MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #26

25. Orang Paling Menyedihkan

Kebahagiaan punya banyak versi. Bagi masing-masing orang, kebahagiaan punya bentuk dan arti yang berlainan. Ada yang menganggap kebahagiaan adalah kekayaan. Ada yang mengira kebahagiaan adalah kesuksesan. Tapi bagi Iman, anak yatim pendatang baru yang tengah digentayangi bapaknya sendiri, makna kebahagiaan adalah bisa makan enak.

Iman menelan ludah, menatap lurus ke meja makan. Di sana, tersaji menu yang "katanya" gulai ikan bikinan koki nomor wahid di rumah ini karena cuma dia satu-satunya yang boleh masak--Ibu. Setelah beberapa waktu lalu memutuskan untuk hidup hemat dengan produksi garam sendiri, sekarang Ibu menasbihkan diri untuk hidup sehat.

"Bu, ini beneran gulai?" bingung Iman.

"Iya, ini gulai kok," Ibu meyakinkan, "bedanya cuma gak pake santan aja, sama bumbu-bumbu lain yang ngerubah warna. Ini healty food, Iman. Ini sehat!"

"Eh, iya ..., wah, healty banget," gerutu Iman, pelan.

Iman menelan ludah lagi, sambil menatap nanar ke arah masakan yang katanya gulai ikan. Mangkok itu berisi ikan utuh dalam kuah bening, yang kalau sekilas lihat mirip ikan mati yang tenggelam. Iman berusaha mengerti kalau Ibu lagi berusaha hidup sehat lewat makanan. Tapi ada fakta penting yang luput. Bahwasanya ada dua jenis kesehatan; jasmani dan rohani. Masakan ini memang sehat secara jasmani, tapi merusak rohani--bikin tekanan batin!

Ibu menatap Iman lama. Dari caranya melihat, Iman bisa tahu arti tatapan itu adalah "ayo makan".

"Iya, ini mau makan. Tapi mau baca doa dulu, doanya panjang, lama. Sengaja, biar tetep healty," kata Iman. "Ibu sana deh. Lama banget nih doanya ...."

"Tapi harus habis, ya!"

Lalu bertepatan dengan perginya Ibu, Bapak datang. Bapak kembali menggentayangi. Datang sambil senyum-senyum, mengapung di udara.

"Apa? Seneng banget lihat orang kesiksa!?" galak Iman.

"Masakan seorang ibu, yang paling tidak enak sekalipun, ketika dimakan rasanya tak berhenti di lidah; tapi terus turun sampai ke hati. Lalu membekas, meninggalkan kasih sayang," kata Bapak, bijaksana. "Anggep aja lagi makan sushi."

"Ngomong sih gampang," keluh Iman, menatap lurus ke gulai ikan nahas di depannya.

"Ya udah, kamu maunya apa?" tanya Bapak.

"Sebenernya mau gado-gado. Tapi bakso sih kayaknya enak," balas Iman.

"Oh, kalau bakso yang enak di depan pengkolan sini. Bakso Pak Slamet kalau gak salah. Di situ tetelannya boleh nambah lho!"

"Terus, kalau gado-gado enaknya di mana?"

"Nah, kalau gado-gado, persis di sebelah bakso Pak Slamet. Itu gado-gado di sana kuah kacangnya beuhh! Juara deh pokoknya!"

"Seenak itu, ya?" Tapi karena labil, Iman lalu bilang, "Sebenernya mau pizza sih. Tapi mahal ...."

"Mahal?" ucap Bapak, sambil mencopot kapas hidungnya enteng. "Gak usah dipikirin harganya. Lagian Bapak cuma ngajak ngobrol doang, bukan ngajak makan kok, hehehe."

Iman membuang napas dalam-dalam, jengkel. Untuk sesaat, barusan dia lupa bahwa Bapak adalah makhluk paling usil sejagat raya, sekaligus makhluk paling kesepian dan enggak punya teman. Mengingat masa remaja Bapak, yang kata Ibu, enggak kenal ataupun dikenal siapa-siapa, wajar kalau gedenya begini. Persis kayak tabiat abg baru melek dunia; yang apa-apa dicoba, apa-apa penasaran.

Bapak bergelayut pindah ke sebelah Iman. Wajahnya tampak cerah merona, seolah ada pembuluh darah gaib terpompa di balik kulitnya.

"Tapi, Man, kita jadi kan ke pestanya si Bella?" ucap Bapak bersemangat. "Seumur hidup, sampai seumur mati, Bapak gak pernah ikutan pesta kayak gitu."

"Boleh, kalau Bapak mau," jawab Iman.

"Beneran?" Mata Bapak membesar.

"Iyaa," angguk Iman. Sejak meninggal, dia tak pernah melihat wajah Bapak sedekat ini. Aneh rasanya, bagi seorang anak, baru bisa mengenal senyum bapaknya setelah meninggal. Takdir paling miris dari pertemuan dalam perpisahan. Dan sedihnya lagi, Iman tak tahu sejauh mana pertemuan dengan Bapak ini bertahan.

Lihat selengkapnya