Kegiatan makan malam hari ini diakhiri dengan tausiah singkat Gus Mail. Abah Ibrahim ikut juga mendengarkan bersama para santri. Tidak seperti Abah Ibrahim yang telaten membuka sesi tanya-jawab, pembahasan Gus Mail mengenai menjunjung tinggi kejujuran seperti sedang membaca buku panduan. Santri pun takut bertanya macam-macam. Mereka lebih memilih mendengarkan saja supaya cepat kembali ke kamar untuk beristirahat. Beruntung, keinginan mereka terkabul.
Berjalan di sebelah Dullah menuju kamar, mata Nuril tidak beristirahat memperhatikan sekitar. Terutama, di pojok-pojok gelap. Padahal, dia tahu, seharusnya tempat-tempat seperti itu dia hindari untuk mengusir perasaan waswas.
Sesampainya di kamar, Budi mengendap-endap mendekati Nuril yang sedang berganti pakaian. Tiba-tiba, Budi berteriak dan tertawa setelah mengejutkan Nuril. Dia juga sempat mengejek dengan kalimat: Dasar bocah edan.
Sebelum mendapatkan omelan dari Dullah, Budi cepat-cepat melarikan diri menuju ranjangnya, sedangkan Nuril masih menarik mengembuskan napasnya dengan cepat supaya detak jantungnya kembali normal. Wajah piasnya berhias peluh di dahi, bersama tangan gemetar sebelum mengepalkannya supaya tidak terlihat oleh Budi atau yang lain guna menghindari olok-olokan berlanjut.
“Aku tahu kamu tadi bohong soal kecoak terbang,” Dullah berkata lirih sebelum duduk di ranjang Bari, bersebelahan dengan pemiliknya.
Nuril mendengkus pelan sembari menatap kedua temannya itu, kemudian memilih tidur menghadap tembok.
Dua orang yang sejak tadi menunggunya bicara saling berpandangan, berdecak kesal dan segera membubarkan diri. Dullah mendaki tangga ranjang bertingkatnya.
Hampir bersamaan dengan Bari yang merebahkan punggungnya, Dullah berkata, “Kalau kamu butuh cerita, kami siap mendengarkan.”
“Iya, terima kasih,” Nuril membalas tanpa memandang pembicara.
Ketiganya terdiam dengan pikiran masing-masing, sampai Bari dan Dullah terlelap duluan setelah lampu kamar dimatikan.
Sembari menghadap tembok, Nuril berusaha memejam. Biasanya, suasana gelap mampu membantunya cepat terlelap. Namun, hingga dia mendengar dengkur halus dari mulut Bari atau Dullah, belum juga Nuril berhasil menemui bunga-bunga mimpinya. Sampai-sampai, dia kelelahan memejam dan berakhir membuka matanya kembali. Pikirannya seolah berputar-putar pada nasib Nugraha, dan beberapa kejanggalan yang dia rasakan ketika berada di sekitar pondok pesantren.
Saat berniat mengubah posisi tidurnya, mendadak Nuril merasakan tepukan di bahu. Perasaannya mendadak tak enak. Dia ingin menoleh atau sekadar melirik, tetapi sial terhalang oleh bahunya sendiri. Kemudian, dia merasakan sesuatu rebah di balik punggungnya. Sontak tengkuknya meremang.
Beberapa detik dalam keadaan detak jantung berdentam-dentam, akhirnya Nuril memaksakan diri berbalik badan.
Begitu berhasil melakukannya, matanya membelalak. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, selain merapatkan bibirnya supaya tidak ada suara apalagi teriakan merembes keluar. Meski tahu doa-doa tidak mempan untuk membakar arwah, Nuril tidak peduli dan terus membacanya.
“Tolong saya!” teriak Nugraha dengan mata merah sebelum menghilang bagai asap dari hadapan Nuril.
Sedetik kemudian, Nuril baru bisa merengkuh kembali udara sembari melemaskan otot-otot di tubuhnya. Namun, karena adrenalin membuncah sebelumnya, membuatnya terjaga sampai subuh datang. Matanya seolah dipaksa membuka lebar. Sesekali ketakutan meniupkan keperkasaannya. Dan, penyiksaan ini sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat.
Benar saja.