berhenti, gagal. Dia hampir melakukan segalanya supaya lolos dari Bapak, tapi tak bisa. Kedua kakinya seperti bukan miliknya lagi. Persis seperti tadi pagi, saat Bapak menarik tangannya dan bikin dia ketabrak sana-sini hingga mimisan. Dari apa yang bisa disimpulkan sejauh ini, Iman menyebutnya "fase ketempelan".

Percaya sama Bapak, Bapak sudah hidup empat puluh tahun lebih.

Iman kaget, dadanya berdebar tapi bukan karena jatuh cinta. Barusan ada suara yang didengarnya. Seramnya, bukan didengar melalui telinga. Tapi suara itu seolah ada dalam dirinya sendiri, dan berasal bukan dari dirinya sendiri. Semacam suara batin, yang enggak berasal dari batin sendiri.

Lihat selengkapnya