Ada yang aneh. Bari dan Dullah merasa kebingungan, dan janggal. Mereka pikir, Nuril akan mencecar dengan banyak pertanyaan. Namun kenyataannya, tidak. Bahkan setelah kegiatan madarasah diniah atau mengaji nonformal berakhir, Nuril memilih rebahan di kasur. Anak mondok baru itu terdiam menatap langit-langit ranjang bertingkat dengan ketenangan luar biasa. Kedua tapaknya menopang bagian belakang kepala. Yang menyita perhatian Bari dan Dullah adalah, apakah Nuril tidak penasaran dengan kata uji nyali yang diucapkan Rama siang tadi?
Setelah memastikan keadaan kamar aman, Bari dan Dullah mendekati Nuril. Mereka memasang tatapan iba sebelum meminta Nuril mengakhiri kegiatan rebahannya. Keduanya memilih duduk di sisi-sisi Nuril setelah dia bangkit dari tidurnya. “Memangnya kamu sudah siap uji nyali malam ini?” Dullah mewakili bertanya dengan suara pelan.
“Maksudnya?” Nuril bertanya dengan kening berkerut. “Memangnya uji nyalinya malam hari?” imbuhnya, penasaran.
“Memangnya ada uji nyali siang hari?” Bari menimpali dengan nada gemas. “Mana seram?”
Punggung Nuril menegak. Sepertinya dia baru sadar akan kesalahannya, yaitu tidak mencari informasi sejak semula. Dia pikir, teman-temannya akan memberitahunya bahwa uji nyali akan diadakan di pagi hari seperti pengenalan lingkungan sekolah pada umumnya. Ternyata, tidak. Perkiraannya meleset, jauh.
“Kalau aku nggak bersedia ikut, bagaimana?” Nuril segera mencari cara untuk menghindar.
“Jangan!” Bari dan Dullah kompak membalas, kemudian menutup mulut masing-masing dengan tangan karena sadar terlalu lantang.
“Kenapa?”
“Hmmm….” Dullah menggaruk kepalanya yang tidak gatal selepas membuka bungkaman dan sebelum melanjutkan menjelaskan, “Nanti akan berpengaruh sama keseharianmu di sini kalau kamu masih memutuskan untuk mondok.”
Bibir Nuril mengatup. Dia berpikir sebentar sebelum menjawab, “Aku sebenarnya nggak mau ngerasain, apalagi bisa lihat sosok astral. Tapi mereka nggak bisa ditebak dan senang tinggal di bangunan terbengkalai. Suka menampakkan diri. Lagi pula, ini bukan kegiatan resmi, kan?” tebaknya percaya diri. Tengkuknya lalu meremang, mengingat kejadian siang tadi. Sesosok arwah melompat dari lantai empat bangunan terbengkalai.
Dullah berdecak sebelum kembali bicara, “Meski bukan kegiatan resmi, tapi wajib dilakukan anak mondok baru untuk mengetes doa-doa yang di-hafal.” Dia lalu mengedikkan dagunya ke arah Bari. “Bahkan Bari waktu uji nyali sampai terkencing-kencing di celana dan hampir pingsan, soalnya dia bilang ada penunggunya dan doanya nggak mempan. Nenek-nenek bisa nembus tembok.”
“Informasi barusan kayaknya nggak banyak membantu, Bodoh!” Bari menukas. Dia juga jengkel, sebab kejadian yang telah lalu itu diungkit kembali tanpa persetujuannya.
“Kalau aku tetap nolak, bagaimana?” Nuril berkeras.
“Kami nggak menyarankan. Dulu ada yang nolak ikut dan melapor ke pengurus pondok soal uji nyali ini, nggak sampai sebulan anak itu keluar di pondok ini. Ada saja yang jail.” Dullah mendengkus tanpa alasan. “Lagi pula, kata Gus Mail, kita nggak boleh takut sama jin. Kita diciptakan lebih sempurna dari mereka. Anggap saja uji nyali ini bagian dari praktik baca-baca doa yang sudah kita hafal.”
“Aku tahu soal kita diciptakan lebih sempurna dari mereka, tapi jin dan arwah itu beda. Doa-doa kita nggak mempan buat arwah!” Nuril berseru, setengah berbohong karena mengarang ceritanya. Sementara Bari mengangguk, entah setuju, entah tidak tahu harus berkomentar apa.
“Tahu dari mana kalau nggak mempan?” kejar Dullah.
“Ya, pokoknya gitu.” Nuril mencoba berkilah.
Karena tidak memiliki pendukung, Dullah hanya bisa menggeram. Ketika akan bersuara kembali, beberapa teman sekamar mereka yang sebelumnya memilih rebahan di serambi masjid mulai memasuki kamar dan menempati ranjang masing-masing.