Di sepanjang teras selepas sema’an Al-Qur’an, langkah riang para santri bersarung dan berkopiah, berkemeja polos dengan bordir nama pondok pesantren di saku, semburat seperti sekawanan bebek digiring keluar kandang. Mereka baru selesai mendengarkan Gus Mail, anak pemilik pondok pesantren Tambakoso, memaknai kitab. Begitu memasuki bangunan utama berdinding batu bata di-lur, para santri menaruh Al-Qur’an mereka di dalam kamar sebelum sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Di bagian belakang pondok pesantren, berderet pohon nyiur, rumpun bambu dan berpetak sawah beradu pinggang dengan kebun pisang dan mangga. Sedangkan di area depan, segaris jalan makadam berparit melintasi pintu gerbang bangunan dan menjadi satu-satunya akses untuk kendaraan pengurus pesantren, tamu, santri dan santriwati, serta orang-orang dusun.
Tidak jauh dari pondok pesantren, bercokol pasar tungging dengan lengkingan-lengkingan khas setengah berpromosi barang dagangan dan jasa. Satu-satunya tempat hiburan bagi para santri dan santriwati di kala libur sekolah hari Jumat.
Berdiri di bawah terik matahari, gerombolan santri membentuk koloni. Ada yang diam-diam mengagumi santriwati yang sedang belanja mingguan. Ada yang menyesap es saritemu dalam plastik bening menggunakan sedotan. Ada pula yang mengamati anak ayam warna-warni kesumba. Bahkan, ada yang hanya duduk-duduk di trotoar sambil menyaksikan orang-orang berlalu lalang.
Dullah, salah satu santri menepuk punggung Bari menggunakan gulungan majalah teka-teki silang bekas yang ditemukannya di dekat tempat sampah, sebelum ikut duduk di sebelahnya. Dullah kemudian sibuk mengisi kotak-kotak yang belum terbuka. Tidak berapa lama, Bari bersiul. Kegiatan itu sontak membuat Dullah mendongak. Dari ekor mata Dullah, di seberang jalan, Anisa, salah satu santriwati sekaligus teman sekelas mereka melirik tajam ke arah keduanya. Senyum yang biasanya hadir setiap kali remaja perempuan itu mengobrol bersama santriwati lain, raib, berganti pelototan.
“Setahuku, siulan-mu itu termasuk pelecehan. Bisa-bisa kamu dilaporkan ke polisi kalau sampai Anisa tersinggung. Minimal, dilabraknya,” Dullah menggumam selepas Anisa memilih beranjak pergi.
Bari merespons dengan decakan usai mendengar kata polisi. “Bersiul itu termasuk mengagumi ciptaan Allah kan, ya? Dan setahuku salah satu bentuk rasa syukur,” kilahnya.
“Lambe-mu!”
Keduanya terpingkal-pingkal.
Dua remaja tanggung berbadan kerempeng dengan kepala pelontos untuk menghindari tertular kutuan itu masih memamerkan gigi-gigi mereka yang cemerlang. Ketika terbahak, mata mereka menyipit, menghiasi alis tebal, bibir dower dan kulit kecokelatan karena sengatan matahari. Banyak yang mengira kedua bocah itu kembar, atau minimal adik-kakak. Yang membedakan hanyalah… Bari bergigi gingsul dengan bola mata lebar, dan lebih pecicilan.
“Beli kerupuk pecel sama es saritemu, yok!” ajak Bari setelah berdiri dari duduk berjongkok di trotoar karena kakinya mulai kesemutan.
“Nggak dulu, Bar. Kirimanku menipis untuk beli kitab,” keluh Dullah.
Bari menepuk dadanya dengan jumawa. “Aku yang bayarin.”
Alih-alih girang, Dullah malah mengernyit mendapati penawaran Bari. “Memangnya mau barter pakai apa?”
Tawa Bari pecah.
Lipatan di dahi Dullah semakin dalam, mendengar tawa teman satu perjuangannya itu. “Aku nggak yakin ada yang gratis di dunia ini, apalagi yang keluar dari mulutmu,” lanjutnya skeptis.