Dari lantai empat bangunan terbengkalai, terdengar lirih kepak hewan nokturnal dan derik binatang malam. Mereka seolah sedang mengintai pergerakan Nuril.
Kemudian, pikirannya terbelah.
Selepas Rama dan Fajar meninggalkannya sendirian, Nuril memilih duduk beralas sobekan kardus. Di satu sisi, dia ingin melarikan diri, tetapi malu kalau sampai jadi bahan gunjingan saat bertemu teman-temannya yang lain. Atau, haruskah kabur dari pondok pesantren sekalian? Dia lantas menggeleng, mengusir idenya sendiri. Kalau sampai berani melakukannya, Nuril pasti akan merasa bersalah kepada bapaknya.
Alhasil, keberanian Nuril surut dan meluap dalam hitungan detik. Setiap kali angin berembus, dia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Bola matanya mengurai remang dari tempatnya berada. Dia ragu, apakah arwah penasaran benar-benar tidak mempan diusir dengan doa-doa? Jujur, jauh di lubuk hatinya, Nuril ingin percaya perkataan Dullah, bahwa doa mujarab untuk mengusir mereka yang tidak berwujud nyata itu.
Untuk menampik rasa takut yang mulai menggenang, Nuril beranjak dari posisi duduk guna melemaskan otot-ototnya. Dia yakin, putaran jam akan bergerak sangat lambat di situasi seperti sekarang.
Baru saja Nuril melangkah, tungkainya terasa gemetar. Suara plastik berkibar tertiup angin atau puing-puing berkertak seperti terinjak berhasil memacu adrenalin. Dia takut rongga dadanya meledak jika tidak menekannya kuat-kuat dengan sebelah tangan.
Komat-kamit, Nuril membaca ayat kursi dengan tersendat-sendat sampai ketenangan coba direngkuhnya kembali.
Belum juga jantungnya berdetak normal, terdengar lirih suara isakan. Hal itu lantas membuatnya waspada.
“Mas Ra-ma, ya? Atau, Mas Fa-jar?” Nuril berkata dengan mata awas dan suara tergeragap. Dia curiga dikerjai dengan cara ditakut-takuti seperti yang biasa dilakukan panitia jerit malam layaknya kegiatan berkemah dulu.
Sejurus kemudian, hidung Nuril bergerak-gerak menepak aroma minyak serimpi. Tepukan halus di pundaknya membuatnya berbalik badan. Bola matanya berkeliling. Tidak ada siapa-siapa.
Pada tepukan kedua, Nuril tahu siapa pelaku yang berani mengganggu di saat genting seperti ini.
Karena pelaku tak kasatmata, bukan bogem mentah yang Nuril hadiahkan untuknya melainkan bacaan doa. Anehnya, sosok tak memiliki raga itu mematung sambil memandanginya dalam hening. Nuril sedikit menurunkan pandangan, dan menemukan sosok itu tengah memegangi tangannya sendiri. Dia meringis menahan sakit. Apakah doanya manjur? Tidak mungkin. Nuril lebih percaya sebaliknya. Buktinya, sosok itu masih utuh, bukannya terbakar.
“Si-siapa kamu?” Nuril memberanikan diri bertanya selepas menyadari ayat kursi yang dibacanya tidak mempan menangkis sosok yang kini tengah berdiri, atau melayang di hadapannya.
Kedua ujung bibir makhluk itu berangsur melengkung membentuk senyuman tipis. “Akhirnya, ada yang benar-benar bisa melihatku. Terima kasih, aku sudah menunggu lama sekali,” senyumnya merekah. “Namamu siapa?”
Nuril terkesiap. Bukan jawaban yang dia mau, sebab setelah mendengarnya, badannya mendadak menggigil membayangkan hal-hal menyeramkan. Nuril teringat. Dia pernah menonton film horor. Dalam satu adegan, pemeran utama yang menjawab panggilan sang arwah akan dibawa ke alam baka.
Sontak Nuril melipat bibirnya rapat. Jantungnya berdentam-dentam.
“Ditanya kok malah diam,” jeda menggantung. Arwah itu tampak berpikir keras. “Oh, kamu mau aku yang sebut namaku duluan, ya? Oke, namaku Nugraha. Namamu siapa?”