MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #23

22. Nasib Kucing Jantan

Dunia itu lucu. Meskipun hidup di atas bumi yang sama, enggak bikin kehidupan masing-masing orang serupa. Apalagi buat Bapak, yang kehidupannya justru dimulai setelah meninggal.

Menjadi hantu, meskipun enggak benar-benar dianggap hidup, memberi Bapak kesempatan bertemu Iman dengan cara yang lebih baik. Apalagi, Bapak tak menganggap kematian seserius itu. Bagi Bapak sekarang, kematian justru memberinya kesempatan untuk menjadi seorang bapak. Sebuah kesempatan, yang selama dalam hidupnya, tak pernah didapat.

Sama seperti Bapak. Iman dan kehidupannya baru saja dimulai.

Iman yang sekarang, sudah beda. Dia sudah bukan Iman yang dulu. Dia bukan lagi Iman yang datang ke sekolah cuma buat pulang. Dia sudah bergaul sekarang. Terutama, dia punya penggemar yang rela bawa bekal makan siang: Manda. Dan itu cuma pijakan awal, sebelum dia jadi tenar.

Iman sebenarnya enggak pengen sombong karena takut dosa, tapi susah buat dia enggak tinggi hati atas apa yang dia miliki saat ini. Pintar, tinggi, ganteng, dan ramah--itulah empat kriteria yang dimiliki oleh cowok yang duduk di sebelahnya. Iman merasa beruntung bisa duduk dekatan begini. Bukannya Iman sudah belok, tapi duduk di sebelah orang ganteng, bikin Iman merasa sederajat. Iya sih, baru "merasa" ....

Tapi Rian, cowok yang duduk di sebelahnya, pindah. Pada saat yang sama pula, Iman merasa gantengnya ikutan direnggut.

Iman duduk di kursi di bawah pohon rindang selama waktu istirahat. Dia enggak bisa berhenti senyum. Kotak bekal pemberian Manda dalam pangkuan. Untuk pertama kali, dia mendapat sesuatu yang dibuat khusus dari orang lain selain Ibu. Bapak juga tersenyum. Tapi, senyumnya menunjukkan kekhawatiran. Seolah ada sesuatu yang berbahaya, lebih bahaya dibanding isi bekal Ibu, bisa keluar dari sana.

"Isinya kira-kira apa, ya?" gumam Iman bersemangat.

"Kenangan, mungkin?" balas Bapak sekenanya.

Iman menyipitkan matanya ke arah Bapak. Enggak banyak hal penting buat dia kenang sejauh ini, kecuali ....

"Hai, Mantan!" ujar suara sekelebat, yang ternyata adalah Bella. Bella masihlah sama. Masih tampak kaya, masih berkibar rambutnya padahal enggak ada angin, dan masih suka datang seenaknya.

"MANTAN!?" kaget Bapak, dengan suara gaib.

"MANTAN!?" latah Iman.

"KOK BISA!?" kaget Bapak, lagi.

"KOK BISA!?" latah Iman, lagi.

"KOK MAU!?" kaget Bapak, lagi-lagi.

"KOK MAU!?" latah Iman, lagi-lagi juga.

"AYAM-AYAM-AYAM!"

"Bukan Ruben ini ...." Iman matanya menyipit ke arah Bapak. Dia menolak latah kali ini.

"Ngomong sama siapa sih? Sama hantu, ya?" tegur Bella.

Iman menatap Bapak, lalu Bapak balas menatap. Lalu Iman ketawa enggak enak, sambil bilang, "Hantu gak, yaaa? H-han-tu kan gak ada, Bel. K-kalaupun ada, kan gak kelihatan juga ..., iya, kan?" Karena salah memandang ke arah Bapak, Iman meralat arah pada Bella, "Eh, salah. Iya, kan?"

"Apaan sih, Man? Gaje deh. Intinya gini: ntar malem, gue mau bikin pesta ulang tahun. Dan sebagai mantan terindah gue, lo wajib datang. Wa-jib!" ujar Bella, tegas.

Tapi perhatian Iman teralihkan pada kaki Bella. Di sana, tergeletak cowok-cowok dengan tampang penuh harap. Cowok pertama meraih kaki Bella, cowok kedua meraih kaki cowok pertama, begitu pun seterusnya mengular kayak antrian sembako gratis.

"Kalau dia mantan terindah, terus gue apa?" tanya cowok pertama.

Lihat selengkapnya