Hampir seharian Nuril berbaring di ranjang. Dia hanya mengubah posisi tidurnya menyamping ketika tangannya kesemutan, setelah itu kembali ke posisi semula. Kedua tapak menyangga kepala. Pandangannya menerawang jauh, menembus ranjang bertingkat.
Karena Bari dan Dullah harus pergi ke sekolah usai memastikan Nuril aman setelah berbaring di kamar, mandi dan berganti pakaian, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Nuril selama sendirian di sana. Sementara Dullah memilih duduk bersebelahan dengan Bari di ranjangnya. Mereka masih jeri mengorek informasi mengenai uji nyali semalam.
“Kamu sudah makan siang?” Bari berinisiatif bertanya usai mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian biasa.
“Sudah salat zuhur?” Dullah menimpali.
Nuril mengangguk sekilas.
Bari dan Dullah menghela napas lega. Sejauh ini, mereka masih belum bisa menebak kepribadian Nuril, jadi pilihan yang paling tepat adalah mengikuti alur ceritanya. Yang terpenting, saat ini, Nuril masih berlaku seperti manusia, kecuali matanya yang belum memejam untuk tidur. Mereka anggap Nuril baik-baik saja. Semoga baik-baik saja, doa mereka dalam hati.
Sejurus kemudian, Nuril mengubah posisi rebahannya dengan duduk. Mata pandanya terlihat parah. Rautnya lusuh. Kedua temannya menunggu dengan sabar.
“Kalian tahu, semalam aku sempat pingsan di bangunan terbengkalai….” Nuril sengaja memberi jeda dengan menghela napas. Setelah dua remaja yang duduk di depannya itu mengangguk, baru dia melanjutkan kalimatnya. “Aku merasa, Mas Nugraha datang ke mimpiku. Dia kesakitan. Badannya seperti mengeluarkan api, tapi dia tetap mendekatiku. Sayangnya, di mimpiku pun, aku masih takut menghadapinya. Jadi, aku hanya diam memperhatikannya.”
Kerjapan Bari dan Dullah semakin intens.
“Memangnya, apa yang dilakukan Mas Nugraha di mimpimu?” Bari bertanya ragu-ragu, lalu mengoreksi sedikit kalimatnya karena dirasa mengganggu. “Maksudku, kenapa dia bisa muncul di mimpimu?”
“Aku nggak tahu kenapa-nya, tapi kayaknya Mas Nugraha mau kasih tahu sesuatu―”
“Sesuatu?” potong Bari tidak sabaran, dan spontan mendapatkan tepakan Dullah di punggung.
Alih-alih jengkel perkataannya dipotong, Nuril malah memamerkan wajah seriusnya. “Dia bilang, bukan dia pelakunya. Dia nggak berniat loncat juga.” Volume suara Nuril semakin mengecil karena sadar anak-anak lain mulai berdatangan ke kamar.
Salah satu teman sekamar mereka bahkan melangkah mendekat. Budi, namanya. Dia lantas bertanya, “Eh, uji nyali semalam aman, kan? Soalnya aku lihat kamu tadi pagi kayak habis ketemu hantu,” cerocosnya. “Benar itu, Nuril? Kalau boleh pilih, aku setuju kalau uji nyali sebaiknya dihapus. Nggak ada gunanya. Bagaimana caranya kita praktik doa waktu ketakutan? Aku rasa, memang nggak ada otaknya senior-senior kita itu.”
“Kamu bisa diam, nggak, Bud? Kami ini sedang ngomong penting!” Dullah memelotot, kesal karena merasa terganggu.
Sembari mendumel, Budi berlalu meninggalkan tiga orang itu tanpa jawaban. Dia takut dilahap hidup-hidup karena pandangan tajam ketiga orang itu hanya terarah kepadanya.
Setelah situasi kondusif, Bari dan Dullah beradu tatap sebentar. Dullah yang akhirnya mewakili bertanya, “Setelah itu, apa yang dilakukan atau dikatakan Mas Nugraha?”
“Dia menghilang,” tandas Nuril setelah matanya menyasar sekitar. “Kira-kira, kenapa, ya?”
Dullah mengusap wajahnya dengan sebelah tangab.
Sementara itu, Bari berpikir sebelum meloloskan pikirannya. “Jangan-jangan, apa yang selama ini kita tahu atau dengar soal Mas Nugraha itu bohong? Ada hal penting yang disembunyikan pondok pesantren ini. Sebuah rahasia.”
“Hus!” Dullah menukas. “Jangan sembarangan kalau ngomong. Kita nggak lagi di dalam cerita novel misteri ya,” gumamnya.