Kemahiran memasak, tak hanya memberi Manda keahlian mengaduk ataupun mencampur bahan-bahan. Ini tentang kesetimbangan, proporsi, juga kesan akhir yang tertinggal. Dari kemahiran ini, Manda paham bahwa segala sesuatu yang indah hanya bisa muncul setelah diproses.
Kemahiran memasak ini, enggak didapat dengan instan. Perlu waktu. Karena keahlian memasak ini bukan kayak wahyu yang tiba-tiba turun dari langit bercahaya, lalu merasuki tubuh Manda.
Tak ada kemahiran yang muncul tiba-tiba. Semuanya, hampir pasti, berawal dari pengulangan tanpa henti. Yang dilakukan berkali-kali, tanpa henti, tanpa bosan. Persis seperti yang dilakukan Manda sejak hari pertama ibunya meninggal. Setiap harinya, sejak saat itu, hanya diisi kenangan. Dari kenangan yang jatuh menggenang di hati, yang diputar berkali-kali.
Sampai dia terlalu ingat setiap resep masakan ibunya yang lahir di dapur, dan tak bisa lupa lagi. Pada resep. Pada ibunya.
Manda adalah anak perempuan yang terjebak pada masa lalu. Matanya melihat, tapi untuk ke belakang. Setiap kali matanya meraba sudut-sudut rumah, yang tampak justru masa lalu. Di kursi ruang tamu, dia ingat rambutnya yang tipis sering disisir ibunya karena sering kusut. Biasanya dia selalu duduk di lantai, membelakangi ibunya yang menyisir dari atas kursi. Di kursi malas, dia sering dipangku-pangku sampai sore, dan ketiduran sampai maghrib.
Entah kenapa, semua hal pada dirinya, tak bisa membawanya lebih jauh melampaui kenangan itu sendiri. Seluruh waktunya, seolah berjalan di atas kurva terbalik, yang bukan hanya membawanya jalan di tempat, namun justru berjalan mundur.
Misalnya saat ini, pagi-pagi buta di dapur. Manda sering meyakinkan diri, bahwa alasan dia memasak adalah untuk ayahnya. Meskipun dalam setiap langkah kerja memotong bawang, menumis bumbu, yang dilihat adalah bayangan ibunya.
Memasak adalah warisan keahlian yang didapat dari mengenang. Yang sayangnya belum Manda sadari, ada satu kemahiran baru yang sedang dia latih. Kemahiran, yang makin lama, melibatkan perasaan melebihi yang bisa ditanggung. Dan nama dari perasaan ini, cinta.
🦆
Orang meninggal mana bisa hidup, bedain ya mana yang bisa jadi zombie dengan yang bisanya gentayangan, batin Bapak, yang sayangnya juga didengar Iman dan sukses bikin terbawa dalam mimpi.
Bapak tampangnya kayak habis kena betot belut. Dia uring-uringan sejak semalam. Dia kepikiran dengan jawaban Iman, yang ketika ditanya ingin apa dari Bapak, justru menjawab: hidup.
Efeknya, sampai pagi Bapak duduk di pinggir jendela, memetik gitar dengan nada sedih, "Ada Bapak bertanya pada pada anaknya, ada anak yang bisa jawab bapaknya ...."
"Berisik, Bapak!" protes Iman, sambil menimpa wajahnya dengan bantal, berusaha menambah jam tidur.
Bapak justru memetik gitar gaibnya tambah cepat, "Ada Bapak bertanya pada anaknya, ada anak yang bisa jawab bapaknya ...."
"BAPAK!" jerit Iman.
Tiba-tiba pintu kamar Iman terbuka, lalu Ibu masuk dengan wajah drama, "Ibu tau ..., tau kok kamu kehilangan, tapi ini cobaan."
"Bu ...,"
Lalu entah kenapa, suara Ibu jadi ceria seolah produk iklan makanan TV yang kelihatan maksa, "Nah, daripada sedih terus karena cobaan, mending kamu cobain masakan Ibu. Ini pake bumbu spesial."
"Wah, apaan tuh?" jawab Iman, pura-pura antusias.
"Bumbu spesialnya: garam."