MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #24

23. Nasib Kucing Jantan (2)

Untuk ukuran orang yang fasihnya cuma saat melafal doa mau makan, tindakan ini sebenarnya masuk kategori nekat. Iman, yang sampai kemarin hanyalah remaja tanggung dan masih terlalu hijau untuk masuk praktek dunia hitam, hari ini akan tenggelam dalam gelimang dosa. Tapi dia tak peduli. Demi Bapak, dia rela melakukan apa pun. Sekalipun, itu membutuhkan tumbal ....

"Meow."

Iman menatap kucing hitam yang dipeluknya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya menenteng instrumen pelengkap tumbal. Mata kucing itu tampak bulat, memandang Iman dengan tatapan yang menampar-nampar nuraninya.

Di saat nuraninya hampir lemah, Iman bergumam untuk membulatkan tekad, "Jadi jahat, jadi jahat, jadi jahat!"

Setelah kata jahat mengisi penuh dadanya, tinggal satu hal lagi agar seluruh persiapan prosesi tumbal ini berjalan sempurna: tempat. Sama seperti saat memilih objek tumbal, memilih tempat yang tepat juga sama penting dan mempengaruhi berhasil atau tidaknya prosesi tumbal ini.

Menurut pengetahuan Iman, yang sebenarnya didapat dari film-film sebab dia enggak pernah terjun langsung, tempat paling tepat adalah yang gelap dan sepi.

Pilihan pertama jatuh pada laci meja. Tapi, berhubung laci meja terlalu sempit buat dimasuki kecuali Iman diubah ke bentuk sachet, maka laci meja dicoret dari daftar lokasi tumbal ini.

Pilihan kedua adalah gudang sekolah. Selain gelap dan sepi, lokasi gudang sekolah tergolong strategis sebab berada di pojok sekolah. Iman sudah berdiri persis di depan sekolah, meninjau dari luar. Tempat ini akan sempurna untuk melaksanakan prosesi tumbal, seandainya enggak dikunci. Iman pun mencoret gudang sekolah dari daftar lokasi tumbal.

Pilihan ketiga, adalah sekaligus pilihan terakhir. Sebab kalau ini juga gagal, satu-satunya tempat yang gelap dan sepi yang Iman tahu, yakni lipatan keteknya sendiri. Dan itu jelas enggak mungkin. Jadi pilihan ketiga ini, mudah-mudahan berhasil.

Iman menatap nanar ke dalam WC sekolah, dari ujung ke ujung. Jika kualitas lembaga pendidikan dinilai dari WC, Iman bisa dianggap cukup beruntung. WC sekolahnya mirip desain WC mal-mal. Bentuk desainnya adalah jenis WC yang ada banyak bilik dalam satu ruangan. Bedanya, cuma lebih pesing. Dinilai dari segi aroma, kayaknya WC ini diperlakukan dengan semena-mena ....

Meskipun pesing, WC sekolah jelas memenuhi dua kriteria utama untuk jadi tempat pelaksanaan tumbal: gelap dan sepi. WC ini tergolong gelap, soalnya cuma berpenerangan sebuah lampu dengan kapasitas watt kecil, serta sepi kalau di siang hari, sebab satu sekolah tahu makin siang aroma WC makin enggak ramah. Dan yang paling penting, tempat ini punya fitur kunci dari dalam.

Semua sudah sudah ada sekarang. Iman, remaja tanggung yang cuma punya doa mau makan kalau terjadi apa-apa, yang gak siap-siap amat kalau ketemu hantu lain selain Bapak, akan memulai prosesi tumbal ini ....

Mula-mula, Iman menggambar pola bintang di lantai. Hal ini dipercaya sebagai simbol mistis di film-film Barat. Tak lupa, dia menaburkan bunga tujuh rupa sebagai bentuk warisan kebudayaan lokal, karena dia cinta Indonesia. Di akhir, kucing ditata di tengah seluruh atribut tadi dengan semenarik mungkin agar menggugah makhluk halus yang hendak dipanggil: Bapak.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Masih belum terjadi apa-apa.

Sambil frustrasi, Iman melihat daftar catatan kegiatan prosesi tumbal yang dibuat berdasarkan riset dadakan. Pada bagian terakhir tertulis: menari salsa sambil telanjang dada.

Tapi Iman buru-buru menghapusnya dari daftar kegiatan.

"Sebenernya gue gak berharap bakal ngelakuin ini," gumam Iman, sambil membawa pisau dapur yang dicolong dari penjual kantin. Iman bisa sukses enggak ketangkap sebab sewaktu kemalingan, penjual kantinnya bingung mau teriak nama siapa karena enggak kenal.

Langkah Iman, yang entah kenapa derapnya jadi terdengar berat dan perlahan-lahan supaya dramatis, berhenti persis di depan kucing jantan tak berdosa itu. Dia meraih leher si kucing jantan. Dengan pisau di kanan dan leher si kucing jantan di kiri, Iman melakukan apa yang mungkin kita semua telah duga.

"Jangan benci, ya."

"Meow."

Lalu seperti yang kita semua duga, dengan pisau tadi Iman memotong sosis siap santap yang mereknya enggak bisa disebut. Kemudian digantung menyerupai kalung di leher kucing jantan itu, diatur sedemikian rupa supaya enggak bisa dijangkau si kucing. Tak lupa, ditambahi tulisan agar menarik: ini tumbal lho!

Iman pun berlari ke pojok WC sembari jongkok. Hal tersisa yang bisa dilakukan tinggal menunggu. Dia menaruh harapan besar pada kalung sosis tadi ....

"Semoga ini ngaruh."

"Ngaruh apa sih?" ujar suara misterius dari belakang.

Iman enggak berani lihat. Dia tahu persis, cuma ada tembok di belakang. Dalam film-film horor, orang yang paling kepo pasti selalu mati duluan. Tapi, berhubung rasa takut lebih sering kalah dari rasa penasaran, dia pun menoleh.

Ada sesuatu di dinding. Diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk, tapi enggak dimakan. Sebab, yang merayap itu bukan cicak. Melainkan bibir!

"SETAN BIBIRRR!"

Menurut dugaan Iman, pasti makhluk ini semasa hidupnya keseringan ghibah. Jadi, sewaktu meninggal, seluruh bagian tubuhnya diterima bumi kecuali bibir. Sungguh azab yang amat pedih.

Ketika Iman hampir baca doa mau makan, sosok yang hanya bibir tadi perlahan-lahan memisahkan diri dari tembok. Ternyata bibir itu adalah Bapak, yang sebagian besar tubuhnya tadi tenggelam di tengah tembok.

"Lagi ngapain sih barusan?" tanya Bapak, bingung. "Itu kenapa lagi kucing pake kalung sosis?"

"Eh ..., lagi tumbal buat manggil Bapak," jujur Iman.

"Idih, masih aja percaya mistis," ledek Bapak.

"Permisi, hantu bukannya bagian dari mistis, kan? Makhluk mistis masa gak percaya mistis ...."

"Oh, iya ya, hehehe. Tapi, Man, tau gak kalau kucing jantan yang gagal dapat pasangan sewaktu musim kawin tiba, mereka bisa-bisa pipis darah."

"Bapak sejak kapan jadi pemerhati binatang?"

Lihat selengkapnya