Menganalogikan Cinta

amanda lestari c
Chapter #10

Hidup Setelah Kehilangan

Berusahalah untuk tetap berdiri walau dengan luka sekalipun rasanya sulit. Pada akhirnya waktu akan menghapus kesedihan itu walau mungkin lukanya tak akan pernah hilang.

Bandung, 2008.

Kematian papa membuatku memikirkan banyak hal dan cinta bukan salah satunya. Hal yang aku pikirkan hanyalah bagaimana menjaga agar keluargaku tetap bahagia walau bernafaspun masih terasa menyesakkan.

Hari itu Sekolah mengeluarkan pengumuman bahwa anak kelas 11 akan pergi ke Bali untuk liburan sekolah, dengan persyaratan semua siswa harus ikut. Jika ada satu orang yang tidak ikut, maka trip tersebut akan dibatalkan. Jumlah siswa siswi di SMA Tiga memang tidak sebanyak di SMA lainnya. Karena itu untuk biaya yang lebih murah, maka semua siswa siswi harus ikut trip tersebut.

Semua teman sangat senang mendengar berita tersebut. Semuanya terkecuali aku. Papa baru saja meninggal dan kami baru saja kehilangan pencari nafkah di keluarga. Kak Silvia sedang mempersiapkan pernikahannya, yang mana jumlahnya tidak sedikit. Kak Ine tentunya harus membantu biaya sekolah kami bertiga, yang jumlahnya pun tidak sedikit juga. Rasanya aku tidak mau membebani keluargaku dengan masalah ini.

Sepulangnya ke rumah, aku menghampiri mama dan Kak Ine yang sedang bicara serius. Ternyata mereka sedang membicarakan Riana. Sekolah Riana mengadakan trip ke Yogya, Mama dan Kak Ine sepakat bahwa Riana harus mengikuti trip tersebut. Riana memang paling dekat dengan papa. Papa juga sangat menyayangi Riana. Jadi memang kematian papa membuat Riana paling terpukul. Pergi ke trip tentunya akan menghibur hati Riana.

Aku pun menyetujui ide mama dan Kak Ine, namun disisi lain kepalaku juga terasa pening. Aku masuk ke dalam toilet dan air mataku mulai tumpah. Kututupi mataku dengan tanganku. Rasanya semua stress yang kurasakan menumpuk dalam satu titik. Jika aku tidak pergi, teman – teman yang lain pasti akan memusuhiku. Jika aku memaksakan pergi pun, aku merasa sangat tidak enak pada mama dan Kak Ine.

Aku mulai menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan dan berulang, untuk menenangkan hatiku dulu. Tak ada satupun pikiran baik yang akan masuk jika aku menangis. 

Lihat selengkapnya