Aku belajar bahwa ketulusan itu dibentuk dari sebuah kesederhanaan, bahwa seandainya di dunia ini, tidak ada seorangpun yang mencintaiku, aku tetap akan setia mencintai diriku sendiri. Karena betapa berdosanya aku terhadap diriku kalau aku tidak mencintai diriku sendiri
Hai semuanya, kenalin namaku Alana, dan aku biasa dipanggil Nana. Aku mau menceritakan sedikit tentang kisah masa kecilku, sebelum mulai menceritakan analogi tentang cinta, dari pengalaman yang aku alami. Aku adalah anak kelima dari enam bersaudara. Memiliki banyak saudara tentunya membuat perhatian orang tua tidak bisa hanya berfokus kepada diriku saja. Aku banyak menghabiskan waktuku berteman dengan sebuah buku diary. Di dalam diary itu aku menumpahkan semua visi, misi, cita – cita dan harapanku, yang salah satunya adalah untuk pergi dan tinggal di tempat yang jauh dimana tidak ada seorangpun yang mengenal keluargaku. Kenapa? Karena keluargaku adalah alasan kenapa aku memiliki pandangan yang buruk mengenai diriku sendiri.
Aku memiliki tiga orang kakak perempuan Kak Ine, Kak Lilly dan Kak Silvia. Ketiganya memiliki paras yang cantik, dan usia mereka jauh diatasku. Kak Ine beda lima belas tahun, kak Lily beda dua belas tahun dan kak Silvia beda sembilan tahun denganku. Aku juga memiliki seorang kakak lelaki bernama Kak Arvin dan adik perempuan bernama Riana yang masing – masing hanya beda setahun dariku. Jadi sekalipun aku bukan anak tengah, jenjang usia yang berbeda jauh antara kakak perempuanku dan beda usia yang dekat antara Kak Arvin dan Riana membuatku merasa menjadi anak tengah.
Pandangan diriku mulai rusak semenjak masuk ke sekolah dan bertemu dengan banyak kenalan mama ataupun papa,
“Wah anak lelakinya tampan sekali, oh ini adiknya lucu ya cantik sekali” ujar salah seorang tante sambil melihat kearah kak Arvin dan Riana. Sedangkan ketika mama bilang bahwa aku juga adalah anaknya mereka hanya terdiam, atau jauh lebih menyakitkan lagi mereka bilang,
“Kok beda ya mukanya” Sebenarnya hal itu merupakan hal yang sederhana dan wajar. Awalnya pun aku tidak terlalu memikirkan ucapan tante itu, namun lama kelamaan pandangan dan perlakuan yang terlalu beda dari orang terhadap Kak Arvin dan Riana membuatku merasa bahwa aku adalah anak yang tidak berarti. Aku mulai menyadari bahwa semua saudaraku memiliki bentuk badan yang proposional, wajah yang cantik dan tampan, kepintarannya masing – masing sedangkan aku hanyalah seorang anak perempuan dengan tubuh gemuk dan tidak memiliki bakat di bidang apapun.
Banyak sekali hal yang membuat pandangan terhadap diriku menjadi begitu buruk bahkan bagi diriku sendiri, yang pada akhirnya membuatku masuk ke fase rendah diri. Disini aku banyak menunduk dan tidak mau melihat wajah orang lain dan tanpa sadar badanku jadi sering membungkuk. Mama sering mernasihatiku untuk lebih percaya diri, tapi percaya diri saat itu adalah hal yang terlalu mewah untukku.