Satu keping informasi dari Bari mulai ditatanya dalam benak bagai puzzle. Setelah Dullah melepaskan bungkamannya, dia memberi tahu Nuril supaya berhati-hati jika bicara. Sebab, katanya, tembok punya telinga dan bisa meniupkan kata-kata. Bari setuju dengan analogi bikinan Dullah.
“Selama ini kalian nggak curiga?” Nuril menegaskan, tetapi dengan volume suara sesuai permintaan kedua temannya itu.
“Maksudmu, ada permasalahan pelik antara Mas Fajar dan Mas Nugraha?” tanya balik Dullah dengan raut dibuat sedatar mungkin.
“Nggak semua orang yang musuhan itu selalu berakhir dengan mati atau saling bunuh, ya,” Bari menimpali perkataan kedua orang temannya, gemas.
“Tapi ada beberapa persen, atau sebut saja satu persen kasus yang berakhir begitu, kan? Mati di tangan temannya sendiri.” Nuril tidak mau kalah.
Dullah dan Bari terdiam, ragu dengan pemikiran mereka sebelumnya. Sedangkan Nuril, dengan sabar menunggu aksi reaksi kedua temannya itu selanjutnya.
“Bisa jadi, kasus Mas Nugraha ada dalam satu persen itu, kan?” Nuril menambahkan sekaligus berniat segera memangkas keraguan kedua temannya itu.
“Iya. Kemungkinan itu pasti ada.” Dullah akhirnya satu suara.
“Maksud kalian, Mas Fajar yang bunuh Mas Nugraha?” Bari mencoba merangkai pembahasan yang sejak tadi mereka lakukan dengan sebuah kesimpulan paling menakutkan dalam benaknya.
“Kami nggak bilang begitu ya, tapi ada kemungkinan.” Nuril memperhalus kesimpulan Bari supaya tidak terkesan bar-bar. Dia juga bergidik ngeri.
Kini, ketiganya terbenam dalam benak sendiri-sendiri. Suara gumaman anak-anak santri lain juga terdengar bagai riak di kejauhan. Agaknya, perasaan tidak nyaman setelah menebak-nebak hal menakutkan tersebut mulai memengaruhi pergerakan mereka. Nurani ketiganya tersentil oleh nasib Nugraha yang belum jelas akar permasalahannya. Sisi keadilan mereka juga ikut terpantik.
“Untuk sementara kita pura-pura nggak tahu masalah ini saja. Supaya aman,” Nuril memecah kebisuan yang terpilin di antara mereka. “Tapi, kalau ada yang mencurigakan, terutama gerak-gerik Mas Fajar, jangan sampai luput dari pengawasan kita, ya.”
Bari dan Dullah mengangguk paham.
Bersamaan dengan anggukan mereka, suara azan ashar terdengar. Mereka harus secepatnya mandi dan menuju masjid untuk salat berjamaah. Apalagi, hari ini adalah jadwal Abah Ibrahim mengisi tausiah. Mereka tidak mau melewatkannya.
***
Usai mengisi tausiah mengenai tauladan nabi yang menyenangkan karena serasa didongengi, Abah Ibrahim memanggil Nuril supaya tetap tinggal di masjid. Mengetahuinya, Bari dan Dullah tidak mampu menghilangkan rasa penasaran dari raut mereka ketika meninggalkan teman barunya itu. Jujur, keduanya ingin tinggal, tetapi tidak mungkin melakukannya. Bisa malu sama Abah Ibrahim.