Cinta itu bukanlah permainan. Berbeda dengan sebuah permainan, cinta itu melibatkan perasaan. Kesalahan yang kita buat dapat menyakiti perasaan orang lain dan mungkin diri kita sendiri.
Bandung, 2004.
Pertama kali aku mengenal cinta, itu adalah saat aku menginjakkan bangku SMP. Saat itu aku dikenalkan dengan komunitas Kak Merry, saudaraku. Aku bergabung dalam komunitas Gereja itu cukup lama dan disitu aku menemukan talenta keduaku. Drama. Aku sangat menikmati memainkan peran diatas panggung. Disana aku dapat merasakan ketegangan yang tidak pernah aku rasakan, dan kepuasan setelah aku berhasil menyelesaikan seluruh babak dengan baik.
Beberapa bulan sejak aku bergabung di Gereja Kak Merry, rasa kepercayaan diri dan sifat ceriaku pun mulai muncul. Aku kenal dengan banyak orang dan dapat mengekspresikan diriku dengan baik juga. Suatu hari Gereja kami kedatangan seorang jemaat baru, Charles namanya.
“Halo perkenalkan nama saya Charles, saya dari SMA Nafiri. Senang berkenalan dengan kalian” Ujar Charles sambil berdiri dan memperkenalkan dirinya. Charles memiliki tubuh yang tinggi, berkulit putih, berwajah tampan dan yang paling menarik perhatianku adalah tatapan mata yang sangat teduh, yang rasanya dapat langsung membuat orang yang memandangnya tenggelam didalamnya. Charles adalah satu - satunya yang paling mendekati kriteria dari pria yang aku sukai saat itu. Hanya saja ada satu hal yang kurang, yang tidak ada pada diri Charles yang masuk ke dalam kriteriaku, yaitu ia tidak memakai kacamata. Sejak dulu aku selalu terobsesi dengan pria berkacamata, karena menurutku pria berkacamata membuatnya terlihat lebih pintar. Sejak kecil aku selalu memasukan kriteria tersebut dalam pria idamanku, tinggi, putih, berkacamata.
Sebagai anak gadis yang baru aja mengenal cinta, perasaan yang kurasakan kepada Charles ini amat menggebu – gebu dan walaupun aku tidak dapat mengingatnya dengan baik, tapi aku yakin perasaan itu terlihat amat sangat mencolok bahkan mungkin orangnya sendiri saja dapat langsung menyadari perasaanku padanya. Aku langsung mengajaknya bicara pulang gereja, sering mengajaknya ikut bermain bersama teman – teman gereja yang lain, bahkan sesekali mengirimkan pesan padanya dan dia pun menanggapiku dengan sangat baik.
Suatu hari di siang yang panas terik, aku dan beberapa temanku memutuskan untuk membeli air soda untuk menghilangkan dahaga. Saat melakukan pembayaran, Ferdy salah seorang teman Charles melirik ke arah dompetku dan menemukan banyak kartu TPD di sana.
“Main TPD juga? “ tanyanya antusias. TPD adalah singkatan dari Takdir Para Dewa yang merupakan game online berbasis RPG dimana kita bisa hunting monster, berpacaran dan banyak hal lainnya yang dapat dilakukan secara online.
“Oh iya. Kamu main juga?”
“Iya. Oh ya, minta nomor HP kamu dong, siapa tahu nanti kita bisa main bareng” Ujar Ferdy menambahkan.
“Oh, aku belum punya HP. Kalau HP nyatu sama papa, tapi papa ga tahu kalau aku main Game TPD jadi ga enak kalau aku kasih nomor HP” Papaku memang ga tahu kalau anaknya ini suka main game online. Papa tahunya aku suka main bersama teman saja, tapi ga tahu kalau mainnya itu secara online. Saat itu bermain game belum bisa dijadikan uang dan orang tua hanya menganggap anak yang main game itu adalah anak yang malas dan tidak suka belajar serta menghabiskan masa depannya secara percuma. Karena itu aku sama sekali tidak mau papa tahu kalau aku bermain Game Online. Itu alasan utamanya, tapi alasan kedua dan yang terutama adalah aku secara pribadi memang tidak menyukai Ferdy.
Sedikit mengenai Ferdy, dia adalah orang yang membawa Charles ke Gereja ini dan aku sangat bersyukur untuk hal itu. Aku sendiri tidak pernah bicara dengan Ferdy sebelumnya, baru semenjak aku berusaha mendekati Charles aku jadi banyak bicara dengannya juga. Suatu hari saat kami bermain bersama Ferdy pernah berkata begini,
“Aku sih paling anti ya jadian sama anak SMP. Masih terlalu kecil, baru lulus SD, ga asyik” Aku ga tahu kenapa dia harus mengatakan hal itu kepada Charles, tapi hal itu membuatku merasa sangat kesal kepadanya. Ia seakan ingin membuat Charles berpikiran yang sama juga dengannya. Untungnya, Charles hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menanggapi ucapannya. Bayangkan kalau saat itu Charles menanggapi dengan “ya” atau sejenisnya. Aku pasti akan langsung patah hati. Oke, kembali ke warung tempat kami membeli air soda.