Memang benar, cinta itu bisa membuat kita hanya berfokus kepada satu orang itu saja. Seakan orang itu adalah pusat dunia yang keberadaannya sangat berarti, sehingga kita lupa bahwa dunia ini ditinggali oleh miliaran orang.
Bandung, 2008.
Sebagai penggemar nomor duanya Pak Bernard, sudah sewajarnya kalau aku berusaha mencari dan menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai Pak Bernard. Untungnya sebagai penggemar nomor satu, Mia punya banyak sekali info mengenai Pak Bernard. Melalui cerita Mia, aku jadi tahu bahwa Pak Bernard besar tanpa ayah dan ibu. Beliau hanya dibesarkan oleh neneknya saja. Ayah dan ibunya meninggal disaat beliau masih duduk di bangku SMP dan Ibu Olivia, Kepala Sekolah kami di SMA Tiga saat itu, berjanji kepada ibu Pak Bernard, bahwa beliau akan menjaga Pak Bernard dengan baik.
Pak Bernard juga berusaha sekali untuk melanjutkan tingkat pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Beliau mulai menjadi guru les pribadi yang datang ke rumah murid – muridnya untuk membiayai biaya kuliahnya. Setelah mendengar cerita ini, perasaan cinta yang aku rasakan kepada Pak Bernardpun semakin meluap. Cinta pada fisiknya, kagum pada keteguhan dan ketegaran hatinya, iba akan masa lalu yang ia alami. Semua perasaan itu menyatu dan membentuk rasa cinta yang lebih besar lagi dari sebelumnya.
Cinta memang bisa membuat orang melakukan hal di luar nalar. Aku mulai mengumpulkan tabloid di tempat les mengenai profil guru – guru les. Menggunting wajah Pak Bernard dan mulai membuat ‘Jurnal si Dia’ yang berisikan seluruh informasi mengenai Pak Bernard. Dari nomor HP, alamat rumah, nomor polisi kendaraannya, jenis kendaraan yang ia tumpangi, minuman kesukaan, golongan darah, tanggal lahir, shio, zodiak sampai jadwal mengajar Pak Bernard baik di sekolah maupun tempat les, semuanya lengkap! Sudah mirip dengan stalker di TV? Ya segila itulah cinta yang menggebu – gebu.
“Na, kamu mau ikutan lomba apa? Semua orang di kelas harus berpartisipasi nih!” Verra menyodorkanku kertas yang berisi macam kegiatan lomba untuk Pekan Olahraga dan Seni yang akan diadakan minggu depan.
“Menghias kelas aja Ver. Kalau olahraga aku ga sanggup” Aku langsung mendaftarkan namaku di menghias kelas. Verra pun segera mengikuti jejakku. Aku memang bukan orang yang senang berolahraga. Berlari keliling lapangan satu putaran saja rasanya jantung seperti sudah siap melompat keluar, nafas berat dan sesak, dan pandangan juga sudah mulai kabur. Makanya aku hanya lari – lari kecil saja berdua dengan Verra yang juga tidak bisa berolahraga.
Saat olahragapun, kami selalu diteriaki oleh Pak Winarto, yang merupakan guru olahraga kami agar berlari lebih cepat. Jika teman – teman lain sudah beres berlari 16 keliling dan sudah duduk – duduk di pohon sambil minum air. Aku dan Verra baru berlari 13 keliling dan masih harus berlari tiga keliling lagi. Stamina kami berdua memang sangat buruk. Lari terkencang yang bisa aku lakukan pun hanya jika aku melihat Pak Bernard dari koridor atas.
Kekuatan cintalah yang membuatku dapat berlari jauh dan lebih cepat walau hanya untuk sekedar menyapa dan mendapat satu patah kata sebagai responnya.
Singkat cerita, akhirnya perlombaan pun dimulai. Beberapa teman ada yang ditugaskan menyapu, mengelap meja, menghias jendela dan lain – lain. Tugasku saat itu adalah menggambar seluruh siswa kelas di papan tulis. Oh ya! Itulah bakat pertama yang kutemukan saat aku masih kecil, yaitu menggambar. Walaupun belakangan aku merasa bahwa aku tidak mengembangkan bakat itu dengan baik.
Setelah selesai menggambar seluruh siswa di kelas dan wali kelas, aku pun keluar untuk melihat – lihat perlombaan yang lain. Saat aku sedang berjalan di koridor, tiba – tiba kakak kelas dua yang sedang duduk duduk di lantai sepanjang koridor mendehem seakan menggodaku. Baru saja aku merasa terganggu dan bersiap mengutuki mereka di dalam hati, aku menyadari ada sosok lain di belakangku, yang sedang dijodoh – jodohkan denganku oleh para kakak kelas itu. Sosok yang selalu aku cari, selalu aku rindukan, selalu aku mimpikan, ya! Sosok Pak Bernard.
Kakak kakak ini pasti kiriman malaikat di Surga, bahkan mungkin mereka malaikatnya! Mendadak aku bisa melihat sayap – sayap kecil di balik punggung para kakak kelas. Dalam hati, aku mendoakan kebahagian para kakak – kakak kelas itu. Wajahku mulai memerah, jantungku berdegup tak karuan, aku berusaha menahan senyum namun aku tak bisa. Senyum mulai mengambang diwajahku dan menaikkan sedikit volume pipiku.
“Cocok ga?” Pak Bernard menanggapi celetukan kakak – kakak sambil setengah bercanda dan menunjuk – nunjuk kearah kami berdua. Mataku langsung berbinar namun tetap tak berani menatap Pak Bernard secara jelas, karena takutnya perasaanku terlihat terlalu kentara.