Mengawal Curang

Kalam Insan
Chapter #4

Pengkhianatan Tanpa Wajah

AKU mulai merasakan suasana di dalam istana seperti air yang mendidih. Ketegangan yang selama ini hanya samar-samar terasa, kini semakin jelas. Pembicaraan di balik pintu tertutup mulai bocor ke telingaku, meskipun aku tak pernah bertanya. Seperti semut-semut yang mengendap-endap, setiap orang di lingkaran dalam istana kini saling memeriksa langkah satu sama lain. Mereka yang dulunya tampak kuat, berdiri kokoh di belakang Presiden dan putranya, kini mulai goyah.

“Kau tahu, posisi putra Presiden sudah tak aman lagi,” bisik seorang pejabat senior kepadaku suatu malam. Wajahnya pucat, matanya sembunyi-sembunyi memeriksa sekeliling. Aku diam, tak merespon. Kata-katanya menggantung di udara, seperti awan hitam yang siap menurunkan hujan lebat. Setiap sudut istana kini dipenuhi kabar-kabar tak jelas, spekulasi yang kian liar. Oposisi, yang selama ini hanya bayang-bayang, mulai merangkul simpati masyarakat. Mereka tidak hanya memainkan isu-isu ekonomi atau sosial, tetapi mereka juga menyerang langsung ke jantung kekuasaan: keluarga Presiden.

Skandal-skandal lama yang sempat tenggelam, kini diungkit kembali oleh media. Wajah putra Presiden muncul di layar televisi, surat kabar, dan media sosial, namun bukan dalam sorotan yang baik. Tuduhan korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga isu nepotisme menyerang tanpa henti. Aku bisa melihat bagaimana tekanan ini memengaruhi seluruh istana. Bahkan mereka yang paling setia, yang dulu bersumpah akan mendukung Presiden dan keluarganya hingga titik darah penghabisan, kini mulai meragukan komitmen mereka.

Di tengah badai ini, putra Presiden tampak tetap tenang, seolah tak ada yang bisa menyentuhnya. Tetapi di balik senyum dan gestur tenang itu, aku bisa melihat rasa takut di matanya. Ia bukan lagi sosok penuh keyakinan yang dulu pernah kukenal. Setiap langkahnya kini lebih hati-hati, setiap keputusan lebih lambat diambil. Namun, justru dalam perlambatan inilah letak bahayanya. Dunia politik Indonesia tak kenal ampun bagi yang berhenti bergerak. Begitu seseorang tersandung, mereka akan segera dijatuhkan, diinjak-injak tanpa belas kasihan.

Dan aku, yang berada di sisinya, menyaksikan semua ini terjadi seperti menonton kapal perlahan tenggelam di lautan luas. Aku bisa merasakan bagaimana gelombang dari oposisi semakin besar, semakin kuat. Media, yang dulu selalu berpihak pada keluarga Presiden, kini berubah menjadi serigala lapar yang siap menerkam. Setiap berita baru tentang skandal putra Presiden selalu meledak di ruang publik. Orang-orang di jalan mulai berbicara dengan lebih lantang, tak lagi sekadar berbisik-bisik tentang dinasti yang sedang runtuh.

Ketegangan juga merambat ke lingkaran dalam istana. Mereka yang dulu tampak bersatu dalam satu barisan, kini mulai saling mencurigai. Sekutu-sekutu politik Presiden yang selama ini tampak loyal, mulai mempertanyakan masa depan mereka. Mungkin mereka sadar bahwa dinasti ini sedang berada di ambang kejatuhan, dan ketika itu terjadi, tidak ada yang ingin ikut tenggelam bersama. Aku melihat tanda-tanda ini di percakapan mereka yang semakin tertutup, di pertemuan-pertemuan rahasia yang diadakan lebih sering dari biasanya, di tatapan mata yang tak lagi menyiratkan persahabatan, melainkan kecurigaan.

Keretakan ini semakin tampak jelas ketika beberapa pejabat kunci mulai memisahkan diri, secara halus tapi pasti. Beberapa dari mereka mulai menjaga jarak, berdalih sibuk dengan urusan pribadi, sementara yang lain tiba-tiba mengajukan pengunduran diri, memberikan alasan yang terdengar masuk akal di permukaan, tapi penuh dengan tanda tanya di baliknya. Mungkin mereka tahu, badai yang lebih besar akan datang, dan lebih baik bagi mereka untuk melompat dari kapal sebelum kapal itu benar-benar tenggelam.

Di tengah kekacauan ini, aku merasa seperti sosok yang hilang arah. Selama bertahun-tahun, tugasku jelas—mengawal, melindungi, dan menjaga keluarga Presiden. Tapi sekarang, ketika fondasi yang dulu kukira kuat itu mulai rapuh, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang kulindungi. Apakah aku masih berdiri di sisi yang benar? Apakah semua pengorbananku selama ini hanya sia-sia? Ketika sekutu-sekutu Presiden sendiri mulai meragukan loyalitas mereka, bagaimana mungkin aku bisa merasa yakin dengan posisiku?

Namun, satu hal yang tak bisa kuhindari adalah perasaan bahwa aku sedang menyaksikan sesuatu yang besar, sesuatu yang historis. Dinasti yang dulu tampak tak terkalahkan, kini seperti istana pasir yang perlahan-lahan terkikis oleh ombak. Meskipun angin masih berhembus lembut di atasnya, aku tahu gelombang besar sudah mulai mengumpulkan kekuatan di kejauhan. Dan ketika gelombang itu datang, tidak ada yang akan selamat dari dampaknya.

Aku tak bisa berbuat banyak selain mengamati, menyaksikan bagaimana permainan politik ini berubah menjadi medan pertempuran yang tak kasat mata. Setiap orang mencari posisi aman, setiap langkah dipenuhi keraguan. Aku sendiri tak tahu harus ke mana. Tetapi satu hal yang pasti, istana ini tak lagi terasa seperti tempat yang aman. Badai yang ditunggu-tunggu kini sudah di ambang pintu.

---

Selama beberapa waktu terakhir, aku mencoba menarik diri dari pusaran kekacauan yang semakin menggila. Ada momen-momen ketika aku merasa bisa keluar dari semua ini, dari konflik yang menggerogoti istana dan dari permainan kekuasaan yang penuh tipu daya. Namun, seperti halnya daun kering yang terseret arus sungai, semakin aku berusaha menjauh, semakin kuat aku terhisap masuk.

Di dalam istana, ketegangan semakin menjadi-jadi. Ada pihak-pihak yang semakin vokal, mendesak agar tindakan drastis diambil untuk menghancurkan oposisi. Oposisi sudah semakin kuat, merangkul simpati publik dengan isu-isu yang langsung menyentuh hati rakyat. Serangan media tak lagi sekadar menyentil—mereka melontarkan tuduhan yang kian berani, mengungkap skandal-skandal yang selama ini tertutup rapat. Masyarakat yang tadinya enggan bicara soal politik kini menjadi bagian dari sorotan, dan kampanye kotor oposisi sudah mencapai titik yang membuat kubu Presiden gelisah.

Dalam kondisi genting ini, beberapa orang mulai menampakkan diri—sosok-sosok yang selama ini diam, tiba-tiba muncul di balik bayangan. Mereka adalah bagian dari lingkaran dalam, orang-orang yang, di masa tenang, memilih bersembunyi di balik layar, tapi kini merasa saatnya tiba untuk menunjukkan taring. Aku bisa melihat dari tatapan mata mereka—ada ketakutan, namun juga ada ambisi yang memancar kuat. Mereka tahu, jika istana ini jatuh, mereka akan ikut tenggelam. Dan dalam ketakutan itu, mereka mulai berbicara dengan bisikan yang lebih keras dari biasanya. Bisikan-bisikan tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk mempertahankan kekuasaan.

"Tak ada cara lain. Kita harus menghantam mereka lebih keras," kata salah seorang dari mereka, suaranya pelan namun penuh tekanan. "Mereka tak bisa dibiarkan terus menyerang kita tanpa perlawanan. Kita punya kekuatan, dan kita harus memakainya."

Kata-kata itu membuatku gelisah. Bukan hanya karena isinya, tapi juga karena cara penyampaiannya—seolah mereka memandang kekuasaan sebagai permainan yang harus dimenangkan dengan segala cara, terlepas dari moralitas atau kebenaran.

Aku berusaha untuk tidak terlibat. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba menarik diriku, menjaga jarak agar tak ikut terseret ke dalam strategi-strategi kotor mereka. Tapi, setiap kali aku melangkah mundur, selalu ada yang menarikku kembali. Mereka tahu bahwa aku adalah saksi dari banyak hal yang terjadi di dalam istana. Mereka tahu bahwa aku memiliki informasi yang bisa dimanfaatkan—bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga untuk menyerang pihak-pihak yang mereka anggap sebagai ancaman.

"Aku butuh bantuanmu," suara seseorang datang dari belakang. Aku tak menoleh, tapi aku tahu siapa yang berbicara. Salah satu dari mereka yang selama ini menjaga jarak, tapi kini mulai merapat. "Kau tahu lebih banyak dari kami semua. Kau tahu ke mana harus melangkah jika kita ingin bertahan."

Aku menatap lurus ke depan, mengabaikan godaan yang ada dalam suaranya. "Aku hanya di sini untuk mengawal," jawabku singkat.

"Kau bukan sekadar pengawal," katanya, suaranya lebih tegas. "Kau sudah berada di tengah-tengah ini, dan kau tahu bagaimana permainan ini dimainkan. Jika kau ingin selamat, kau harus memilih sisi."

Aku menutup mulut rapat-rapat, namun dalam hati, aku tak bisa menepis kebenaran dari kata-katanya. Mereka melihatku sebagai alat—sebagai seseorang yang bisa dimanfaatkan, diperas informasi dan kemampuannya untuk mengamankan kekuasaan. Di mataku, mereka semua sama. Mereka tak peduli pada apa yang benar atau salah, hanya pada bagaimana mempertahankan cengkeraman mereka.

"Jika kita kalah," lanjutnya, "kita semua jatuh. Dan kau, kau akan jatuh lebih cepat dari yang lain. Kau tahu terlalu banyak."

Ancaman halus itu tak hanya datang dari satu arah. Beberapa hari kemudian, seorang pejabat lain dari lingkaran dalam mendatangiku, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Dia berbicara tentang langkah konkret yang harus diambil untuk "menegakkan keadilan"—kata-kata yang di bibirnya terdengar kosong. Dia memintaku untuk membocorkan informasi, untuk memainkan peran lebih besar dalam serangan balik terhadap oposisi. Dengan dalih mempertahankan negara, mereka mulai berencana melakukan tindakan yang melampaui batas hukum.

"Kau tahu apa yang harus dilakukan," katanya dengan senyum tipis. "Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup."

Aku tahu, sekali lagi, aku berada di persimpangan. Jika aku terlibat, aku akan semakin terjerumus dalam lumpur hitam ini, tanpa bisa lagi kembali ke jalan yang benar. Tapi jika aku menolak, aku tahu mereka takkan tinggal diam. Mereka akan menganggapku sebagai ancaman—seseorang yang harus disingkirkan.

Aku berjalan pulang malam itu dengan kepala penuh pikiran. Jalan yang dulu tampak lurus kini terasa semakin berliku. Pilihan yang ada di hadapanku bukanlah pilihan yang mudah. Setiap langkah yang kuambil akan semakin mengikatku dalam permainan yang semakin kotor.

Dan di kejauhan, aku bisa mendengar gemuruh dari arus yang semakin deras.

---

Oposisi semakin gencar mendekatiku. Mereka seperti serigala yang bisa mencium kelemahan dari kejauhan. Sinyal-sinyal yang kuberikan, meski samar, terbaca jelas oleh mereka. Aku tak lagi sepenuhnya berada di sisi dinasti ini, dan mereka tahu. Dalam setiap pertemuan yang terkesan kebetulan, mereka menyelipkan kata-kata penuh makna, menggiringku untuk mempertimbangkan jalan lain.

Tawaran pertama datang dalam bentuk janji perlindungan. “Kami tahu posisimu tak mudah,” salah satu dari mereka, seorang pria dengan wajah tenang namun licik, berkata saat kami kebetulan bertemu di sebuah restoran kecil. “Jika kau merasa posisimu di istana mulai rapuh, kami bisa memberimu jaminan keamanan. Keluargamu juga. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Awalnya, aku hanya menganggap kata-katanya sebagai basa-basi. Namun, semakin hari, nada tawaran itu makin mendalam. Mereka seolah tahu bahwa aku tak lagi nyaman dengan situasiku. Dari hari ke hari, mereka semakin agresif. Tawaran yang semula tersamar, kini mulai disampaikan secara terang-terangan. “Kau tahu, kami bisa menawarkan lebih dari sekadar keamanan,” pria itu melanjutkan dalam pertemuan berikutnya. “Kami bisa memastikan hidupmu tak hanya selamat, tapi juga nyaman. Masa depanmu, keluargamu, semuanya akan aman, asalkan kau berpihak pada kami.”

Aku merasa tercekik. Di satu sisi, tawaran itu masuk akal. Tak ada yang bisa menjamin keselamatanku lagi di lingkaran istana. Dinasti ini, yang dulu kukira tak terkalahkan, mulai memperlihatkan retakannya. Setiap hari aku menyaksikan intrik-intrik baru. Pengkhianatan bisa datang dari siapa saja. Aku tak bisa lagi memastikan siapa yang benar-benar berada di belakangku, dan siapa yang tengah mengatur skenario untuk menjatuhkanku.

Namun di sisi lain, aku tahu bahwa berpihak pada oposisi bukanlah keputusan mudah. Tawaran mereka bukan sekadar iming-iming perlindungan. Ada harga yang harus kubayar, dan harganya adalah pengkhianatan terhadap segala yang pernah kupegang teguh. Mereka tahu bahwa aku memegang banyak informasi, dan itu yang mereka inginkan. Mereka ingin menggunakan aku sebagai senjata untuk menghancurkan dinasti ini dari dalam. Setiap langkah yang kuambil setelah ini akan menentukan arah hidupku. Tak ada jalan kembali setelah ini.

Di tengah segala tekanan itu, ada momen di mana aku terpaksa memikirkan keluargaku. Oposisi tahu bahwa mereka adalah titik lemahnya diriku. “Kau punya anak, bukan?” tanyanya dalam satu percakapan yang tak sengaja kami lakukan di sudut parkiran gedung parlemen. “Bagaimana jika kami pastikan bahwa mereka tak akan pernah disentuh oleh pihak mana pun? Apa kau tak mau melihat mereka tumbuh dalam keadaan aman?”

Kalimat-kalimat itu mengguncangku. Mereka memainkan kartu terakhir—keluarga. Di antara semua kebimbangan ini, keluargaku adalah satu-satunya hal yang masih membuatku waras. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa menerima tawaran ini berarti aku menukar integritasku dengan sesuatu yang lebih duniawi. Tawaran itu menjanjikan keamanan dan perlindungan, namun di balik itu, aku paham bahwa aku akan menjadi pion bagi mereka. Sekali aku menerima, aku akan menjadi bagian dari permainan yang tak akan pernah selesai.

Setiap malam, saat kembali ke rumah, aku memandang wajah anak-anakku yang tertidur lelap. Mereka tak tahu bahwa ayah mereka kini berada di ambang sebuah keputusan besar. Mereka tak tahu bahwa di luar sana, ada kekuatan yang siap menarik kami ke dalam pusaran kekacauan politik yang kian memanas. Kadang-kadang, aku berpikir, mungkin menerima tawaran oposisi adalah pilihan terbaik. Setidaknya, keluargaku bisa hidup dalam ketenangan. Tapi kemudian, hatiku kembali goyah. Apakah benar menyerah pada kekuatan yang selama ini kulawan? Apakah ini tak berarti aku mengkhianati segala yang pernah kupercaya?

Dalam perjalanan pulang dari satu pertemuan rahasia dengan salah satu pemimpin oposisi, pikiranku berkecamuk. Jalan yang kulalui sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menerangi perjalanan malamku. Saat itulah aku sadar bahwa dalam permainan ini, aku tak pernah benar-benar bebas. Baik tetap di istana maupun berpihak pada oposisi, keduanya sama-sama menjebakku. Namun kini, tekanan semakin membesar dari kedua sisi. Dan aku tahu, jika aku terus menunda keputusan, mungkin pada akhirnya aku tak akan punya pilihan lain.

Oposisi semakin giat. Mereka terus menekanku, menawarkan lebih banyak insentif, seolah-olah mereka tahu bahwa waktuku tak banyak. Janji perlindungan hukum dan keamanan bagi keluargaku terus mereka dengungkan, seperti mantra yang berusaha menghipnotisku. Aku tahu, sekali aku memutuskan berpihak pada mereka, aku tak akan bisa kembali. Tapi jika aku menolak, apa yang tersisa untukku di istana?

Malam itu, di bawah sinar rembulan yang pucat, aku kembali dihadapkan pada sebuah persimpangan. Jalan mana yang akan kupilih? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, dalam permainan ini, aku tak lagi menjadi pengawal yang hanya mengikuti perintah. Kini, aku menjadi bagian dari konstelasi besar yang menentukan nasib bangsa ini, dan nasibku sendiri.

---

Ia bukanlah tokoh besar di istana. Namanya tak pernah disebut dalam percakapan politik atau intrik kekuasaan. Namun, di balik kesederhanaannya, ada kekuatan yang tak terlihat. Orang-orang di lingkaran kekuasaan sering melewatinya, menganggapnya sebagai seseorang yang tak penting dalam permainan besar ini. Namun aku tahu, di balik setiap langkah kecilnya, ia memainkan peran yang lebih besar dari yang terlihat.

Pertemuan pertama kami terasa tak disengaja. Ia mendekatiku di salah satu sudut ruangan saat aku sedang menunggu perintah. Tidak ada yang istimewa dari pertemuan itu. Hanya sebuah percakapan ringan yang membuka pikiranku sedikit lebih luas dari sebelumnya. “Kadang-kadang,” katanya, “permainan politik ini bukan soal memilih antara hitam dan putih. Ada abu-abu di antaranya. Kau harus bisa melihat ke sana.”

Kata-katanya menyentuhku. Sebagai seseorang yang berada di tengah kegelapan politik, aku jarang memikirkan kemungkinan jalan tengah. Bagiku, memilih satu sisi berarti meninggalkan sisi lainnya. Tapi ia menanamkan benih keraguan dalam diriku. Mungkinkah ada jalan keluar dari situasi ini tanpa harus mengkhianati kedua belah pihak? Tanpa harus memilih di antara dua kekuatan besar yang saling menghancurkan?

Seiring waktu, percakapan-percakapan kami semakin dalam. Dia tidak pernah memaksa atau menekanku. Pendekatannya berbeda dari yang lain. Jika oposisi dan lingkaran dalam istana masing-masing mencoba menarikku dengan tawaran-tawaran kekuasaan atau janji-janji keamanan, dia menawarkan sesuatu yang lebih manusiawi: keseimbangan. Ia melihat kekacauan politik ini sebagai sesuatu yang bisa dihadapi dengan kepala dingin, tanpa harus menenggelamkan diri dalam kotoran yang selama ini menyelimuti setiap langkahku.

Aku tidak bisa mengabaikan betapa tenangnya dia menghadapi segala gejolak di sekelilingnya. Dalam politik istana yang penuh kecurigaan dan pengkhianatan, ia seolah menjadi oase yang tak terjamah oleh kebusukan. Setiap kata-katanya membuatku merenung lebih dalam tentang peranku selama ini. Apakah mungkin bagiku untuk terus bertahan tanpa harus tenggelam? Tanpa harus menjadi bagian dari keburukan yang makin nyata di depanku?

Lihat selengkapnya