Menganalogikan Cinta

amanda lestari c
Chapter #6

Cinta itu Bagaikan Telepon (2)

Aku menyadari bahwa untuk melawan penindas, kita harus lebih berani. Berani melawan dengan menghitung resiko yang paling kecil dan berani bertindak dengan resiko yang paling besar. Karena hanya dengan hal itulah penindas akan berhenti menindas kita.

Sepanjang kelas, baik aku maupun Verra tidak dapat fokus mendengarkan apa yang diajarkan oleh Guru kami. Aku tak tahu apa yang Verra rasakan, tapi aku dapat merasakan dingin menyelimuti seluruh tubuhku, jantungku berdegup sangat kencang dan keringat dingin sudah mulai menyelimuti tubuhku. Aku melihat ke arah jarum jam dan memikirkan apa yang harus kami lakukan saat nanti pergi ke kelas Mia. Lonceng dibunyikan, jam istirahat kedua dimulai. Jika selama ini mendengar lonceng jam istirahat seperti mendengar dentuman dari Surga, hari itu aku merasa bunyi lonceng yang kami dengar ini seperti bel lonceng kematian yang dibunyikan langsung oleh Malaikat Pencabut Nyawa.

Tubuhku terasa dingin, aku bahkan menggigil padahal udara hari itu cukup panas. Kuputuskan memakai mantel yang aku bawa untuk mengurangi perasaan dingin yang menyelubungiku. Kami pergi bertiga kesana, Aku Verra dan Cherry. Kami berpegangan bertiga, jalan dengan tubuh yang sama – sama dingin dan sedikit bergetar karena takut. Akhirnya kami pun berada di depan kelas Mia dan saling melepaskan genggaman agar tidak menimbulkan kesan takut duluan.

“Masuk!” teriak salah seorang kakak kelas dengan ketus kepada kami bertiga.

“Yang butuhlah keluar” Aku buru – buru memegang tangan Verra melarangnya masuk. Verra pun hanya diam berdiri bersamaku di depan kelas. Aku menghindari masuk ke dalam kelas mereka, karena setelah masuk sekalipun kami dipukul duluan, tidak akan ada yang membela kami karena tidak ada yang melihat kejadiannya. Dibully di depan kelas tentunya akan membuat banyak saksi mata yang lewat dan pasti akan jauh lebih aman. Setidaknya itulah yang aku pikirkan.

Hal paling penting dalam bertahan hidup dari penindasan adalah memiliki teman yang ada di samping kita dan jangan mengikuti keinginan orang yang menindas kita. Karena orang yang ingin menindas sudah merencanakan sesuatu, tetapi orang yang ditindas datang tanpa perencanaan.

Kakak kelas yang ketus itu pun masuk kembali ke kelas, kemudian satu per satu kakak kelas perempuan mulai keluar, satu... dua... tiga...empat.... lima.... Sudah lima orang yang keluar dari kelas. Aku sudah memprediksikan setidaknya lima oranglah yang akan melabrak Verra, namun kemudian enam.. tujuh.. ternyata jumlahnya terus bertambah dan tiba – tiba Cherry lari meninggalkan kami tepat saat hitungannya sudah sampai sembilan.

Aku dan Verra makin panik melihat Cherry yang berlari sangat kencang. Kakak kelas sudah tertawa – tawa menghina, tapi kami berusaha tegar. Singkat cerita sekitar lima belas kakak kelas keluar dari ruangan. LIMA BELAS! Kakiku langsung lemas dan terduduk di kursi. Verra masih berdiri sendirian, namun kakak kelas tidak ada yang menggubris keberadaanku dan langsung menyerang Verra

“Kamu tahu ga salah kamu apa?!” tanya kakak kelas yang badannya paling kecil, bahkan jauh lebih kecil daripada aku dan Verra. Dibelakangnya kakak kelas dengan badan yang jauh lebih besar dari kami berdua dan tubuh yang lebih tinggi dari kami memandang kami juga dengan pandangan benci. Jadi si kakak kelas berbadan kecil ini sepertinya ketua geng di kelompok itu dan dua kakak kelas di belakang adalah bodyguardnya, sedangkan sisanya hanya pemandu sorak yang mendukung pernyataan si ketua geng.

“Ga tau kak!” Jawab Verra cepat.

“Kamu itu udah gendut, kecentilan tau ga!” teriak kakak kelas itu cepat. Aku lupa kalimat makian apa lagi yang keluar dari mulut kakak – kakak yang lain kepada Verra, tapi perasaan dingin yang ku rasakan karena takut, kini berubah menjadi perasaan dingin karena menahan marah. Singkat cerita Verra berusaha berbaikan dengan kakak – kakak kelas itu dengan meminta maaf sambil setengah membungkukkan badan.

“Kalau kamu mau minta maaf, jangan Cuma sama kita! Kamu kelilingi seluruh sekolah! Minta maaf! Kita pantau kamu!” Teriak si kakak kelas ketua geng itu. Aku tadinya berencana diam saja, tapi kakak itu sudah menyentuh titik toleransiku. Meminta Verra membungkuk dan minta maaf ke semua orang disana sudah sangat keterlaluan. Aku tak tahu kekuatan apa yang berhasil ku himpun saat itu, tapi seketika itu juga aku berdiri dan memegang tangan Verra.

Lihat selengkapnya