MENGAKU BAPAK

paizin palma p
Chapter #27

26. Memahami Kehilangan

Cerita ini dimulai dari jangan-jangan, seorang bapak-bapak, dan kesombongan.

"Jangan-jangan. Perbedaan antara orang sukses--saya, misalnya--dan orang gagal sukses, dilihat dari seberapa banyak dalam kepalanya mengucapkan 'jangan-jangan'. Hanya mereka yang sering berpraduga pada sesuatu, yang lebih sering memecahkan permasalahan dalam hidupnya," ujar Papa Didi, yang enggak ada angin ataupun badai tiba-tiba berpidato di tengah pesta. "Jadi, sering-seringlah bertanya. Pada sekitar, pada orang lain, pada diri sendiri. Tapi kalau kalian bertanya sama saya, kalian bertanya pada orang yang tepat. Kenapa gitu? Karena saya ini sukses ...." 

Ekspresi wajah seisi pesta mengernyit, tak nyaman. Pesta yang tadinya semarak karena iringan musik band, seketika diboikot dan berubah jadi seminar motivasi yang kedok sebenarnya cuma acara pamer Papa Didi.

Perasaan jengkel pada Papa Didi tak cuma dirasakan para undangan yang hidup dan masih berbentuk manusia. Bapak, makhluk yang kini tak bernyawa lagi, bahkan bisa dibilang yang paling terdampak.

"Tapi, bicara soal sukses, kita harus paham dulu apa itu sukses," ujar Papa Didi, masih dalam ceramah motivasi dadakan. Sambil memamerkan sebuah kartu berbentuk lempengan logam dari saku, dia berkata, "Jawabannya: sukses adalah saya, dan saya adalah sukses ..., serius, saya bilang gitu bukan karena sombong. Saya juga benci orang sombong kok. Sama seperti kalian. Buktinya, saya gak pernah tuh pamer punya Palladium Card-nya J.P. Morgan, yang berarti saya bagian dari satu persen elit dunia dengan kekayaan minimal sepuluh juta Dollar."

"Berarti, harusnya dia benci sama diri sendiri. Idih!" cemooh Bapak.

Tak tahan lagi, Bapak pun bertindak.

Meskipun baru kenal Bapak secara utuh setelah meninggal, Iman tahu kalau Bapak bukan golongan orang-orang yang iri dengan kesuksesan orang lain. Sehingga, alasan di balik Bapak yang meniup tengkuk Papa Didi saat pidato dengan tujuan mengganggu, bukan karena Bapak bertabiat buruk. Karena, jika punya kesempatan yg sama, semua orang di pesta ini sejak tadi ingin membungkam mulut yang aroma napasnya berbau kesombongan itu.

Namun, tiupan di tengkuk yang diharapkan membawa unsur horor justru bikin Papa Didi keenakan. Alih-alih merinding, dia justru jadi menguap lalu pergi karena pengin tidur. 

Acara pun kembali normal sepeninggal Papa Didi. Band-band mulai memainkan musik, obrolan yang tadi sempat tercekat mengalir lagi, dansa-dansa yang terhenti bertemu pasangannya lagi, dan acara unjuk bakat pencarian mantan terbaik dimulai. Apesnya, Iman terjerat sama kegiatan yang terakhir .....

"Iman! Ayo sini ikutan," panggil Bella ke atas panggung.

"Gak bakal!" tolak Iman. "Sampai akhir zaman juga gak bakalan sudi!"

Iman menatap dengan tatapan menantang ke arah Bella yang melotot. Dia kira, diundang ke ultah Bella bakalan jadi kesempatan bergaul di masa muda. Tapi ternyata, kehadirannya cuma demi kebutuhan panggung, yang sebenarnya bisa diganti dengan badut sulap. 

Iman menatap malang sekumpulan lelaki yang berjejer di atas panggung, persis di sebelah Bella. Para lelaki yang belum sadar fungsi dirinya enggak jauh-jauh dari badut sulap ini, tak mengerti bahwa apa yang mereka lakukan enggak setimpal dengan mereka dapatkan.

"Hadiahnya diajak balikan lho!" kata Bella, yang mengira apa yang diucapkannya adalah penawaran menarik bagi Iman.

"Gak perlu. Makasih!" Iman kekeh.

Tapi, sayangnya kenyataan tak selalu persis membawa kita pada hal yang diinginkan. lima menit kemudian, Iman telah berdiri di atas panggung jadi salah satu bagian dari para lelaki malang tadi. Dia sendiri bingung, kenapa mau-maunya dirinya dijadikan lelaki penghibur cuma karena iming-iming tenar dari Bapak.

"Percaya sama Bapak, ini kesempatan kamu. Metode terakhir buat terkenal, yang banyak dilakuin anak zaman sekarang--panjat sosial," bisik Bapak pada Iman. "Dengan kamu deket sama Bella, kamu pasti jadi dikenal satu sekolah, Man!"

Acara pun dimulai. Satu per satu lelaki yang disinyalir mantan Bella ini, menunjukkan bakat terpendam ataupun yang sengaja dipendam karena lebih mirip aib. Tapi setelah memandangi cukup lama, iman merasa ada benang merah yang menghubungkan para lelaki ini, yang sayangnya benang itu putus pada dirinya: semuanya kaya. Kaya di sini, beneran kaya dan cukup kaya untuk menarik perhatian Untung si tuyul buat muncul. Naluri tuyulnya selalu keluar di tempat-tempat mewah, menggiringnya untuk maling satu-dua benda. Iman sudah tiga kali ketemu kunci mobil sport--dua Ferrari, satu Maserati--dan semua ini sudah pasti kerjaan siapa lagi kalau bukan Untung.

"Jangan nyolong. Kita di sini bukan buat buat nyopet," nasehat Iman, saat kepala botak Untung muncul tertangkap matanya.

"Gak boleh kerja?" balas Untung, dengan suara gaib yang cuma Iman, Bapak, dan Tuhan yang tahu.

"Kerja boleh, maling jangan. Paham?" jelas Iman.

Untung menyundul pelan pusar Iman, pertanda sedang minta maaf. Dia mengangguk pelan dengan tampang kecewa. 

"Tapi kartu boleh, ya, ya, ya," pinta Untung, memelas sambil menunjukkan lempengan logam pipih.

Iman menyipit, sebelah matanya menyimak benda asing di tangan Untung. Entah kenapa, perasaannya enggak enak. Rasa-rasanya benda yang kini ada pada Untung jauh lebih berharga dibanding tiga kunci mobil sport tadi.

Lalu ketika ingat, saat itu juga Iman berubah pucat.

"B-ba-likin itu, cepet!" gemetar Iman, yang baru sadar bahwa dalam satu genggaman Untung terdapat kartu yang menyimpan lebih dari sepuluh juta Dollar!

"Huft! Pelit kuburan sempit! Pelit kuburan sempit! Pelit kuburan sempit!" gerutu Untung, kemudian pergi tanpa menyundul karena jengkel. Bagi kehidupan tuyul, menyundul sama seperti jabat tangan. 

Untungnya meskipun agak protes, Untung kayaknya patuh. Andai Iman enggak ingat kartu sakti Palladium Card yang dipamer-pamer Papa Didi di tengah pesta, sepuluh juta Dollar mungkin bakalan ludes dipakai pesta susu kental manis sama Untung!

Terlepas dari Untung, perhatian Iman pun kembali ke acara bakat para mantan si Bella. Sudah lebih dari separuh lelaki malang mempertontonkan dirinya di muka umum. Masing-masing menunjukkan kelebihan yang mereka punya, apa pun bentuknya. Yang dimaksud apa pun di sini, betulan "apa pun". Mulai dari bakat lumrah seperti jago main gitar, jago beladiri, sampai main catur sendirian terus marah-marah karena kalah sama diri sendiri.

Makin dekat dengan gilirannya, Iman merasa bakat-bakat yang ditunjukkan malah makin aneh. Apalagi sewaktu datang giliran laki-laki di sebelahnya. Dia cuma diam selama setengah jam, lalu tiba-tiba menunduk takzim bilang terima kasih.

Tak satu pun orang yang paham dengan bakat apa yang barusan diperlihatkan, kecuali Bella. Dia tepuk tangan sendirian. Kagum.

Sadar dengan wajah bingung orang-orang, Bella menjelaskan, "Buat yang gak paham tadi Matthew ngapain, itu dia nunjukin satu-satunya kelebihan yang dia punya. Kelebihannya dia blasteran 1/4 Indonesia , 1/4 Polandia, 1/4 Denmark, 1/16 Perancis, 1/16 India 1/16 Pakistan, 1/32 Fiji, 1/64 Bangladesh, 1/64 Irlandia Utara, 1/128 Filipina, dan lain-lain--intinya, dia ganteng."

Orang-orang yang tadi wajahnya bingung, mengangguk. Mereka seolah sepakat memberi permakluman.

"Oke, orang ganteng bebas," gumam Iman, jengkel sendiri.

"Man, coba gerak-gerak deh," bisik Bapak langsung ke telinga.

"Kenapa?" balas Iman, pelan.

"Orang jelek itu harus hiperaktif, beda sama orang ganteng. Orang ganteng, walaupun cuma diam, dia tetep ganteng. Tapi kalau orang jelek gak ngapa-ngapain, jeleknya gak ketutup," ujar Bapak.

Lalu, sampailah pada giliran Iman. Sekarang dia ditatap ratusan pasang mata. Dia gugup sekaligus senang. Jadi, ini rasanya populer itu ....

"Pak, sekarang mesti ngapain nih?" bisik Iman pada Bapak.

Lihat selengkapnya