TEKANAN mulai terasa sejak pertemuan di salah satu ruang rapat kecil di istana. Tidak ada pertemuan resmi yang dihadiri banyak orang, tidak ada protokol atau ritual biasa yang mengiringi. Hanya beberapa orang penting—mereka yang sudah lama berada di lingkaran dalam kekuasaan, orang-orang yang paling dipercaya Presiden. Dan aku, si pengawal setia, entah bagaimana, ikut terseret ke dalam percakapan yang bukan lagi soal keamanan negara, tapi lebih soal menjaga "warisan kekuasaan."
Mereka memanggilku dengan nada yang biasa, seakan tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini, bahasa tubuh mereka, tatapan mata yang sedikit mendesak, serta nada bicara yang tak tersurat, membawa beban yang lebih besar. Aku dipanggil bukan untuk berbicara tentang pengawalan Presiden, melainkan untuk membahas apa yang mereka sebut sebagai "kebijakan jangka panjang," yaitu perlindungan atas masa depan keluarga Presiden—terutama putra sulungnya.
"Semua anak dan menantu Presiden harus dijaga dengan baik," ujar salah satu menteri senior dengan suara yang bergetar pelan. "Keadaan semakin memanas di luar sana. Oposisi semakin berani, mereka mengincar bukan hanya Presiden, tetapi juga keluarganya."
Aku hanya diam, mendengarkan. Di dalam hati, ada sesuatu yang mulai mengganggu. Tugasku selama ini jelas: menjaga keselamatan Presiden. Tapi kini, mereka mulai berbicara seolah-olah tugasku juga mencakup menjaga kepentingan politik keluarga. Apa yang sedang terjadi? Aku bukan orang yang terlibat dalam permainan kekuasaan ini, bukan bagian dari mereka yang membicarakan strategi dan agenda politik. Namun, kata-kata itu, "putra Presiden harus dijaga dengan baik," menempel di benakku seperti benang yang perlahan membelit tubuh.
"Putranya punya masa depan besar," lanjut menteri itu, matanya menatapku dalam-dalam, seperti mencoba meyakinkanku bahwa apa yang dia katakan adalah kebenaran mutlak. "Dia akan meneruskan apa yang sudah dibangun Presiden. Kau tahu, tugasmu sekarang tidak hanya menjaga Presiden, tapi juga masa depan negara ini."
Kalimat itu seperti tamparan halus di wajahku. Masa depan negara? Apakah ini benar-benar soal negara, atau hanya soal keluarga? Aku tak bisa berpura-pura tidak memahami maksud mereka. Ini adalah politik dinasti, yang selama ini kuhindari untuk terlalu dipikirkan. Aku telah melihat tanda-tandanya, mendengar percakapan-percakapan di lorong-lorong istana, tapi aku tak pernah berpikir mereka akan menyeretku sejauh ini.
Sebagai pengawal, aku tahu bahwa tugasku adalah menjaga keselamatan fisik Presiden. Itu jelas. Tapi ketika mereka mulai berbicara tentang menjaga "kepentingan keluarga," aku mulai ragu. Apakah ini yang sebenarnya? Apakah ini berarti aku harus membantu memastikan putra Presiden melanggengkan kekuasaan? Ini adalah ranah yang bagiku terlalu abu-abu. Aku telah lama berada di sisi Presiden, mengagumi kepemimpinannya, tapi kini, semua tampak berbeda. Segala sesuatu yang dulu terasa jelas kini menjadi keruh.
Salah seorang pejabat lainnya, yang duduk di ujung meja, menambahkan, "Kita semua tahu, ada banyak pihak di luar sana yang tak ingin melihat keluarga ini terus berkuasa. Kau mungkin tak melihatnya langsung, tapi ancaman itu nyata. Oposisi tak hanya mengincar Presiden, mereka juga menargetkan putra sulungnya. Kau, sebagai orang terdekat di lingkaran perlindungan, harus paham ini."
Perlahan, kata-kata mereka mulai memutarbalikkan pikiranku. Di satu sisi, aku mengerti bahwa ada tanggung jawab besar di pundakku. Jika benar ancaman itu semakin mendekat, maka tugasku memang akan bertambah berat. Tapi, di sisi lain, aku tak bisa mengabaikan kegelisahan moral yang terus tumbuh dalam diriku. Apakah ini berarti aku harus ikut serta dalam permainan kekuasaan yang mempersiapkan penerus dari keluarga yang sama? Bukankah kekuasaan seharusnya berada di tangan rakyat, bukan diwariskan seperti harta benda?
Malam itu, aku berdiri di depan istana, menatap langit yang hitam dan kelam. Pikiran-pikiran berkecamuk, saling berkelindan dalam benakku. Apa yang seharusnya kulakukan? Sebagai pengawal, aku telah bersumpah untuk setia pada Presiden dan melindunginya dari segala ancaman. Tapi apakah kesetiaanku juga harus meluas sampai pada keluarganya, pada putranya yang kini diproyeksikan menjadi penerus? Di dalam hati, aku merasa ini bukan tugas yang kuharapkan, bukan tanggung jawab yang ingin kupikul.
Tugas melindungi Presiden sudah berat. Dan kini, mereka menambah beban itu dengan permintaan untuk menjaga "masa depan" politik keluarganya. Bagaimana aku bisa menjalankan tugas ini tanpa mengkhianati prinsip-prinsip yang selama ini kupegang teguh? Bahwa kekuasaan seharusnya tidak diwariskan, bahwa kekuasaan bukanlah milik keluarga, melainkan milik rakyat.
Aku ingat betul percakapan itu. Kata-kata mereka masih terngiang di kepalaku, seolah-olah aku sedang terjebak dalam labirin yang tak ada ujungnya. Mereka memintaku untuk lebih aktif menjaga kepentingan keluarga, menjaga putra Presiden seolah-olah dia adalah Presiden yang sebenarnya. Tapi, di mana batas kesetiaanku? Apakah aku harus mengabaikan rasa moral yang selama ini menjadi landasan hidupku hanya demi melindungi dinasti politik yang mungkin tidak adil bagi negara ini?
Dalam kesunyian malam, aku mulai menyadari bahwa dilema ini bukan sesuatu yang bisa kutinggalkan begitu saja. Aku telah terjebak dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan. Kesetiaanku diuji, bukan hanya pada Presiden, tetapi juga pada prinsip-prinsip yang selama ini kujaga dengan hati-hati. Apakah aku akan tetap bertahan sebagai pengawal yang setia, ataukah aku harus mulai mempertanyakan perananku di tengah arus politik yang semakin licik ini?
Pikiran-pikiran itu terus menghantui sepanjang malam, seolah-olah tak ada jawabannya. Aku tahu, ke depan, keputusan yang harus kuambil akan semakin sulit. Tapi satu hal yang pasti—aku kini berada di persimpangan jalan yang tidak mudah, dan apapun yang kupilih, akan membawa konsekuensi yang besar.
Malam di istana selalu sepi, terutama setelah rapat-rapat selesai dan para pejabat kembali ke kediaman masing-masing. Namun, keheningan ini tidak lagi memberikan ketenangan seperti dulu. Ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seolah-olah udara di sekitar kami mulai berubah. Tak terlihat, tetapi terasa. Di lorong-lorong istana, tatapan-tatapan curiga mulai menghampiriku, seakan-akan setiap langkahku diawasi. Sejak pertemuan yang membahas "kepentingan keluarga," aku merasa seperti berada di tengah permainan yang sulit kupahami sepenuhnya.
Beberapa orang di lingkaran dalam mulai menunjukkan sikap yang berbeda terhadapku. Aku bisa merasakannya dari cara mereka memandangku, cara mereka berbicara dengan nada yang lebih hati-hati namun penuh makna tersembunyi. Mereka tidak mengatakan secara langsung, tetapi aku tahu mereka mulai meragukan kesetiaanku. Mungkin mereka merasa aku terlalu banyak diam, terlalu sedikit bicara mengenai rencana mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Bagi mereka, diam bisa berarti ketidaksetujuan, atau lebih buruk lagi—pengkhianatan.
Suatu malam, ketika aku tengah berdiri menjaga pintu masuk ke ruangan Presiden, seorang menteri senior datang menghampiriku. Dia tersenyum, tetapi senyumnya itu tak pernah sampai ke matanya. “Bagaimana tugasmu, Mas?” tanyanya, nada suaranya ramah, tapi ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara ia menatapku. Seolah-olah dia sedang menilai sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.
“Tugas seperti biasa, Pak. Aman,” jawabku, mencoba menjaga nada bicara tetap netral. Namun, aku bisa merasakan ada lebih dari sekadar basa-basi di balik pertanyaannya. Dia mengangguk pelan, masih dengan senyum tipis yang terasa dingin, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi kesunyian yang ditinggalkannya membuatku merasa tak nyaman.
Sejak saat itu, aku mulai menyadari bahwa kehadiranku di sekitar Presiden kini lebih dari sekadar pengawalan. Aku menjadi subjek yang dipantau, dinilai, mungkin juga diuji. Mereka ingin tahu sejauh mana kesetiaanku, apakah aku benar-benar berada di pihak mereka atau tidak. Tekanan itu semakin terasa dalam pertemuan-pertemuan kecil, di mana kata-kata yang terlontar tampak seperti jebakan halus yang menunggu tanggapanku.
“Apakah kau mendengar berita tentang putra Presiden? Oposisi semakin gencar menargetkannya,” ucap salah satu dari mereka suatu hari, ketika kami sedang berjalan menuju ruang kerja Presiden. Dia menatapku dari sudut matanya, menunggu reaksi. Aku hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak terlibat lebih dalam. Tapi aku tahu, anggukan itu tak cukup untuk memuaskan rasa curiga mereka.
Setiap hari, situasi ini semakin menyesakkan. Tekanan untuk menunjukkan kesetiaan penuh kepada Presiden dan keluarganya semakin nyata. Mereka mulai memberiku tugas-tugas kecil yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan keamanan Presiden, tetapi lebih kepada melindungi reputasi keluarga. Tugas-tugas yang terlihat sepele, tetapi jelas memiliki maksud tersembunyi. Seperti saat aku diminta untuk menemani putra sulung Presiden ke sebuah acara publik, bukan sebagai pengawalnya, melainkan lebih sebagai pengawas, memastikan tidak ada yang bisa mencederai citra politiknya.
Aku tahu mereka sedang mengujiku. Setiap tindakanku di bawah pengawasan, setiap keputusan kecilku dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah aku sepenuhnya berada di pihak mereka atau tidak. Dan semakin aku diam, semakin mereka meragukanku. Beberapa kali, aku mendengar desas-desus di belakangku. Bisikan-bisikan kecil dari para staf dan pejabat istana. Mereka berbicara pelan, tetapi cukup keras bagiku untuk mendengar. “Dia terlalu tenang,” kata salah satu dari mereka, “sepertinya dia tidak sepenuhnya setia.”
Kata-kata itu seperti duri yang menyelinap ke dalam diriku. Selama bertahun-tahun aku mengabdi pada Presiden, menjalankan tugas dengan setia tanpa mempertanyakan apa pun. Tapi kini, hanya karena aku tidak menunjukkan dukungan terbuka terhadap rencana melanggengkan kekuasaan ini, kesetiaanku dipertanyakan. Ini membuatku semakin terjebak dalam dilema. Jika aku terlalu vokal, mereka akan melihatku sebagai orang yang mencoba mencari muka, tapi jika aku tetap diam, mereka akan semakin mencurigaiku.
Dan kecurigaan itu semakin jelas ketika suatu sore, seorang pejabat istana yang lain mendekatiku dengan cara yang jauh lebih langsung. "Apa kau mengerti betapa pentingnya masa depan keluarga ini bagi negara?" tanyanya tanpa basa-basi. Nada suaranya tegas, tanpa memberi ruang untuk jawaban yang tidak pasti.
Aku menatapnya sejenak, berusaha membaca maksud di balik pertanyaannya. Lalu, dengan tenang aku menjawab, “Tugas saya adalah menjaga Presiden dan keluarganya, Pak. Itu yang selalu saya lakukan.”
Dia tersenyum, tapi itu senyum yang lebih mirip ejekan. “Ya, tapi kali ini tugasmu lebih besar, lebih dalam dari itu. Kau tak hanya menjaga mereka dari bahaya fisik, tetapi juga dari ancaman yang lebih sulit dideteksi. Loyalitasmu diuji sekarang, kau paham itu, kan?”
Aku hanya bisa mengangguk, meski di dalam hati, perasaan tak nyaman semakin menguat. Aku tahu maksudnya. Mereka ingin aku menunjukkan dukungan penuh, bukan hanya dalam tindakan, tapi juga dalam hati dan pikiran. Mereka ingin memastikan bahwa aku benar-benar ada di pihak mereka, siap untuk melindungi rencana ini dengan segala cara.
Setelah percakapan itu, aku merasa semakin terasing di lingkaran dalam istana. Mereka memandangku dengan tatapan yang penuh kecurigaan, seakan-akan aku adalah ancaman yang tersembunyi di balik seragam pengawalku. Setiap gerakanku diawasi, setiap keputusan dipertanyakan. Apakah aku terlalu diam, terlalu netral? Mereka mencari tanda-tanda ketidaksetiaan, mencari celah di mana aku mungkin menunjukkan ketidaksetujuan.
Aku harus semakin hati-hati dalam bersikap. Setiap kata yang keluar dari mulutku harus dipertimbangkan dengan cermat. Di dunia politik ini, kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dan dalam situasi seperti ini, tidak ada ruang untuk kesalahan. Loyalitasku diuji setiap saat, dan aku harus memastikan bahwa aku tidak terseret lebih dalam ke dalam permainan yang semakin licik ini.
Di dalam hati, aku masih memegang teguh prinsip-prinsip yang selama ini menjadi pijakanku. Tapi di dunia yang dikuasai oleh ambisi dan intrik politik, prinsip itu kini terasa semakin rapuh. Setiap hari adalah ujian baru, dan aku tak pernah tahu kapan mereka akan memutuskan bahwa kesetiaanku sudah tidak cukup.
---
Angin malam yang menyapu halaman istana membawa serta perasaan yang tak tenang. Langit di atas sana gelap pekat, seolah mencerminkan apa yang tengah terjadi di sekelilingku. Oposisi semakin berani. Mereka tak lagi bergerak dalam bayang-bayang, tapi sekarang melangkah terang-terangan, dengan taktik yang lebih cerdik dan tanpa ampun. Bocoran skandal mulai menghiasi media setiap hari—headline di koran-koran, topik perbincangan di televisi, dan tak henti-hentinya mengalir di media sosial. Serangan itu jelas diarahkan ke pusat: putra sulung Presiden. Dan semakin hari, semakin terasa bahwa ini bukan lagi hanya soal menjaga keselamatan fisik keluarga Presiden, tetapi juga mempertahankan citra mereka di hadapan publik yang mulai terguncang.
Aku berdiri di depan pintu ruang kerja Presiden, seperti biasa, mengawasi dengan tenang, tapi kali ini suasananya lebih tegang dari biasanya. Setiap orang di lingkaran dalam istana tampak sibuk dengan telepon mereka, suara lirih percakapan sering kali diakhiri dengan desahan resah. Seperti ada badai yang sebentar lagi akan menghantam, dan kami semua tahu itu, tapi tidak seorang pun berani membicarakannya secara terbuka.
"Kau dengar tentang laporan terbaru?" suara seorang kolega menghampiri telingaku di malam yang sunyi itu. Dia salah satu pengawal lain, wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang tak biasa. "Oposisi menemukan sesuatu tentang perusahaan yang terhubung dengan kedua putra Presiden. Mereka bilang ada aliran dana tak wajar. Itu semua akan meledak besok pagi."
Aku tak menanggapi, hanya mengangguk kecil, meski di dalam hati aku tahu ini adalah peringatan awal dari serangan besar yang akan datang. Tidak lagi hanya rumor atau fitnah kecil yang bisa diabaikan. Ini adalah fakta yang siap mereka ledakkan ke publik, dan tak mungkin lagi disembunyikan.
Dalam beberapa hari terakhir, serangan dari oposisi tak berhenti datang. Mereka semakin agresif, mencium celah di balik gemerlap istana ini, dan berusaha menghancurkan citra Presiden lewat putranya. Tugas pengawalan yang dulu terasa sangat fisik—menghalangi ancaman dari luar, melindungi Presiden dan keluarganya dari bahaya nyata—kini berubah drastis. Kami bukan lagi sekadar pelindung tubuh, tapi juga harus menjadi benteng citra. Setiap langkah putra sulung Presiden diawasi lebih ketat, bukan hanya oleh kami yang bertugas, tetapi juga oleh publik dan media yang lapar akan skandal.
Sejak berita tentang dugaan skandal korupsi mulai bocor, setiap gerakan kami menjadi cerminan dari upaya menjaga reputasi. Aku bahkan sempat terlibat dalam percakapan yang terasa janggal dengan seorang staf komunikasi istana. Mereka meminta saran—atau lebih tepatnya, memerintah dengan halus—tentang bagaimana kita harus menampilkan putra Presiden di acara publik berikutnya. “Tolong pastikan dia terlihat tanpa cela. Tidak ada momen yang bisa disalahgunakan oleh media,” ujar mereka. Ada tekanan yang semakin kuat untuk menjaga citra, untuk memastikan tidak ada ruang bagi oposisi menyusup lebih jauh.
Namun, sekuat apapun upaya kami, serangan itu terus berdatangan. Mereka tak hanya menargetkan skandal finansial, tetapi juga menyusup ke ranah pribadi. Gaya hidup, hubungan pribadi, dan bahkan sikap putra Presiden di depan umum menjadi bahan diskusi tajam. Aku mulai merasakan bagaimana situasi ini bukan hanya menguji kesetiaanku, tetapi juga membuatku harus lebih waspada pada tiap langkah yang kuambil. Salah sedikit, dan aku bisa memberi mereka alasan baru untuk menyerang.
Pagi itu, ketika berita tentang dugaan skandal perusahaan putra Presiden mulai tersebar, istana benar-benar sibuk. Telepon terus berdering, dan ada desas-desus bahwa rapat darurat akan segera diadakan. Di balik pintu ruang rapat, Presiden, penasihat senior, dan beberapa orang kepercayaannya tampak berdiskusi dengan nada tegang. Suara-suara itu tak terdengar jelas, tapi aku bisa menebak isinya. Ini adalah salah satu krisis terbesar yang harus dihadapi, dan oposisi tak akan memberi ruang untuk bernafas.
Ketika aku mengawal putra Presiden di hari-hari berikutnya, aku mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Dulu, dia selalu tampak tenang, penuh percaya diri, seakan-akan kekuasaan sudah ada di genggamannya. Tapi kini, wajahnya mulai memancarkan kecemasan. Di bawah sorotan kamera, dia tersenyum seperti biasa, menjabat tangan para tamu dengan keramahan yang terlatih. Namun, ketika kamera tak lagi menyorot, aku melihat beban itu. Dia tahu, skandal ini bisa merusak segalanya.
Kami mulai harus berpikir dua kali sebelum membiarkan media mendekatinya. Acara-acara yang biasanya penuh dengan publikasi besar kini diatur dengan sangat hati-hati, memastikan tidak ada celah bagi pertanyaan-pertanyaan tajam. Bahkan, beberapa kali aku mendengar perdebatan di antara para penasihat Presiden tentang apakah harus membatasi kehadiran putranya di publik hingga situasi mereda.
Namun, ancaman dari oposisi bukan hanya datang dari luar. Di dalam istana sendiri, desas-desus dan ketegangan mulai tumbuh. Beberapa orang mulai meragukan apakah putra Presiden mampu menahan tekanan ini. Kabar bahwa dia mungkin akan mundur dari sorotan politik sempat terdengar, namun segera dibantah oleh orang-orang terdekatnya. Tapi aku tahu, sesuatu telah berubah. Putra sulung Presiden kini menjadi pusat dari badai politik yang terus mengguncang.
Tugas pengawalan kini terasa lebih kompleks dari sebelumnya. Setiap langkahnya harus dipantau, setiap ucapannya harus disaring, setiap interaksinya dengan dunia luar harus direncanakan dengan cermat. Kami tak hanya menjaga dirinya dari ancaman fisik, tetapi juga dari serangan reputasi yang bisa menghancurkan seluruh dinasti ini.
Aku tak bisa mengelak dari perasaan bahwa ini lebih dari sekadar pengawalan biasa. Ini adalah perang politik, di mana kami semua hanyalah pion-pion yang bergerak di papan catur. Dan oposisi, dengan segala daya dan upaya mereka, terus mencari celah untuk menjatuhkan Presiden melalui putranya. Di tengah-tengah situasi ini, aku harus tetap waspada, menjaga setiap tindakan, memastikan bahwa tidak ada yang terselip dari pengawasan kami—karena kini, serangan bukan lagi tentang peluru atau senjata, melainkan tentang kata-kata, skandal, dan persepsi.
---
Saat itu malam sudah larut ketika aku dipanggil ke ruang kerja Presiden. Suasana di luar jendela tampak tenang, namun di dalam ruangan itu, aku bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Presiden duduk di belakang meja besar kayu jati, tampak lebih lelah dari biasanya. Usianya memang semakin terlihat di raut wajah yang mulai menua, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar beban fisik; beban kekuasaan yang kini merambat lebih dalam, menjalar ke seluruh jiwanya.
"Mas," suaranya berat, tapi masih terdengar tegas. "Aku butuh bantuanmu."
Aku berdiri tegak, seperti biasa, dengan sikap siap mendengarkan. Sudah bertahun-tahun aku mengabdi di sini, dan tak sekalipun aku meragukan perintahnya. Namun, kali ini ada rasa was-was yang tumbuh tanpa bisa kukendalikan.
“Anakku, kau tahu dia sedang dalam sorotan,” lanjutnya sambil menatap langsung ke mataku. Aku hanya mengangguk, tanpa berani menyela. Sorotan yang ia maksud bukan hanya dari masyarakat, tapi juga dari media, dari oposisi, dari orang-orang yang ingin melihat dinasti ini runtuh. “Mereka akan terus menyerang, dan aku tak bisa membiarkannya.”