Pada akhirnya waktu manusia adalah hal yang misterius. Ia bisa saja ada hari ini dan saat esok tiba, ia hilang dan hanya meninggalkan kenangan semata. Karena itu pakailah waktu yang kita miliki untuk orang yang kita kasihi, agar tidak ada penyesalan yang tersisa saat ia pergi.
Bandung, 2008.
Menuju kenaikan kelas, ada banyak hal yang membuatku sedih. Bu Olivia memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya sebagai Kepala Sekolah dan Bu Tiffany, Kepala Sekolahku saat aku masih di SMP 5 akan menggantikan Bu Olivia. Sebenarya alasan aku sedih bukan karena Bu Olivia yang memutuskan untuk pensiun, tapi Pak Bernard yang memutuskan tidak akan mengajar lagi di SMA 3 setelah Ibu Olivia pensiun.
Hari itu adalah hari kenaikan kelas. Berita tentang Pak Bernard yang akan keluar bersamaan dengan Bu Olivia sudah terbukti benar. Aku hanya berharap dapat melihat Pak Bernard untuk terakhir kalinya dan Tuhan menjawab doaku.
Hari itu hujan turun sangat deras, Pak Bernard menunggu hujan reda di depan pintu sekolah. Aku menatap punggung Pak Bernard dengan perasaan haru dan sedih. Hujan lagi-lagi membawaku untuk dapat melihat dan merasakan keberadaannya lebih lama. Sebuah hujan kecil yang menyadarkanku keberadaannya di Sekolah ini, hujan juga yang membuat kami berpapasan di angkutan umum, membuat Mia dapat menyapanya dan kemudian membuat kenangan yang indah bagiku dan Mia. Kali ini, hujan jugalah yang membuatku dapat melihatnya lebih lama dan mengucapkan perpisahan.
Ada cinta yang bisa kita miliki dan ada yang tidak. Kita patut bersyukur apabila kita dapat memiliki hati orang yang kita cintai. Namun jika tidak, kita tetap harus bersyukur bahwa dalam hidup ini, kita pernah bahagia karena mengenal kata cinta itu sendiri.
Aku menyimpan kenangan itu jauh dalam hatiku. Punggung dari pria yang paling aku cintai, cinta pertamaku. Seseorang yang menjungkir balikan duniaku. Kesedihan hati yang dalam itu aku luapkan dengan cara membuat 1000 bintang untuk mengajukan satu permohonan. Membuat Pak Bernard tetap bertahan di SMA 3. Singkat cerita kelas 10 pun berakhir dan aku naik ke kelas 11. Kenaikan kelas menjadi hal yang menyedihkan untuk kami karena salah satu teman kami, Cherry malah tinggal kelas.
Di kelas 11 aku tidak lagi sekelas dengan Verra dan Fransisca. Aku sekelas dengan temanku semasa SMP bernama Chryssan. Chryssan ini bertubuh kurus, berambut pendek, memakai kacamata dan berkulit kecoklatan. Ia memiliki hidung yang mancung, berwajah tirus dan sedikit jerawat di pipinya. Aku sudah merasa bahwa Chryssan ini cukup manis dan cantik, masalahnya adalah Chryssan sangat pemalu kalau berurusan dengan lelaki.
Chrysan mempunyai hobi yang sama denganku, yaitu menulis. Aku selalu menulis cerita cinta dimana tokoh utamanya adalah aku dan Pak Bernard, sedangkan Chryssan menuliskan kisah tentang dirinya dan Adrian, yang merupakan pria yang ia sukai di saat ia masih SMP. Kami sering membaca kisah buatan satu sama lainnya dan membuat kami menjadi sangat dekat.
Aku sudah berhenti les dan sejak saat itu aku tidak lagi melihat Pak Bernard. Aku masih terus membuat seribu bintang, untuk meminta permohonan agar Pak Bernard kembali. Walau aku tahu bahwa itu hanyalah harapan kosong. Namun bukankah lebih baik memiliki harapan kosong daripada tidak memiliki harapan sama sekali.
Aku masih setia memantau Social Media milik Pak Bernard, yang dari sana jugalah aku mengetahui kabar tentang beliau. Bagaimana beliau akhirnya putus cinta, kematian neneknya yang membuatku ikut menangis juga, membayangkan kesedihan yang Pak Bernard rasakan. Walau Pak Bernard tak lagi ada disekelilingku, aku masih tidak dapat melupakannya. Akhirnya aku berhasil membuat 1000 bintang dan kemudian aku membuat permohonan, meminta Pak Bernard untuk kembali lagi ke Sekolah.
*#*
Hari itu hujan turun sangat deras, aku dan Chryssan yang terjebak hujan pun memutuskan untuk berjalan – jalan mengelilingi sekolah. Mia sudah pulang terlebih dahulu karena ia sudah kelas tiga, jadi mamanya minta Mia serius belajar untuk persiapan UAN. Aku dan Chryssan pun akhirnya kelelahan dan memutuskan untuk pergi ke Perpustakaan. Disana, aku melihat ada temanku semasa SMP bernama Stanley dan dua orang temannya sedang bermain kartu di Perpustakaan. Salah satu dari teman Stanley menarik perhatianku. Seorang lelaki berambut pendek di gel ke belakang persis seperti pemeran utama di God of Gambling. Karena aku tak mengenal dua orang teman yang duduk bersama Stanley, aku pun memutuskan duduk jauh dari mereka dan memantau akun social media milik Pak Bernard di komputer Perpustakaan.