Mengawat Kisikan

heriwidianto
Chapter #6

Keping Pertama

Sepanjang perjalanan kembali ke kamar, Nuril dirundung dilema. Ada rasa penasaran memantik untuk mengurai benang merah penampakan arwah Nugraha, tetapi di sisi lain ketakutan dan rasa tidak nyaman setiap kali bertemu sosok tak kasatmata belum juga bisa dia hilangkan dari dalam benak. Namun anehnya, kini, rasa penasaran itu sepertinya sedang memenangkan pertarungan melebihi ketakutannya.

Nuril berhenti di depan ruang perpustakaan setelah memastikan tidak ada Fajar di sekitarnya. Dia bahkan rela menengok ke belakang cukup lama, ke ruang kerja Gus Mail. Dia takut kalau sampai diawasi.

“Lagi cari apa sih, Mas?” tanya Nuril basa-basi kepada santri yang sebelumnya ditanyai oleh Fajar. “Kayak, serius amat. Ada keselip duit di dalam buku, ya? Kalau iya, aku bantuin cari, deh.” Dia mencoba menyisipkan sedikit candaan dalam ucapannya.

Santri yang ditanya mendongak dengan kernyitan di dahi sebelum menjawab, “Kamu anak baru, ya?”

“I-iya.” Sial, kenapa harus gagap, sih? Dasar bodoh! Nuril membatin sembari memaki diri sendiri, tetapi berusaha mengendalikan situasi dengan segera duduk di sebelah santri tersebut dan tersenyum lebar.

Sang santri menghentikan sebentar kegiatannya. Tampaknya, dia tidak terlalu senang dengan kesibukannya tersebut. Sebab, dia sempat menghela napas panjang sebelum menerangkan, “Boro-boro ada duitnya. Ini sih kerja paksa, namanya,” guraunya sebentar karena ada sejumput tawa di akhir ucapannya. “Jadi, dua santri ditugaskan Mas Fajar secara bergiliran setiap seminggu sekali untuk membersihkan sekaligus merapikan buku-buku di perpustakaan ini. Nah, aku kebagian minggu ini sama salah satu teman sekamarku.” Dia kedikkan dagunya ke arah perpustakaan. Seorang santri lain sedang sibuk sambil membawa kemoceng.

“Memangnya dari kapan ngerjainnya?”

“Baru dua minggu ini.”

Tiba-tiba, santri itu sedikit menggeser posisi duduknya. Dia berkata pelan, “Ada hal penting yang aku mau kasih tahu ke kamu karena nanti mungkin kamu juga dapat giliran bersih-bersih perpustakaan. Atau, kalau kamu tahu hal ini sewaktu ke perpustakaan, kamu bisa lapor ke aku―”

“Hal apa itu?” potong Nuril tidak sabaran. Detak jantungnya tiba-tiba meningkat.

“Kita disuruh cari apa pun yang berhubungan dengan Mas Nugraha. Sobekan kertas, catatan, atau kuitansi. Intinya itu, dan aku nggak tahu apa gunannya.” Sang santri sengaja menjeda kalimatnya dengan melirik ke kanan-kiri dulu sebelum melanjutkan, “Padahal, orangnya sudah meninggal dunia… bunuh diri.” Dia membekap mulutnya sendiri karena takut suaranya terlalu lantang.

Nuril pura-pura ikut terkejut dan membekap mulutnya sendiri.

Tiba-tiba, seorang remaja tanggung keluar dari perpustakaan dengan berkacak pinggang, tanpa kemoceng.

“Aku sampek bersin-bersin beresin buku yang ada di dalam, eh, kalian malah ngobrol cantik di sini. Bubar!” Santri itu sengaja menyindir keras teman sesama piketnya.

Karena merasa mengganggu, Nuril segera bangkit dari posisi duduk dan pamit. Dia beranjak dari tempat tersebut dengan rasa penasaran yang semakin membubung tinggi. Ada apa sebenarnya dengan kematian Mas Nugraha?


***


Berondongan pertanyaan dari Bari dan Dullah hanya mendapatkan secuil informasi dari Nuril. Dia masih ragu untuk membagi informasi yang terkesan simpang siur yang diketahuinya. Akan tetapi, sebuah ide tiba-tiba melintas untuk menggenapi rasa penasarannya.

“Ceritakan yang kalian tahu tentang Mas Nugraha sebelum orangnya meninggal dunia, baru setelah itu aku akan bilang, kenapa Gus Mail memanggilku ke ruang kerjanya,” Nuril berkata seperti mendesak. Alhasil, Bari dan Dullah saling menatap sebentar sebelum salah satu dari mereka memutuskan untuk bercerita.

Lihat selengkapnya