SUARA cicit jangkrik menyelinap di antara keheningan malam, tapi pikiranku terus melayang, menolak istirahat. Meski telah lama meninggalkan istana, batinku tak pernah benar-benar bebas dari ingatan tentang permainan kotor yang dulu kuanggap bisa kutinggalkan dengan mudah. Sekarang, bayang-bayang itu kembali datang, merangsek dalam bentuk ancaman yang langsung menyasar keluargaku. Aku tak tahu harus berbuat apa—berpikir sudah kulepaskan semua ini, namun tetap saja mereka mengejarku, mengintai setiap langkah.
Di tengah kegelisahan itu, sebuah pesan singkat tiba di ponselku. Tanpa pengirim yang jelas, hanya sebuah nomor asing yang muncul di layar. Pesannya pun ringkas, tapi cukup untuk membuat bulu kudukku berdiri: "Kita perlu bicara. Ini tentang pilihan yang kau kira tak ada." Di bawahnya, tertulis sebuah alamat di pinggiran kota.
Awalnya, aku ragu. Namun, di saat bersamaan, aku tahu bahwa aku tidak punya banyak pilihan. Apa pun yang akan terjadi di pertemuan ini, setidaknya ini memberiku satu arah. Dan, entah kenapa, rasa penasaran mengalahkan ketakutan yang telah menghantuiku selama ini. Mungkin ini cara bagiku untuk menemukan jawaban di tengah kekacauan yang kian menyesakkan dada.
Malam itu, aku mendapati diriku menyusuri jalanan sepi menuju lokasi yang tertera di pesan. Rumah tua di ujung gang, nyaris tak terlihat dari jalan besar, namun beraroma misteri. Pintu yang sudah reyot dan catnya mulai mengelupas membuat tempat ini tampak tak berpenghuni. Aku mengetuk pintu dua kali, suara knalpot motor jauh di belakangku menjadi satu-satunya tanda kehidupan di sekitar.
Ketika pintu terbuka, seorang lelaki tua berdiri di ambang pintu. Aku mengenali wajahnya. Rambutnya yang sebagian besar sudah memutih, dan kerutan di wajahnya menandakan tahun-tahun penuh pengalaman, lebih dari sekadar jadi pengamat pasif politik. Ia dulunya adalah salah satu pemain besar di lingkaran istana—bukan sebagai penguasa, tapi sebagai orang yang ada di balik layar, menarik benang-benang kekuasaan dengan jari-jarinya yang piawai.
“Silakan masuk,” katanya dengan suara rendah yang masih penuh otoritas meski usianya tak lagi muda.
Aku melangkah masuk, menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang minim perabot. Tak ada yang istimewa, kecuali tumpukan buku dan kertas-kertas tua yang tampak berserakan di meja kayu. Ini bukan rumah seorang politisi yang menikmati kemewahan. Tidak ada keangkuhan atau kemegahan, tapi justru kesederhanaan yang membuat segalanya terasa lebih nyata. Lelaki ini pernah hidup di tengah kekuasaan, tapi kini ia tampak seperti seseorang yang sudah melepaskan segalanya, meski tatapan matanya masih tajam—terasa bahwa ia belum benar-benar menyerah pada permainan yang pernah ia jalani.
“Kau masih ingat aku, bukan?” tanyanya tanpa basa-basi, seraya mengambil tempat di kursi yang terlihat hampir roboh.
Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat. Namanya dulu pernah begitu disegani, meski tak banyak dikenal di kalangan luar. Ia adalah salah satu 'shadow player'—orang yang menggerakkan kekuasaan di balik layar, menyusun strategi dan rencana tanpa pernah tampil di depan publik. Ia bukan bagian dari dinasti Presiden, tapi ia juga tidak pernah terlibat dengan oposisi secara langsung.
“Kukira kau sudah pensiun, Pak,” kataku akhirnya, mencoba mencari alasan mengapa aku di sini.
Ia tersenyum tipis, seakan menyadari betapa naifnya ucapanku.
“Tidak ada yang benar-benar pensiun dari permainan ini, Nak,” katanya pelan. “Mereka yang benar-benar mengerti permainan ini, tahu kapan harus diam, dan kapan harus bergerak.”
Aku terdiam, menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya. Selama ini aku mengira bahwa aku telah berhasil melarikan diri, bahwa dengan meninggalkan istana aku bisa lepas dari jebakan permainan politik. Tapi dari caranya berbicara, aku tahu bahwa tak ada yang semudah itu.
“Aku sudah melihat cukup banyak orang, seperti dirimu, yang mencoba keluar. Yang mereka lupa, adalah bahwa kekuasaan ini tak akan pernah membiarkan siapa pun pergi begitu saja. Kau tahu terlalu banyak. Mereka tak bisa mengambil risiko kau hidup bebas.”
Aku menelan ludah, tak bisa membantahnya. Ancaman-ancaman yang kini mulai mengarah ke keluargaku sudah membuktikan hal itu.
“Tapi kau punya pilihan lain,” katanya, suara rendahnya seakan menembus kesunyian malam. “Bukan bergabung dengan mereka, dan bukan pula melawan dengan berpihak pada oposisi yang sama busuknya. Kau bisa mengambil jalan ketiga, jika kau mau.”
Aku memandangnya penuh rasa ingin tahu. Jalan ketiga? Seolah membaca pikiranku, ia mulai menjelaskan. Tokoh ini bukan hanya sekadar penonton yang sudah pensiun. Ia telah mengamati permainan ini jauh lebih lama daripada yang bisa kubayangkan. Ia tahu setiap celah, setiap gerakan, setiap ambisi tersembunyi yang pernah terjadi di balik layar. Dan kini, ia menawarkan sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya—sebuah jalan untuk memecah kedua kekuatan besar yang kini beradu. Dinasti dan oposisi sama-sama kuat, tapi juga rentan. Keduanya tergantung pada jaringan-jaringan kecil yang bisa dihancurkan jika tahu caranya.
“Kau tahu betapa lemahnya mereka di balik kekuasaan itu?” tanyanya. “Mereka tampak tak terkalahkan di luar, tapi di dalam, ada terlalu banyak ambisi yang saling bertabrakan. Dan oposisi? Mereka tak jauh berbeda. Jika kau bisa menghancurkan kepercayaan di antara mereka, maka keduanya akan runtuh.”
Aku mencoba mencerna kata-katanya. Ini bukan hanya tentang memilih pihak, tetapi tentang menghancurkan struktur yang ada. Dengan cara ini, aku tidak perlu terlibat langsung dalam permainan mereka, tapi juga tidak harus tunduk pada salah satu pihak. Aku bisa melepaskan diri dari lingkaran kekuasaan yang selama ini mencengkramku. Tapi di sisi lain, rencana ini terdengar lebih berisiko dari apa pun yang pernah kupikirkan.
“Bagaimana caranya?” tanyaku, dengan suara yang nyaris berbisik.
Ia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Aku akan menunjukkan caranya. Kau hanya perlu melakukan bagianmu, dan aku akan memastikan mereka saling menghancurkan tanpa kau harus kotor tangan.”
Ada sesuatu yang menenangkan, tapi sekaligus mengerikan, dalam cara ia berbicara. Seolah-olah ia telah memikirkan rencana ini selama bertahun-tahun, hanya menunggu saat yang tepat untuk mengeksekusinya. Dan kini, aku adalah bagian dari rencana itu.
Aku tahu risikonya besar. Jika aku menerima tawarannya, aku akan melibatkan diri dalam permainan yang bahkan lebih rumit daripada sebelumnya. Namun, dengan ancaman yang terus menghantui keluargaku, aku juga tahu bahwa aku tak bisa lagi berdiam diri.
Di tengah gelapnya malam itu, aku menyadari bahwa tak ada jalan yang benar-benar bebas dari bahaya. Semua pilihan mengandung risiko. Dan kini, jalan yang ditawarkan oleh lelaki tua ini tampaknya menjadi satu-satunya cara bagiku untuk benar-benar lepas dari cengkeraman dinasti dan oposisi sekaligus.
---
Sambil memandang lurus ke arah lelaki tua itu, aku terjebak dalam kebisuan. Kata-katanya berputar-putar dalam kepalaku, seolah-olah ia baru saja menyodorkan kunci kepada satu pintu besar yang selama ini kukira tertutup rapat. Pintu yang mungkin akan membawaku keluar dari lingkaran kotor yang tak pernah benar-benar bisa kutinggalkan. Tapi, kunci itu membawa serta bayangan gelap dari apa yang akan terjadi jika pintu itu kubuka.
"Rencana ini terdengar radikal," kataku akhirnya, suaraku hampir tertelan oleh ketidakpastian. "Tapi masuk akal."
Lelaki itu tidak merespons dengan kata-kata, hanya senyum yang sejenak menghias bibirnya, seperti seseorang yang sudah tahu bahwa tawarannya akan diterima bahkan sebelum ia melontarkannya.
Aku tahu, sejak keluar dari istana, tak ada jalan untuk kembali. Tidak untukku, tidak untuk keluargaku. Keputusan meninggalkan dinasti politik Presiden telah menyeretku keluar dari lingkaran yang melindungiku, tetapi juga membuatku berdiri di antara dua kekuatan besar yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi mereka. Dan kini, lelaki ini menawarkan sesuatu yang berbeda—bukan pelarian, tapi tindakan yang bisa menjungkirbalikkan segalanya.
"Lalu, apa langkah pertama?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri, seolah-olah dengan mengucapkannya aku sedang berusaha meyakinkan batin bahwa jalan ini adalah satu-satunya pilihan.
Lelaki itu berdiri perlahan, punggungnya sedikit membungkuk karena usia. "Langkah pertama," katanya, "adalah memanfaatkan informasi yang kau miliki."
Kalimatnya menggantung di udara. Informasi. Tentu saja. Sepanjang tahun-tahunku sebagai pengawal, bukan hanya gerak-gerik fisik yang kuamati, tapi juga bisik-bisik, obrolan dalam ruang tertutup, dokumen-dokumen yang tergeletak di atas meja rapat tanpa perlindungan. Aku tahu lebih banyak dari yang kukira, dan kini informasi itu—yang dulu kulihat sebagai beban—justru menjadi senjata.
"Kau tahu betapa mereka rapuh di dalam. Dinasti ini, mereka tergantung pada kesetiaan palsu, pada ambisi pribadi yang tersembunyi. Dan oposisi... tak berbeda jauh. Ada korupsi di setiap sudut, dan mereka tergantung pada ilusi perubahan yang mereka jual pada rakyat. Kau bisa mengungkapkan itu semua."
Aku termenung, memikirkan apa yang baru saja diucapkannya. Jika kubongkar semua itu—rencana rahasia dinasti dan oposisi, skema kotor yang kulihat dengan mata kepala sendiri—maka kedua belah pihak akan mulai mencurigai satu sama lain. Dinasti akan retak dari dalam, dan oposisi akan kehilangan kepercayaan yang mereka bangun dari janji-janji kosong mereka.
Tapi, ini tidak sekadar soal membocorkan informasi. "Mereka akan tahu itu dariku," gumamku.
Lelaki tua itu menggeleng pelan. "Tidak. Kau tak perlu menunjukkan dirimu. Cukup dengan memanfaatkan kontak-kontakmu yang masih ada di dalam. Orang-orang yang kau tahu, masih setia padamu, yang mungkin sudah merasa letih dengan semua ini, tapi tak punya pilihan. Mereka akan menjadi perantara yang sempurna untuk menjalankan rencanamu."
Aku terdiam, memikirkan beberapa nama yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Orang-orang yang masih bisa kupercayai, meskipun mereka masih terperangkap di dalam permainan kotor ini. Mereka bisa menjadi kunci untuk memecah belah dua kekuatan yang kini tampak begitu besar, begitu kokoh. Dengan sedikit dorongan, sedikit pengaruh dari informasi yang tepat, mereka bisa menjadi pelaku utama dari kehancuran yang akan datang.
"Tapi ini akan membuatku musuh bagi semua pihak," kataku pelan, sambil menatap mata lelaki itu, mencari kepastian.
"Kau sudah menjadi musuh mereka," jawabnya tanpa ragu. "Dinasti tak akan pernah menerimamu kembali. Oposisi hanya melihatmu sebagai ancaman potensial. Apa yang kau khawatirkan? Mereka sudah mengincarmu sejak kau memutuskan untuk pergi."
Kata-katanya menyentuh inti kegelisahanku. Memang benar, tak ada tempat bagiku di antara mereka lagi. Keputusan untuk meninggalkan istana, untuk tidak berpihak pada siapa pun, telah membuatku jadi buruan. Mungkin inilah satu-satunya jalan yang tersisa—bukan untuk berpihak, tetapi untuk menghancurkan keduanya.
"Dan jika berhasil," lanjutnya, "kau akan membuka mata rakyat. Mereka akan melihat bahwa tak ada kebenaran di balik kedua belah pihak ini. Mereka akan tahu bahwa apa yang mereka anggap sebagai pilihan hanyalah permainan di balik layar."
Aku mengangguk pelan. Rencana ini jelas berisiko. Jika aku gagal, atau jika ada langkah yang salah, aku tak hanya akan kehilangan nyawaku, tetapi keluargaku juga akan menjadi sasaran. Namun, jika berhasil, aku bisa memberikan dampak yang lebih besar dari sekadar melarikan diri. Ini bukan sekadar tentang menyelamatkan diri—ini tentang meruntuhkan dua kekuatan yang selama ini menghancurkan tatanan negara dengan permainan busuk mereka.
"Kau benar," kataku akhirnya. "Ini satu-satunya jalan."
Lelaki tua itu menatapku dengan pandangan penuh pengertian. "Aku tahu kau akan sampai pada kesimpulan itu. Kau sudah lama melihat betapa kotor semua ini. Kau hanya perlu dorongan kecil untuk melihat bahwa ada cara untuk mengubahnya."
Ia berdiri, meraih jaket lusuhnya yang tergantung di dinding. "Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar. Tugasmu hanya memberikan informasi yang tepat pada orang-orang yang kau percayai. Biarkan mereka yang bekerja."
Suaranya begitu tenang, begitu penuh keyakinan. Aku merasa seolah-olah rencana ini sudah disusun dengan hati-hati sejak lama, dan aku hanya menjadi bagian terakhir dari puzzle yang baru saja terpasang. Sebuah kekuatan besar, yang selama ini tersembunyi, akan runtuh jika rencana ini berjalan dengan sempurna.
Sebelum pergi, ia menatapku sekali lagi. "Ini bukan soal kemenangan pribadi. Ini tentang mengembalikan kekuasaan kepada yang seharusnya. Rakyat."
Aku hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hati aku tahu bahwa ini lebih dari sekadar itu. Ini juga soal bertahan hidup. Tentang bagaimana aku bisa keluar dari lingkaran yang selama ini mencengkramku tanpa menghancurkan segala sesuatu yang kuanggap penting.
Malam itu, aku meninggalkan rumah tua itu dengan rasa campur aduk. Ada kegelisahan yang menyelinap dalam pikiranku, tapi juga ada harapan. Jika semua ini berjalan dengan baik, maka mungkin untuk pertama kalinya aku bisa mengubah sesuatu yang berarti, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk banyak orang yang selama ini hanya menjadi korban dari permainan yang tak pernah mereka pahami.
---
Rencana yang disodorkan lelaki tua itu menggema di benakku sepanjang malam. Setelah pembicaraan kami selesai, aku berjalan kembali ke tempat persembunyianku, langkah demi langkah seolah diiringi bayang-bayang keraguan yang semakin pekat. Apa yang ditawarkannya terasa seperti jawaban dari semua kekacauan ini. Sebuah kesempatan untuk membalikkan keadaan, untuk menjungkirbalikkan dinasti dan oposisi sekaligus. Tapi di sisi lain, aku tak bisa menyingkirkan rasa cemas yang terus menghantui. Akankah ini benar-benar berhasil? Atau justru hanya akan berakhir dengan kehancuran yang lebih besar?
Aku duduk di sudut kamar yang remang-remang, menatap dinding yang kusam. Di atas meja kecil di depanku, lampu minyak tua berkelip-kelip, seolah mencerminkan ketidakpastian yang merayap dalam batinku. Di seberang ruangan, sebuah foto keluarga yang berbingkai sederhana tergantung di dinding. Wajah istriku yang teduh, senyum anak-anak yang polos—semuanya menjadi pengingat akan apa yang aku pertaruhkan dalam permainan ini.
Aku memegang kepala dengan kedua tanganku, berusaha meredam pikiran-pikiran liar yang terus muncul. Jika aku melangkah maju dengan rencana ini, aku tahu risiko besar yang menyertainya. Bukan hanya nyawaku yang berada di ujung tanduk, tetapi juga nyawa orang-orang yang aku sayangi. Mereka bisa menjadi target, dijadikan sandera oleh kekuatan yang marah karena kekalahan yang aku coba bawa. Dan sebaliknya, jika aku tetap diam dan tidak bertindak, dinasti yang korup itu akan terus berkuasa, sementara oposisi akan menguat dengan janji-janji palsu yang tidak lebih dari kebohongan belaka.
Di mana letak kebenaran di tengah semua ini? Aku pernah percaya bahwa ada jalan tengah, bahwa dengan menjauh dari politik, aku bisa mengamankan keluargaku dan diriku sendiri dari pertikaian ini. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit. Semua sisi, baik dinasti maupun oposisi, adalah kepingan dari permainan besar yang sama. Mereka saling memanipulasi, saling mengorbankan demi kekuasaan, tanpa peduli pada siapa pun yang berada di bawah mereka—termasuk rakyat yang mereka klaim akan dibela.
Aku kembali teringat wajah lelaki tua itu. Sorot matanya yang dingin, namun penuh dengan keyakinan, seolah ia sudah melihat banyak hal dalam hidupnya dan tahu pasti apa yang perlu dilakukan. Bagiku, ia seperti sebuah teka-teki. Bukan bagian dari oposisi, bukan juga pendukung dinasti, tapi ia tetap berdiri di tengah-tengah, mengamati dari jauh, dan siap menyusun strategi yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain. Aku tak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayainya, namun kata-katanya membawa kebenaran yang sulit diabaikan.
Namun, aku mulai ragu. Rencana ini—meski terdengar masuk akal dan terencana—terasa sangat berbahaya. Tidak ada jaminan bahwa semua akan berjalan sesuai rencana. Apa yang akan terjadi jika ada langkah yang salah? Jika salah satu pihak mengetahui niatku, aku akan menjadi sasaran dari kedua belah pihak. Aku tahu betul kekejaman yang mampu dilakukan oleh dinasti maupun oposisi ketika mereka merasa terancam. Dalam dunia politik ini, tidak ada tempat bagi kesalahan. Setiap langkah keliru bisa berakibat fatal.
Aku berdiri dari tempat dudukku, mendekati jendela yang tertutup tirai tipis. Aku membuka sedikit tirainya, memandangi malam yang gelap dan sepi. Di luar sana, dunia tampak begitu tenang. Namun, di balik ketenangan itu, aku tahu bahwa ada badai yang sedang berkecamuk. Dinasti dan oposisi sedang bersiap untuk pertempuran besar, dan aku berada di tengah-tengah pusaran itu, tanpa bisa sepenuhnya mengendalikan arah angin.
Aku memikirkan keluargaku lagi. Istriku, yang selalu sabar menunggu di rumah, dan anak-anakku yang tak tahu-menahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka adalah alasan utama kenapa aku berusaha keluar dari semua ini. Aku ingin melindungi mereka, memastikan bahwa mereka bisa hidup tenang tanpa harus terlibat dalam permainan kotor ini. Tapi kini, aku merasa semakin terjebak. Apapun keputusanku, keluargaku akan terpengaruh. Jika aku melanjutkan rencana ini, mereka bisa menjadi target. Dan jika aku berhenti, aku tak yakin dinasti atau oposisi akan membiarkanku begitu saja.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata, pikiran tentang apa yang akan terjadi terus berputar dalam benakku. Aku bisa membayangkan wajah-wajah marah dari para pejabat dinasti yang merasa dikhianati, atau senyum penuh kemenangan dari tokoh-tokoh oposisi yang memanfaatkan kerusakan yang kutimbulkan. Semua itu adalah bayangan yang menakutkan, namun tak bisa kuhindari. Aku tahu bahwa aku berada di persimpangan yang paling penting dalam hidupku.
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk keluar dari persembunyianku sebentar, berjalan menyusuri jalanan desa yang sepi. Udara pagi yang segar seolah menenangkan pikiranku yang penuh gejolak. Namun, di balik ketenangan itu, aku tahu bahwa ancaman masih ada. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti mengarah pada tepi jurang. Satu kesalahan kecil bisa menjatuhkanku, dan aku tak tahu apakah aku siap untuk mengambil risiko itu.
Aku berhenti di depan sebuah warung kopi kecil, duduk di bangku kayu yang sudah lapuk. Di sana, sambil menyeruput secangkir kopi panas, aku merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi. Semua terasa begitu rumit. Aku ingin percaya bahwa ada jalan keluar yang benar, bahwa aku bisa melakukan sesuatu untuk mengakhiri semua ini tanpa menghancurkan hidupku sendiri. Tapi setiap kali aku memikirkan rencana lelaki tua itu, aku merasa semakin bimbang.
Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk kembali ke persembunyianku. Di sepanjang jalan pulang, aku merenung dalam-dalam. Mungkin aku terlalu banyak berpikir. Mungkin, dalam situasi seperti ini, tak ada pilihan yang sempurna. Segalanya penuh risiko, penuh ketidakpastian. Dan meskipun aku ragu apakah rencana ini akan berhasil, satu hal yang kutahu pasti adalah bahwa aku tak bisa terus berdiam diri. Apapun yang terjadi, aku harus melakukan sesuatu. Karena jika tidak, aku akan kehilangan segalanya.
Dan dengan pemikiran itu, aku menguatkan hati. Aku tahu apa yang harus kulakukan, meskipun aku belum sepenuhnya yakin apakah langkah ini akan membawa kebaikan. Tapi satu hal yang pasti, aku tak bisa lagi mundur. Ini adalah titik di mana aku harus bertindak, atau menyerah sepenuhnya. Dan aku memilih untuk bertindak.
---