MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #25

24. Dosa Seorang Bapak

Iman tak pernah menyangka, pertemuan dengan Bapak menjadikan dia seorang pelaku tindak pelecehan seksual. Iman, yang sejauh ini adalah lelaki polos yang tak paham persoalan seputar kewanitaan, dalam waktu singkat dicurigai jadi tukang peluk cewek sembarangan.

Sepanjang hari sepulangnya dari sekolah, Iman cuma meringkuk di pojok kamar. Sejak kejadian tadi, Iman sudah memutuskan untuk mengurung diri hingga akhir zaman. Dia enggak mau ada korban baru atas saran dari Bapak yang selalu mengarahkannya pada malapetaka. Sebab, sejauh apa pun dia berusaha, dia akan selalu termakan omongan Bapak.

Iman telah membulatkan tekad. Dia cuma akan duduk, dan tak akan ke mana-mana. Seolah-olah ada pasung tak kasatmata mengekang kedua pergelangan kakinya. Duduk dan tak melakukan apa-apa, menurutnya bukan hal yang sulit. Buktinya, dulu waktu lumpuh, Bapak bisa.

Tapi Bapak, lelaki yang sudah dibenci sejak awal kisah ini, muncul cengar-cengir dari dalam WC. Dari wajahnya, tampak ekspresi seseorang yang kebutuhan batinnya telah terpenuhi.

"Ahh, lega banget," desah Bapak.

"Gak denger," cemberut Iman.

"Kok bisa plong gitu, ya ..., kayak ada beban yang hilang gitu, hehehe."

"Masih gak denger."

"Man, tau gak kenapa hantu bisa melayang?" tanya Bapak, seraya mengambang ke arah Iman.

"Gak peduli."

"Karena tubuhnya ringan habis BAB, jadinya melayang deh."

Iman cuma diam cemberut. Dia juga memutuskan akan cemberut sampai akhir zaman. Masa muda yang dulunya terenggut habis untuk mengurus Bapak semasa hidup, tak bisa kembali bahkan

Sampai tiba-tiba, satu keping logam lima ratus jatuh di atas kepala Iman. Seketika matanya mendelik tajam ke arah Bapak. Curiga.

"Bapak mau ngapain lagi sih, pake acara lempar recehan gini?" protes Iman, memungut logam Lima ratusan itu.

"Bukan Bapak kok," bela Bapak.

"Jadi, duit ini emang jatuh dari langit, gitu maksudnya?" Iman masih tak percaya. Hal-hal gaib semacam ini pasti berasal dari makhluk gaib pula. Dan sejauh ini, makhluk gaib yang bisa dicurigai hanyalah Bapak.

"Serius, bukan Bapak. Tangan Bapak bersih." Bapak mengangkat kedua tangannya, yang mengkilap seperti porselen baru.

"Hatinya yang kotor," dengus Iman, dengan sudut mata mengamati logam misterius itu.

"Serius, tangan Bapak bersih." Kali ini muncul cahaya putih dari belakang tangan Bapak. Seolah-olah di belakangnya ada lampu sorot.

"Jadi ini ulah siapa?"

Bapak mengangkat bahu.

Lantai bergetar secara tiba-tiba. Buku-buku di meja belajar berjatuhan ke lantai. Lemari pakaian berdecit, dan memuntahkan pakaian di dalamnya. Iman sempat mengira ini gempa. Namun, ketika mengecek ke luar kamar, semuanya baik-baik saja. Dan ketika dia kembali, seisi kamarnya masih berguncang.

Iman mungkin tak pernah secara spesifik belajar tentang gempa. Tapi dia tahu pasti, ini lebih dari sekedar gempa bumi biasa. Karena yang selanjutnya terjadi adalah, muncul ratusan recehan misterius dari langit-langit kamar. Mula-mulanya turun di atas kasur, kemudian memenuhi rak buku, lalu mengisi lemari pakaian, dan tumpah ke lantai.

Cuma ada satu makhluk yang layak dicurigai saat ini. Spontan, Iman mendelik tajam ke arah Bapak, lagi.

"BAPAAAKK!" jerit Iman, yang kemudian berlari menuju Bapak.

Namun sekeras apa pun Iman coba raih, pukul, ataupun cubit, Bapak sama sekali tak tersentuh. Alih-alih berusaha menghindar, Bapak justru dengan santai membuang kapas penyumbat hidungnya, yang secara otomatis terganti dengan kapas baru.

"Gak percayaan banget sih jadi orang," keluh Bapak. "Tangan Bapak bersih ...."

"Gak bisa dipercaya banget sih jadi hantu!" jawab Iman, masih berusaha menyentuh Bapak. "Kalau bukan gara-gara Bapak, siapa lagi yang--"

Kata-kata Iman terhenti di tengah. Dia kaget. Saking kagetnya, napasnya tertahan. Barusan, dia merasa perutnya terkena hantaman benda tumpul. Sebenarnya enggak seberapa sakit, tapi kagetnya itu.

Saat menunduk, Iman sudah hendak marah kepada siapa pun menghantam perutnya dengan benda tumpul. Tapi ketika dicek, ternyata benda tumpul itu adalah Untung, tuyul peliharaan hadiah sweet seventeen dari Bapak. Dia sedang menyundul-nyundul dengan kepala. Sundulan kepala adalah cara seorang tuyul bercengkerama.

"Ini Untung, ini Untung, ini Untung," kekeh Untung ketika sadar dilihat. Dia tersenyum ramah.

"I-in-i a-pa?" tanya Iman kepada Bapak.

"Bapak gak tau," geleng Bapak. "Tangan Bapak bersih."

"Bersah-bersih-bersah-bersih!" geram Iman.

"Jangan marah. Salah Untung, bukan salah siapa-siapa," kata Untung, menengahi.

"Tapi siapa yang minta recehan sebanyak ini?" kata Iman, bingung. Seumur hidup, dia enggak pernah uang receh lebih banyak dari kotak amal. Dan sekarang, seisi kamarnya seakan berubah jadi kolam recehan.

"Tadi nolak uang kertas. Kirain mau recehan," jawab Untung, polos.

Iman dan Bapak kompak menepuk jidat. Bedanya, tangan Bapak justru menembus kepalanya sendiri.

"Enggak gitu maksudnya!" jelas Iman. "Bukan karena itu duit kertas, tapi karena asalnya gak jelas ...."

"Asalnya jelas. Dari Untung," kata Untung.

Lihat selengkapnya