KETIKA pagi merangkak keluar dari kegelapan malam, suara gemuruh itu mulai terdengar. Suara yang berasal dari televisi, dari radio, dari ponsel setiap orang di istana. Aku bisa merasakannya meski tak langsung mendengar, seperti angin badai yang semakin mendekat. Setiap orang berbisik, menyebarkan berita yang baru saja meledak di media. Skandal yang selama ini hanya jadi bisikan-bisikan kecil di sudut-sudut ruangan kini telah menjadi tsunami besar, menyapu bersih segala sesuatu yang pernah berdiri kokoh di atasnya.
Putra Presiden—pria yang selama ini kukawal dengan setia, yang hidupnya kutaruhkan dalam setiap tindakanku—sekarang menjadi pusat dari kehancuran ini. Namanya disebut-sebut dalam setiap judul berita, wajahnya menghiasi setiap layar kaca, bukan sebagai penerus dinasti yang dijaga begitu rapi oleh keluarganya, tapi sebagai simbol kebobrokan kekuasaan yang mulai retak. Skandal ini, lebih besar dari apa yang pernah kubayangkan. Korupsi, kolusi, suap-menyuap dengan pengusaha besar—semua terungkap dengan jelas. Bukan lagi hanya sekadar rumor yang dibisikan di lorong-lorong istana, ini adalah kebenaran yang dipaparkan dengan bukti-bukti tak terbantahkan.
Aku bisa melihat ekspresi keputusasaan di wajah orang-orang istana. Mereka yang dulu percaya diri dengan kekuasaan yang nyaris absolut, kini berjalan dengan kepala tertunduk. Beberapa di antara mereka mulai menjaga jarak, berusaha menyelamatkan diri dari pusaran yang semakin kuat. Mereka tahu, dinasti ini sedang tenggelam, dan siapa pun yang tidak segera meloncat dari kapal akan ikut terseret ke dasar.
Namun, aku tak bisa pergi begitu saja. Tugasku adalah mengawal mereka—mengawal dinasti ini—sampai akhir. Tapi akhir seperti ini, aku tak pernah membayangkannya. Apakah ini benar-benar yang mereka layak terima? Ataukah mereka hanya korban dari permainan yang lebih besar, dari sistem yang memang sudah korup sejak awal? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku tanpa jawaban yang pasti, hanya menyisakan kebingungan dan kegelisahan.
Di ruang rapat istana, suasana sangat tegang. Beberapa pejabat penting sudah berkumpul, memandang satu sama lain dengan kecurigaan yang tebal. Tak ada lagi senyuman basa-basi, hanya wajah-wajah muram yang tahu bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, hidup mereka akan berubah. Dalam beberapa jam saja, putra Presiden telah jatuh dari sosok yang dipuja-puja menjadi simbol dari semua yang salah dalam pemerintahan ini.
“Kita harus melakukan sesuatu!” teriak salah satu menteri, suaranya bergema di ruangan yang luas. “Kita tak bisa membiarkan ini terus terjadi. Oposisi sudah terlalu jauh. Mereka tidak hanya ingin menggulingkan Presiden, mereka ingin menghancurkan kita semua!”
Di pojok ruangan, aku berdiri diam, menyaksikan perdebatan itu dengan perasaan campur aduk. Apakah semua ini masih bisa diselamatkan? Apakah ada jalan keluar yang tidak melibatkan kehancuran total? Aku melihat ke arah putra Presiden yang duduk di kursi besar di tengah ruangan, wajahnya pucat, mata-matanya kosong seakan sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar ancaman politik. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Tak ada lagi kesombongan yang dulu kerap ia tunjukkan. Ia tahu bahwa saat ini ia tidak lagi mengendalikan keadaan. Bahkan mungkin, ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar.
Media terus-menerus memborbardir keluarganya. Setiap jam, berita baru muncul, membongkar lebih banyak skandal, lebih banyak keburukan. Oposisi mengambil keuntungan dari situasi ini, mengendalikan narasi di mata publik. Mereka sudah terlalu kuat, dan kini kekuasaan dinasti mulai goyah. Dalam hitungan hari, mungkin bahkan jam, semua ini bisa berakhir. Tapi belum ada yang siap mengakui kenyataan itu.
Dalam kekacauan ini, aku menjadi saksi dari semua yang terjadi. Aku tak bisa menutup mata atau telinga, meskipun setiap hari hatiku semakin berat. Aku adalah bagian dari dinasti ini, terikat pada sumpah dan tanggung jawab yang kuterima dengan penuh kesadaran sejak awal. Namun sekarang, dengan segala yang terbongkar, aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apakah kesetiaanku masih ada artinya? Apakah melindungi mereka berarti membenarkan semua tindakan yang dilakukan atas nama kekuasaan?
Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku hanya bisa bertahan, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Orang-orang di istana berlarian, panik, mencari jalan keluar yang bisa menyelamatkan diri mereka sendiri. Sebagian dari mereka, yang dulu tampak setia, mulai menghilang satu per satu, berusaha menjauh dari skandal yang semakin meluas. Namun, aku tetap di sini, masih terjebak di antara tanggung jawab dan moralitas, di antara perintah yang terus berdatangan dan hati nuraniku yang semakin keras berbisik bahwa ini semua salah.
Di luar istana, gelombang protes mulai terdengar. Rakyat sudah muak. Mereka yang dulu mendukung dinasti ini dengan segala janji kesejahteraan, kini berbalik melawan. Mereka menyuarakan kemarahan dan kekecewaan yang selama ini mungkin tertahan di dada mereka. Dalam protes-protes itu, aku bisa mendengar suara kebenaran, suara yang selama ini tak pernah kudengar ketika aku hanya fokus melindungi orang-orang di puncak kekuasaan.
“Lihatlah mereka,” gumam seorang pejabat senior di sebelahku, matanya menatap ke luar jendela. “Mereka semua hanya menunggu kita jatuh.”
Dan mungkin dia benar. Oposisi, media, bahkan sebagian rakyat, seakan hanya menunggu momen ini—momen di mana kekuasaan yang selama ini tak tersentuh mulai rapuh, momen di mana mereka bisa meraih kemenangan tanpa harus mengangkat senjata.
Aku memandang lagi ke arah putra Presiden. Wajahnya masih pucat, namun di balik ekspresi dinginnya, ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Untuk pertama kalinya, ia tampak seperti manusia biasa, bukan sosok yang selalu dipandang sebagai pewaris takhta. Aku tak bisa membayangkan apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya. Apakah ia menyadari bahwa dinasti yang dibangunnya dengan susah payah, dengan segala tipu daya dan kekuatan, kini berada di ambang kehancuran?
Pertempuran besar ini, meski tak berdarah, adalah perang yang lebih kejam daripada apa pun yang pernah kusaksikan. Skandal terbesar yang melibatkan putra Presiden telah membongkar segala kebusukan yang selama ini disembunyikan. Dan aku, hanya bisa berdiri di tengah pusaran ini, menyaksikan segala yang telah kubantu bangun mulai runtuh. Kekuasaan dinasti ini mulai runtuh seperti rumah kartu yang diterpa angin kencang, dan aku tak tahu harus ke mana melangkah.
Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa akhir dari segalanya sudah dekat. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, aku tahu bahwa tidak ada yang bisa kembali seperti semula. Aku telah menyaksikan kehancuran itu datang, dan kini aku hanya menunggu momen di mana semuanya benar-benar runtuh.
---
Dalam bayang-bayang kekacauan yang kian merajalela, aku merasa seperti sekoci kecil yang terombang-ambing di tengah badai laut. Setiap langkah yang kuambil, setiap keputusan yang kupikirkan, selalu membawa beban yang tak terkatakan. Kekuasaan yang dulu tampak kokoh dan tak tergoyahkan kini retak di segala sisi. Dan aku, sang pengawal, yang pernah berdiri tegap melindungi, sekarang tak lebih dari seorang saksi yang terperangkap di antara pilihan hidup dan kehormatan.
Di balik keheningan yang terasa ganjil di koridor istana itu, aku tahu, sesuatu yang besar sedang menunggu di luar. Oposisi, yang selama ini mengintai dari balik bayang-bayang, akhirnya muncul dengan kekuatan penuh. Mereka tak lagi bersembunyi di balik argumen politik atau strategi halus; kini mereka menawarkan pilihan yang sangat nyata dan gamblang.
“Ini kesempatanmu yang terakhir,” kata salah seorang dari mereka, seorang pria yang tak pernah kutemui sebelumnya namun wajahnya terasa begitu familiar dari layar berita. Wajah itu selalu hadir dalam tajuk utama yang menghantam dinasti Presiden. Suaranya dingin, lugas, dan penuh kepastian, seakan-akan ia sudah tahu bagaimana akhir dari semua ini akan terjadi. “Kami bisa menjamin keselamatanmu. Kau tahu bahwa kau tak akan selamat jika terus bersama mereka.”
Ia menatapku dalam-dalam, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Aku tahu apa yang mereka tawarkan. Mereka menjanjikan segalanya—perlindungan, keamanan, bahkan kehidupan yang lebih baik bagi keluargaku. Namun, dalam setiap janji yang diutarakan, selalu ada sesuatu yang tak bisa mereka katakan dengan gamblang: bahwa dengan bergabung bersama mereka, aku harus melepaskan segalanya. Aku harus meninggalkan bukan hanya tugas dan tanggung jawabku sebagai pengawal, tetapi juga integritas yang selama ini kubawa.
Apa artinya menerima tawaran ini? Menjual kesetiaanku? Menukar semua yang pernah aku junjung hanya demi keselamatan pribadi?
Aku menundukkan kepala, berusaha berpikir jernih. Di depanku, lelaki itu terus berbicara, suaranya seolah-olah datang dari kejauhan. “Kami tidak butuh banyak dari dirimu. Hanya satu hal saja. Bantu kami melemahkan mereka, dan kami akan pastikan kau dan keluargamu aman.”
Bantu mereka melemahkan dinasti ini—aku tahu betul apa artinya. Artinya aku harus menyudahi apa yang sudah dimulai. Menjadi bagian dari kejatuhan, mencabut nyawa politik dinasti ini. Namun, sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak segera menyetujuinya, karena hatiku belum sepenuhnya tenang.
Di satu sisi, ada jaminan keselamatan. Tawaran yang masuk akal. Keluargaku, yang selama ini berada dalam bahaya akibat posisiku di dalam lingkaran kekuasaan, bisa hidup dengan tenang. Aku tak perlu lagi khawatir tentang ancaman yang terus mengintai dari hari ke hari. Namun, di sisi lain, aku tahu bahwa harga yang harus kubayar adalah harga diriku sendiri. Sekali aku mengambil jalan ini, aku tak akan pernah bisa kembali. Segala sesuatu yang pernah kubela, segala kehormatan yang pernah kupegang, akan sirna dalam satu keputusan.
Aku terdiam sejenak. Suasana di sekelilingku terasa begitu hampa. Di balik semua tawaran itu, aku tak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa dinasti ini sedang sekarat. Oposisi terus-menerus menggempur, mencabik-cabik sisa-sisa kejayaan yang pernah dimiliki oleh keluarga Presiden. Putranya, yang pernah begitu dipuja, kini hanya bayangan dari kekuatan yang pernah ia pegang. Dan aku, orang yang seharusnya melindunginya, justru dihadapkan pada pilihan untuk menghancurkannya.
Namun, apakah setia pada dinasti ini benar-benar pilihan yang lebih baik? Jika aku tetap di sini, aku tahu bahwa hidupku akan terperangkap dalam kehancuran yang tak terelakkan. Aku akan tenggelam bersama mereka, seperti sebuah kapal karam yang tak mungkin lagi diselamatkan. Dan lebih buruk lagi, keluargaku juga akan terseret dalam arus ini. Apakah aku siap untuk itu?
“Pikirkan baik-baik,” pria di depanku melanjutkan, menekan dengan suaranya yang tajam. “Kita berdua tahu bahwa waktumu di sini tak banyak lagi. Kami memberimu pilihan, sebuah jalan keluar yang aman. Ambil kesempatan ini, atau kau akan ikut tenggelam bersama mereka.”
Kata-katanya menggema di benakku. Ya, waktuku memang hampir habis. Bahkan lingkaran dalam dinasti ini tak lagi sepenuhnya mempercayaiku. Aku tahu bahwa ada mata-mata yang mengawasi setiap gerak-gerikku, memastikan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang membahayakan mereka. Setiap langkah yang kuambil dipenuhi kecurigaan, setiap keputusan kecilku dinilai dengan tajam. Jika aku terus berada di sini, aku tahu bahwa aku hanya menunggu waktu sampai mereka menyadari bahwa kesetiaanku mulai goyah. Dan ketika saat itu tiba, mereka tak akan ragu untuk menyingkirkanku.
Namun, masih ada sesuatu yang menahan diriku dari mengambil tawaran itu. Mungkin ini adalah rasa setia yang sudah tertanam begitu dalam di hatiku, rasa bahwa aku tak bisa begitu saja mengkhianati mereka yang selama ini aku lindungi. Meskipun aku tahu bahwa dinasti ini penuh dengan kesalahan, meskipun aku sadar bahwa kehancuran mereka mungkin sudah tak terhindarkan, aku belum siap untuk menjadi bagian dari pengkhianatan ini.
“Aku butuh waktu,” kataku akhirnya, meskipun aku tahu bahwa waktu adalah sesuatu yang tak kumiliki banyak lagi. Pria di depanku mengangguk, seolah-olah ia sudah menduga jawabanku.
“Ambil waktu yang kau butuhkan,” katanya, sebelum berbalik dan berjalan pergi. “Tapi ingat, kesempatan ini tak akan datang dua kali.”
Aku berdiri di sana, memandangi punggungnya yang menjauh. Kata-katanya terus menggaung di telingaku. Kesempatan ini tak akan datang dua kali. Aku tahu bahwa ia benar. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk menyelamatkan diri. Namun, di saat yang sama, aku juga sadar bahwa keputusan ini akan menentukan seluruh masa depanku. Bukan hanya untukku, tetapi juga untuk keluargaku.
Dengan langkah berat, aku berjalan kembali ke dalam istana, melewati lorong-lorong yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Di setiap sudut, aku bisa merasakan sisa-sisa kekuatan dinasti ini yang semakin pudar. Mereka yang dulu berdiri tegak, sekarang bersembunyi dalam ketakutan. Mereka yang dulu memerintah dengan tangan besi, kini mulai terguncang oleh serangan yang datang dari segala arah.
Aku tahu bahwa aku harus segera mengambil keputusan. Namun, semakin aku berpikir, semakin sulit bagiku untuk menentukan mana jalan yang benar. Jika aku bergabung dengan oposisi, aku mungkin bisa menyelamatkan hidupku dan keluargaku. Tapi di mana letak kehormatan dalam itu? Jika aku tetap setia pada dinasti ini, aku tahu bahwa kehancuran sudah tak terelakkan. Tapi di mana letak pengkhianatanku jika aku tetap bertahan di sisi mereka?
Aku berhenti sejenak, memandangi potret keluarga Presiden yang tergantung di dinding. Wajah-wajah mereka tampak begitu tenang dalam gambar, seolah-olah mereka tak pernah tahu bahwa badai besar sedang menghantam. Di luar, suara media yang terus melaporkan kehancuran mereka semakin nyaring. Dan aku, di tengah semua ini, hanya bisa berdiri, terperangkap di antara pilihan yang tak bisa kuhindari.
---
Keputusan itu akhirnya kuambil di tengah malam yang sepi, ketika seluruh istana tampak tenggelam dalam keheningan. Namun, bagiku, malam itu tidak sekadar hening—melainkan dipenuhi dengan gema dari keputusan-keputusan yang sudah lama kuabaikan. Rasanya, beban di dada yang selama ini kubawa dengan ragu-ragu, akhirnya luruh perlahan saat kuputuskan untuk pergi.
Aku tidak memilih oposisi, tidak pula sepenuhnya mendukung dinasti yang semakin hari semakin terpuruk dalam lumpur politik. Ada saat-saat di mana pertempuran batin terasa begitu nyata, bahkan lebih nyata dari pertempuran politik di luar sana. Tapi kini, aku berdiri di ambang keputusan besar, dan hanya satu hal yang kutahu pasti—aku tak bisa terus terlibat dalam permainan kotor ini.
Tapi jangan salah, ini bukanlah keputusan yang lahir dari keinginan untuk lari dari kenyataan. Aku tak pernah takut menghadapi apa yang ada di depan. Selama ini, dalam setiap tugas yang kuemban, ada tanggung jawab besar yang kurasakan, baik kepada negara maupun kepada diriku sendiri. Tapi tanggung jawab itu kini tak lagi jelas arahnya. Lingkaran yang dulu kukira tempat untuk mengabdi pada negara, kini tak lebih dari arena pertempuran antar kelompok yang haus akan kekuasaan. Aku bukan lagi seorang pengawal yang melindungi pemimpin dari ancaman eksternal. Kini aku hanya pion dalam permainan yang lebih besar dari apa yang sanggup kuhadapi.
Pilihan untuk pergi tentu tidaklah mudah. Bayangkan saja, berada di tengah-tengah dua kubu yang saling menjegal. Di satu sisi, oposisi menawariku jaminan dan perlindungan, dan di sisi lain, dinasti menuntut kesetiaanku sampai akhir. Namun, keduanya membawa konsekuensi yang tak bisa kuterima. Bergabung dengan oposisi berarti mengkhianati sumpah yang pernah kuambil untuk melindungi pemimpin negara, meskipun kini aku tahu bahwa sumpah itu mulai kabur maknanya. Tapi tetap bertahan dengan dinasti yang semakin tenggelam? Itu sama saja dengan menggali kuburanku sendiri, ikut serta dalam kekejian yang tak lagi bisa kutolerir.
Dengan memutuskan untuk tidak berpihak pada keduanya, aku sadar bahwa diriku akan menjadi musuh bagi semua pihak. Oposisi akan melihatku sebagai pengkhianat yang tak bisa dipercaya, sementara dinasti akan menganggapku sebagai pelarian yang tak lagi loyal. Aku akan menjadi buronan dari kedua sisi. Tapi anehnya, meskipun ancaman itu nyata dan bisa datang kapan saja, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa merdeka.
Malam itu aku berjalan sendirian, melewati lorong-lorong panjang istana yang sepi. Langkahku berat, bukan karena ragu, tetapi karena penuh kesadaran akan apa yang mungkin akan terjadi setelah ini. Aku tahu bahwa setiap orang yang pernah kupercaya di sini—dari sesama pengawal hingga para pejabat di lingkaran dalam—takkan lagi melihatku dengan pandangan yang sama. Mereka akan menganggapku pengkhianat, orang yang melarikan diri dari tanggung jawab, dan lebih buruk lagi, seorang yang tak lagi bisa dipercaya oleh siapa pun.
Namun, seberat apa pun stigma itu, aku memilihnya. Lebih baik melawan dunia dengan nurani yang masih utuh, daripada tinggal di dalam istana dengan tangan yang sudah kotor oleh kebusukan politik. Mungkin aku tak akan pernah bisa membersihkan diriku sepenuhnya dari keterlibatanku selama ini. Tapi setidaknya, aku masih bisa pergi tanpa sepenuhnya melacurkan prinsip-prinsip yang kumiliki.
Langkahku membawaku keluar menuju taman di belakang istana. Di situ, di bawah langit malam yang tanpa bintang, aku berdiri dan merasakan angin malam yang dingin menampar wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mengambil langkah selanjutnya. Di kejauhan, aku bisa mendengar suara kendaraan-kendaraan yang melaju di jalanan ibu kota, suara kehidupan yang terus berjalan di luar istana. Kehidupan yang selama ini terasa jauh dariku, karena aku selalu terkurung dalam tembok politik yang membatasi pandanganku.