Adakalanya semesta seperti mengolok-olok, dan bertindak kocak. Apa yang tidak kita harapkan seringnya terkabul, begitu pula sebaliknya. Bari dan Dullah mengalaminya. Mereka masih tidak percaya melihat Nuril berada di kamar pondok yang sama, di ranjang bertingkat yang sehari-harinya kosong, di sebelah ranjang tingkat mereka. Dari banyaknya peluang kamar kosong yang tersebar, bagaimana mungkin Nuril terdampar di kamar mereka?
“Aku sengaja minta sekamar dengan kalian,” tutur Nuril selepas menyadari pandangan berbeda dari kedua teman barunya itu. Nuril bahkan merasakannya sejak selesai salat Jumat. Sebab, dia sengaja mengikuti keduanya menyelinap keluar dari masjid begitu kegiatan zikir sedang berlangsung.
“Kenapa bisa begitu?” Bari mencoba mengorek informasi.
“Kata pengurus pondok bisa asal masih ada ranjang yang kosong,” balas Nuril hati-hati.
“Maksud kami, kenapa harus sekamar denganku dan Bari?” Dullah mencoba mengerucutkan pertanyaan, tanpa bertanya lebih dulu ke Bari apakah namanya mau dicatut.
“Karena cuma kalian yang aku kenal di pondok ini.”
Masuk akal.
Keduanya lantas menghela napas usai mendengar penjelasan Nuril. Karena tidak memiliki wewenang mengatur penempatan kamar santri, Dullah mendaki tangga ranjang bertingkat miliknya untuk memejam sebentar. Di bagian bawah, Bari menatap Nuril sampai remaja itu salah tingkah.
Kikuk, Nuril pun mulai menyibukkan diri menjejalkan pakaiannya ke dalam lemari kecil di sebelah ranjang. Usai berganti kegiatan membuka isian kardus miliknya, dia serahkan dua kaleng minuman bersoda dan camilan―masing-masing kepada Bari dan Dullah. Keduanya mengernyit dalam saat menerimanya.
“Ini maksudnya apa, ya?” Bari menyelisik.
“Kamu mau nyogok kami?” Dullah ikut menimpali setelah duduk tegak dari posisi rebahannya.
“Bu-bukan begitu.” Nuril gelagapan. “Kata bapakku, disuruh bagi sama kalian. Soalnya―” Dia berhenti bicara saat Bari mendekat dan Dullah menuruni tangga ranjang dengan gerakan cepat. Keduanya langsung duduk di kedua sisi Nuril. Detak jantung anak baru itu terpompa cepat.
Beberapa detik berlalu, tangan kedua remaja itu menyampir di bahu Nuril yang ringkih. Dengan menggunakan sisa keberaniannya, Nuril melirik ke arah Bari. Temannya itu sedang tersenyum. Dia pindahkan pandangannya ke Dullah. Sama saja.
“Kira-kira, kamu butuh tour guide buat antar kamu keliling pondok, nggak?” Bari menawarkan jasa.
Hening merambat. Kedua alis Nuril hampir menyatu. Karena jeda cukup lama terbentuk, Dullah menepuk lengan Nuril supaya segera bersuara.
“I-iya,” balas Nuril terbata.
“Nah, gitu dong!” Bari dan Dullah kompak mengadu kepalan tangan mereka. Adu tos.
Sebelum kamar dipenuhi teman-teman mereka yang baru kembali setelah zikir dan mendapati transaksi semi-ilegal tersebut, keduanya lantas menggamit lengan Nuril supaya ikut keluar dari kamar.
***