Kehidupan ekonomi yang awalnya baik tiba-tiba berubah 180 drajat, sejak papa harus membayar melunasi hutang temannya di Bank, tanah yang akhirnya di sita Bank, kapal yang karam, di tipu orang Aceh yang mengaku saudagar, akhirnya lambat laun usaha peternakan papa bangkrut, gulug tikar, karena harus membayar gaji karyawan, juga sewa tempat atau tanah yang menjadi tempat peternakan papa.
Namun ambisinya untuk beternak sapi masih berkobar. Dahulunya aku sekolah di TK pertiwi dan kakak sekolah di SD Pertiwi selalu pulang gendong di bahu papa, tapi sejak kejadian itu, ditipu oleh teman-temannya, aku dan kakakku sekolah di SD Negeri di sudut kota. Dan ibu berubah menjadi kepala rumah tangga, memiliki perannya sebagai pencari rezeki, ibu, dan istri.
Ujian rumah tangga, ujian kesabaran bagi ibu saat papa jatuh terpuruk tak bersisa, ya karena tak mau mendegarkan kata istri dan ibu di anggap bodoh, tidak megerti arti persahabatan, papa menjadi hancur tak bersisa, tanpa uang sepersenpun.
aku harus ikut ibu pindah pidah rumah kontrakan. "kita berteduh di sini ya nak" ujar ibu sambil memegang tanganku erat agar tak jatuh di lantai yang basah karena air hujan.
Rumah kontrakan kami jauh kedalam, dekat dengan bukit dan sawah, ya walau tinggal di kota, tapi dengan kehidupan ekonomi yang sembrautan terpaksa ibu mengontak rumah di pinggir kota.
Aku berteduh dengan ibu di tepi teras sebuah kedai yang menjual sate kala itu. ya dalam dinginnya hujan aku menjadi lapar dengan aroma masakan yang keluar dari dalam kedai sate. ya disana ada sebuah keluarga dengan anak yang seumuran denganku kala itu. aku menelan ludah karena ingin, karena lapar, tapi wajah ibuku sedih menatapku, ibu tak ada uang, nanti ibu belika ya, kalau ibu dapat rezeki, bisik ibu di telingaku.