MATAHARI belum sepenuhnya naik, kabut tipis masih menyelimuti halaman istana. Ketenangan pagi itu tak ada artinya dibandingkan badai yang bergolak di dalam ruangan-ruangan yang tak pernah lepas dari hiruk pikuk politik. Sejak beberapa hari terakhir, media seolah menjadi binatang buas yang kelaparan, mencari mangsa di setiap sudut, mengendus bau darah di jejak-jejak masa lalu keluarga Presiden.
Skandal demi skandal yang dulu hanya menjadi bisikan, kini menjadi berita utama. Wartawan-wartawan itu tak lagi hanya menyorot langkah politik putra sulung Presiden, tetapi mereka mulai menggali lebih dalam—mencari celah di masa lalunya. Berita-berita yang mereka sajikan tak ubahnya racun, menyebar cepat ke seluruh penjuru negeri. Setiap pagi, ketika aku mengambil koran yang baru sampai, halaman depan selalu menampilkan wajah putra Presiden, diikuti dengan rentetan tuduhan dan spekulasi. Skandal lama yang tadinya terkubur kini muncul ke permukaan, diolah sedemikian rupa, seolah-olah untuk meruntuhkan segalanya.
Aku, yang berada di tengah badai ini, tak punya pilihan selain diam dan terus menjalankan tugasku. Tapi di setiap langkahku, bayangan berita-berita itu menghantui. Dalam percakapan-percakapan kecil di dalam istana, isu-isu ini mulai menjadi topik hangat. "Kau dengar soal itu?" bisik seorang staf di sudut lorong. "Kata mereka, putra Presiden terlibat dalam sesuatu yang besar waktu dulu, sebelum dia terjun ke politik."
Aku hanya bisa mengangguk, berpura-pura tak terlalu peduli, tapi di dalam diriku, keresahan mulai tumbuh. Media terus menggali, seperti anjing-anjing yang tak akan berhenti sampai menemukan tulang yang tersembunyi di bawah tanah. Fakta-fakta lama diputarbalikkan, dipelintir sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang berbeda dari kenyataan. Seorang pria muda yang dulu dikenal sederhana dan bersahaja, kini dicitrakan sebagai sosok yang ambisius dan penuh tipu daya.
Aku ingat, suatu pagi, tak lama setelah skandal pertama diangkat, aku mendengar Presiden berbicara dengan ajudan dekatnya. "Ini semua bukan kebetulan," katanya dengan suara rendah tapi tegas. "Mereka memang sengaja menargetkan putraku. Mereka tahu, kalau dia jatuh, seluruh keluarga kita juga akan ikut terpuruk."
Dan memang itulah yang terjadi. Setiap hari, media membawa cerita baru. Ada tuduhan bahwa putra Presiden menerima keuntungan dari proyek pemerintah. Ada juga cerita tentang pertemuannya dengan tokoh-tokoh bisnis gelap di masa lalu. Semua itu mungkin hanyalah gosip, namun di tangan media yang lapar, gosip itu berubah menjadi 'kebenaran'. Berita tersebut disampaikan dengan gaya yang seolah-olah tak terbantahkan, membuat publik semakin yakin bahwa apa yang mereka baca adalah fakta
Citra keluarga Presiden, yang selama bertahun-tahun dibangun dengan susah payah, mulai runtuh satu demi satu. Di mata rakyat, mereka tak lagi dipandang sebagai pemimpin yang bersih dan jujur, tetapi sebagai keluarga yang terlibat dalam intrik-intrik politik dan bisnis gelap. Berita-berita itu seperti pisau yang mengiris perlahan-lahan, tapi pasti. Semakin banyak yang diungkap, semakin dalam luka yang ditorehkan.
Dan aku, yang selama ini hanya bertugas melindungi fisik mereka, kini juga terseret ke dalam pusaran ini. Setiap kali aku terlihat di samping putra Presiden, setiap kali aku mengikuti langkah-langkahnya, media mencatatnya. Mereka menyoroti kehadiranku, dan mulai muncul spekulasi baru. "Pengawalnya tahu lebih banyak dari yang terlihat," tulis sebuah kolom di salah satu surat kabar terkenal. "Apakah dia hanya mengawal, atau ada peran lain yang ia mainkan dalam manuver politik keluarga ini?"
Posisiku sebagai pengawal mulai berubah. Aku tak lagi hanya menjadi penjaga yang tak terlihat, aku kini menjadi bagian dari sorotan, meskipun tanpa keinginan. Apa pun yang kulakukan, apa pun yang kukatakan—atau bahkan ketika aku tak berkata apa pun—semuanya bisa dijadikan bahan berita. Setiap gerak-gerikku diperhatikan, setiap langkahku bisa dijadikan bukti bahwa aku terlibat lebih dalam dari yang orang pikirkan.
Di malam-malam yang sunyi, ketika aku duduk sendiri di kamar kecilku, aku sering merenungkan apa yang sebenarnya terjadi. Dulu, tugas ini terasa sederhana. Aku hanya perlu memastikan bahwa Presiden dan keluarganya aman dari ancaman fisik. Namun kini, tugas itu berubah. Ancaman fisik mungkin tetap ada, tapi yang lebih berbahaya adalah serangan terhadap nama baik mereka. Dan aku, yang seharusnya hanya menjadi pelindung, kini terjebak dalam permainan yang jauh lebih rumit.
Terkadang, aku berpikir untuk berbicara, untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, itu tak mungkin. Aku sudah terikat dalam peran ini, dan peranku adalah untuk diam dan mengawasi. Setiap tindakan atau kata yang salah bisa memperburuk keadaan, tidak hanya bagi diriku, tetapi bagi seluruh keluarga Presiden.
Namun, semakin hari, semakin sulit bagiku untuk menjaga jarak. Aku tahu, apa yang sedang terjadi bukanlah permainan yang bisa dimenangkan dengan kekuatan atau strategi biasa. Ini adalah perang yang dilakukan melalui kata-kata, melalui berita, dan melalui persepsi publik. Dan dalam perang seperti ini, tak ada yang benar-benar aman.
Waktu terus berjalan, dan tekanan itu semakin terasa. Putra Presiden mulai jarang terlihat di depan umum, mungkin untuk menghindari sorotan yang semakin intens. Tapi aku tahu, serangan itu takkan berhenti hanya karena ia menghilang dari pandangan. Media sudah mencium darah, dan mereka takkan berhenti sampai mangsa mereka benar-benar jatuh.
Dan aku, berdiri di samping mereka, merasa seperti berdiri di tepi jurang yang semakin dalam. Setiap hari, aku bertanya-tanya, sampai kapan aku bisa terus menjaga keseimbangan ini. Apakah aku bisa terus melindungi mereka dari serangan yang datang dari segala arah? Atau pada akhirnya, aku juga akan jatuh, terseret oleh arus yang tak bisa kuhentikan?
Pagi itu, hujan turun tipis, seperti bisikan halus yang merembes di sela-sela dedaunan dan menempel di kaca mobil yang membawa kami. Di luar, kota masih terlelap dalam suasana yang muram, dengan langit kelabu menggantung berat. Aku duduk di dalam, berpikir bahwa hari ini akan berlalu seperti biasanya—menemani putra Presiden dalam kunjungan resmi yang telah direncanakan jauh-jauh hari. Tapi takdir rupanya memilih jalan yang berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan di udara, sejenis firasat yang mencengkeram erat dadaku sejak pagi.
"Pak, ada seseorang yang ingin bicara dengan Anda," kata salah satu staf di belakangku ketika kami tiba di lokasi yang, bagiku, sudah tidak asing lagi.
Pertemuan itu diatur dengan licik. Sebuah ruang kecil di sudut kota yang tak menarik perhatian siapa pun. Tak ada keanehan di luar, semuanya berjalan normal. Orang-orang hilir-mudik seperti biasa, dengan payung-payung hitam yang bertabrakan satu sama lain di trotoar sempit. Di dalam, aku diundang ke sebuah meja kecil di pojok restoran, hanya satu orang yang duduk di sana—sosok yang diam-diam sudah kuperhatikan sejak lama dari kejauhan. Dia bukan sembarang orang. Sosok ini adalah salah satu pemimpin oposisi yang sangat vokal dalam menentang dinasti yang kini berkuasa.
Aku tahu apa yang akan terjadi—sebuah pertemuan yang tampaknya kebetulan, tetapi jelas-jelas dirancang dengan cermat. Namun, aku tetap datang. Ada daya tarik yang tak bisa kutolak, rasa ingin tahu yang mungkin terlalu besar untuk diabaikan. Aku sadar, ada hal yang lebih besar sedang dipertaruhkan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa perlu mendengar sisi lain.
"Selamat pagi, Pak," katanya sambil menatapku dengan senyum dingin yang sulit kubaca maksudnya. Dia mengangkat cangkir kopinya, menawarkanku untuk duduk.
Aku duduk, tanpa mengatakan sepatah kata. Pertemuan ini, meski direncanakan, harus kubiarkan mengalir seperti air. Aku tak mau terlihat terlalu penasaran, tetapi juga tak ingin tampak tak peduli. Kami berdua paham aturan main ini. Tak ada pertemuan yang benar-benar kebetulan di dunia politik, dan tak ada kalimat yang diucapkan tanpa tujuan.
"Kau tahu, bukan? Apa yang sedang terjadi di negara ini?" tanyanya perlahan. Suaranya datar, tetapi ada kesan kuat di balik setiap katanya.
Aku diam. Menunggu.
"Keluarga Presiden—keluarga yang kau jaga—mereka adalah ancaman bagi bangsa ini." Kalimat itu meluncur tanpa ragu, seakan sudah lama dia persiapkan.
Mataku masih memandang cangkir di depanku, yang berisi kopi hitam yang belum tersentuh. Kata-katanya menggantung di udara seperti awan mendung yang semakin berat.
"Ancaman?" tanyaku akhirnya, lebih sebagai isyarat agar dia melanjutkan daripada pertanyaan tulus.
"Iya," lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya pada kursi. "Apa yang kau lihat selama ini, itu hanya sebagian kecil. Di balik semua kemewahan istana, di balik senyum ramah di depan kamera, ada rencana besar yang sedang berjalan. Mereka ingin mencengkeram negara ini lebih dalam, memastikan kekuasaan tetap berada di tangan mereka, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kau pikir itu demi kebaikan bangsa?"
Aku menahan diri untuk tidak langsung bereaksi. Tentu, ini bukan pertama kali aku mendengar tuduhan seperti itu. Namun, kali ini berbeda. Orang ini, yang berdiri di barisan oposisi, bicara padaku dengan keyakinan yang tak terbantahkan.
"Kami—kami di oposisi," lanjutnya, "tidak akan tinggal diam. Kami tahu betapa berbahayanya situasi ini jika dibiarkan. Sebuah dinasti yang melanggengkan kekuasaan hanya akan membuat negara ini jatuh lebih dalam ke jurang korupsi dan ketidakadilan. Dan kalian... adalah bagian dari semua ini."
Kalimat terakhir itu menohok. Sejenak, aku merasa seperti dihantam pukulan yang tak terlihat. Ya, aku adalah bagian dari semua ini. Tugas yang kupikul selama bertahun-tahun, untuk menjaga keamanan Presiden dan keluarganya, kini terasa seperti beban yang semakin berat di punggungku. Tiba-tiba aku merasa seperti seorang pion di atas papan catur besar, yang selama ini tak menyadari sepenuhnya posisiku dalam permainan ini.
"Apa yang kalian inginkan?" tanyaku pelan, mencoba menyelami maksud dari pertemuan ini.
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lembut, tapi tetap penuh tipu daya. "Saya hanya ingin kau berpikir. Pikirkan siapa yang benar-benar pantas dibela. Apakah kau benar-benar yakin telah berdiri di sisi yang benar?"
Tiba-tiba suasana menjadi lebih tegang. Pertanyaannya menelusup ke dalam pikiranku seperti bisikan setan yang licik. Aku tak ingin terpengaruh, tetapi aku tak bisa mengabaikan kata-katanya begitu saja. Apakah aku selama ini berdiri di sisi yang benar? Apakah keluarganya benar-benar berjuang untuk kebaikan bangsa, atau hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka?
Aku tak langsung menjawab. Pertemuan ini, seperti yang sudah kuduga, bukanlah pertemuan biasa. Ini adalah momen yang dirancang untuk mengguncang keyakinanku. Dia ingin meretakkan kesetiaan yang telah kubangun selama bertahun-tahun. Dan aku tahu, jika aku lengah, retakan itu bisa menjadi lubang besar yang tak bisa diperbaiki.
"Kau tak perlu menjawab sekarang," katanya tenang, seolah membaca kebimbanganku. "Tapi ingatlah, ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar kesetiaan pada seorang pemimpin. Ada nasib bangsa ini yang sedang dipertaruhkan."
Kami berdua terdiam cukup lama setelah itu. Hujan di luar mulai turun lebih deras, suaranya beradu dengan atap restoran yang meneduhkan kami. Di dalam kepalaku, kata-katanya terus berputar, seperti arus deras yang tak bisa kuhentikan.
Aku berpamitan dengan formalitas yang nyaris tak bermakna. Ketika aku kembali ke mobil, hatiku tetap berdebar. Bukan karena ancaman langsung, tapi karena pertanyaan yang ditinggalkannya. Untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya-tanya: apakah mungkin selama ini aku berdiri di sisi yang salah?
---
Aku pernah mengira bahwa berada di lingkaran kekuasaan, dekat dengan Presiden, adalah suatu kehormatan besar. Sekian lama aku bertugas menjaga, menyertai, dan melindungi. Namun kini, setelah sekian lama menyaksikan politik di balik tirai tebal istana, aku mulai menyadari, kehormatan ini lebih menyerupai jebakan. Tekanan yang perlahan menggerogoti ketenanganku mulai terasa seperti belitan tambang yang kian menjerat leher. Intrik dan tipu daya yang dulu terlihat samar kini semakin jelas menghantui setiap langkahku.
Kekuasaan memang bagaikan api, memberikan cahaya dan hangat, tetapi juga mampu membakar siapa saja yang mendekat terlalu dekat. Dan sekarang, aku berada terlalu dekat. Sudah cukup lama aku terjebak dalam permainan ini, tapi baru kali ini aku merasa posisiku begitu rapuh. Bukan hanya oposisi yang mengintai kesalahanku, namun juga mereka yang selama ini kupikir adalah sekutu. Orang-orang di dalam istana, yang wajahnya kupandangi hampir setiap hari, kini tampak berbeda. Tatapan mereka tak lagi ramah, melainkan penuh perhitungan, mengukur setiap gerak-gerikku dengan penuh curiga.
Tekanan dari oposisi memang terus menguat, terutama setelah skandal-skandal mengenai putra Presiden terungkap ke media. Serangan mereka semakin terarah, semakin licik, dan tak hanya menyasar keluarga Presiden. Mereka mulai merambah lebih jauh, menggali setiap informasi yang bisa melemahkan lingkaran dalam kekuasaan. Aku sudah terbiasa menghadapi ancaman fisik, tetapi serangan ini berbeda. Ini adalah serangan yang menembus benteng pertahanan moral, meruntuhkan perlahan-lahan rasa percaya diri yang selama ini kukira kokoh.
Namun yang lebih mencemaskan bukanlah ancaman dari luar, melainkan dari dalam. Di istana, terlalu banyak orang yang berusaha mendapatkan keuntungan dari kejatuhan yang lain. Mereka tak peduli siapa yang jatuh, asal mereka bisa naik ke tempat yang lebih tinggi. Mata-mata tak resmi berkeliaran di sekelilingku, mencuri dengar, mengamati setiap percakapan. Kadang, aku bisa merasakan tatapan curiga dari rekan-rekan yang dulu selalu menepuk pundakku dengan ramah. Seolah-olah, mereka semua sedang menunggu saat aku lengah, saat aku tergelincir dalam satu langkah keliru yang bisa mengakhiri segalanya.
Aku mulai mengamati mereka lebih cermat, mencoba memetakan siapa saja yang bisa menjadi ancaman. Namun, semakin aku memandang, semakin kabur batas antara teman dan musuh. Masing-masing orang di dalam lingkaran ini punya agendanya sendiri, punya kepentingan yang bisa sewaktu-waktu berubah arah. Hari ini mereka tampak berdiri di sisi Presiden, namun siapa yang bisa menjamin bahwa esok mereka tak akan berbalik, mencari jalan keluar lain demi keselamatan diri mereka sendiri?
Aku terjebak di tengah-tengah, berada di antara dua kekuatan besar yang terus saling menekan, saling mengincar kelemahan. Oposisi memang licik, tapi aku bisa memaklumi mereka. Itu sudah tugas mereka, menumbangkan kekuasaan. Namun yang tak pernah kuperkirakan adalah bagaimana orang-orang di dalam istana, mereka yang selama ini bernaung di bawah bayang-bayang kekuasaan Presiden, ternyata juga tak kalah kejam. Jika saja aku bisa melihat apa yang ada di balik setiap senyum dan sapaan, mungkin sejak awal aku sudah lebih waspada.
Setiap percakapan kini terasa lebih hati-hati. Orang-orang berbicara dengan bahasa terselubung, seakan takut kata-kata mereka akan kembali menyerang mereka suatu hari nanti. Aku sendiri mulai memperhatikan gerak-gerikku dengan lebih cermat, berhati-hati dalam berbicara dan bertindak. Rasanya setiap langkahku diawasi, setiap keputusan yang kubuat dipertimbangkan sebagai peluang bagi orang lain untuk menjatuhkanku.
Di sinilah letak bahaya terbesar dari kekuasaan. Semakin tinggi seseorang berdiri, semakin banyak orang yang ingin melihatnya jatuh. Bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Dan aku, yang berdiri di dekat pusat kekuasaan, tak lagi bisa menganggap diriku aman.