MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #21

20. Terbiasa karena Terpaksa

Sebenarnya bagi Iman, hampir mustahil buat terbiasa dengan hantu yang gentayangan, lihat sesuatu yang enggak perlu berjalan lagi, dan kaget dengan kemunculan yang dadakan. Apalagi, kalau hantunya itu jenisnya kayak Bapak.

Bapak adalah jenis hantu, yang lebih banyak bikin jengkel daripada bikin takut. Bukan berarti Bapak enggak seram. Bapak, sesekali juga bisa seram. Terutama kalau habis keluar dari wc, wc-nya jadi seram--bau! Pas ditanya, kenapa hantu bisa BAB, Bapak cuma jawab, "Itu isinya unek-unek ...."

Selain bisa BAB tanpa alasan yang jelas, yang menyebalkan dari Bapak adalah sifat narsisnya. Sebagai sesuatu yang pernah mati dan dalam keadaan enggak hidup lagi, Bapak tergolong narsis. Iman enggak tahu dengan sifat hantu lainnya. Tapi kalau semua hantu dikumpulin, kayaknya bakal malu senasib sepenanggungan dengan Bapak.

Terutama, Bapak kadang-kadang suka bangga dengan sisi ke-hantu-annya. Misalnya kayak, "Man, ada enaknya tau jadi hantu!"

"Apa!?" jawab Iman, yang konsentrasinya pecah, antara fokus dengan guru yang lagi ngajar atau dengar bisikan Bapak.

"Enaknya, udah gak perlu sholat lagi, hehehe."

"Iya, tau deh yang amal ibadahnya gak diterima lagi," gumam Iman, pelan.

"Sama satu lagi: gak perlu takut mati lagi, hehehe."

Tapi Iman enggak ikutan ketawa. Selain karena takut dikira gila ketawa sendirian tiba-tiba, Iman merasa ada yang aneh. Pada tawa Bapak yang terakhir, Iman tahu ada yang enggak beres. Hidung Bapak enggak getar-getar, enggak seantusias biasanya. Seolah-olah, ada sesuatu dalam dirinya yang tertahan ....

🦆

Penyebab perubahan perilaku Bapak, baru terendus belakangan.

Saat itu waktu istirahat. Iman, alih-alih makan bekal atau jajan di kantin, Iman justru mau memakai waktu istirahat untuk menyalami satu per satu teman sekelas. Niatnya biar memberi kesan mendalam dan namanya bisa diingat.

"Hai, Wati, nama gue Iman. Inget ya, i-m-a-n. Yang gak ada gambar badaknya--kalau ada gambar badaknya, itu merek ..., ah, sayang banget gak boleh disebut."

"Hai, Intan, nama gue Iman. Diinget, ya."

"Hai Susi, nama gue Iman ...."

Tapi sayangnya, baik itu Wati, Intan, ataupun Susi sebenarnya enggak ada. Semua percakapan barusan cuma Iman lakukan sendiri di depan kaca kelas. Semua siswa, seperti pada lazimnya, langsung lari ke kantin begitu waktu istirahat datang. Iman enggak pernah punya kesempatan buat kenalan.

Satu-satunya yang tinggal di kelas cuma Manda. Dia enggak ke kantin karena selalu bawa bekal dan hari ini dia bawa bekal cadangan. Tapi sayangnya, dia terlalu malu buat diajak bicara. Boro-boro diajak bicara, baru dilirik bentar dia langsung membenamkan wajah ke dalam bekalnya. Saking kebanyakan membenamkan wajah, sekarang mukanya minyakan kayak habis kena tumis ....

Iman menghela napas panjang, frustrasi. Seandainya ada manusia yang bisa diajak bicara di sini. Ada sih satu yang bisa. Tapi bukan manusia. Mantan manusia sih. Mantan!

Dia lagi duduk, lebih tepatnya meringkuk di sudut, bersedekap dengan tangan menutup ketek. Bibirnya manyun, kayak anak kecil (baca: tuyul) enggak dapat duit. Dia Bapak.

Iman enggak tahu, apa yang bikin sesosok makhluk yang beberapa waktu lalu ceria berubah murung. Apa mungkin hantu juga bisa bipolar? Bisa tiba-tiba sedih di waktu bahagia? Biasanya, Iman bakal berusaha enggak peduli sama keberadaan Bapak. Tapi kali ini, kayaknya dia harus peduli.

Mumpung keadaan kelas juga masih sepi, Iman pikir sekarang waktu yang tepat buat bicara sama Bapak.

"Bapak kenapa ngemper di lantai?" Iman menghampiri.

"Gapapa," jawab Bapak seadanya.

"Pak, ayo berdiri, ih. Tokonya mau buka lho!" goda Iman. Dia baru tahu kalau orang tua juga bisa manja minta dibujuk sama anaknya.

"Bukan gembel!"

"Hantu gembel berarti ..., tangannya kenapa kelipet nutup ketek gitu? Nutupin bau ketek, ya?"

"Eng-gak! Siapa yang bau ketek!? Hantu mana bisa bau!" protes Bapak.

"Tapi tiap Bapak masuk WC, jadinya bau," goda Iman, lagi.

"Beda cerita!" Bapak tambah manyun, bibirnya maju beberapa senti.

Lihat selengkapnya