Ketika kembali ke kamar untuk melaksanakan kegiatan harian berikutnya, Nuril menceritakan apa yang dialaminya kepada Dullah dan Bari. Mereka mendengarkan dengan saksama, dan merasa lega karena Nuril mampu mengendalikan rasa takutnya.
Semoga hal ini bukan termasuk kegilaan Nuril yang lain, Bari kemudian mengusir pikiran buruknya itu sambil menatap teman barunya. Dia mencoba menyuntikan semangat kepada Nuril dengan cara tersenyum lebar dan berkali-kali mengangguk.
Namun, menyadari hal itu, pekerjaan rumah mereka sepertinya kian bertambah. Khususnya, Nuril.
Sembari termangu di ranjang dan menunggu Dullah selesai berganti pakaian untuk ke masjid, Nuril mencoba mereka-reka hubungan perkataan Nugraha dengan orang yang paling dicurigainya berhubungan dengan kasus kematian mantan pengurus pesantren itu. Tentu saja, Fajar berada di urutan teratas yang alibinya patut dipertanyakan. Jiwa detektif Nuril meronta-ronta.
“Dulu, sewaktu Mas Nugraha meninggal dunia, apakah ada pihak kepolisian yang datang ke sini juga?” Nuril bertanya sambil mengelus-elus janggutnya yang masih licin.
Kedua alis Dullah hampir bertemu ketika memicing.
“Pasti ada yang ke sini buat periksa-periksa tempat kejadian perkaralah, ya,” imbuh Nuril sebelum Dullah menyahut.
“Ada, tapi memang kasusnya dianggap bunuh diri. Jadi, nggak ada lagi penyelidikan lanjutan.”
“Sudah kuduga.”
“Apa maksudmu?” Bari ikut menimbrung setelah selesai mandi dan berganti pakaian.
“Kenapa bisa disimpulkan begitu kalau arwah Mas Nugraha bilang dia nggak berniat bunuh diri?” Nuril membeberkan kembali informasi yang baru saja diketahuinya.
“Eh, kita bahas sambil jalan saja, gimana? Takutnya kita telat ke masjid,” saran Dullah.
Kedua temannya mengangguk. Apalagi, kamar mereka kini mulai sepi, sebab satu persatu penghuninya sedang menuju masjid.
“Soal Mas Nugraha, jujur, aku juga bingung karena apa yang kamu dengar langsung dengan apa yang kita tahu di lapangan sama sekali berbeda,” Dullah melanjutkan menjawab pertanyaan Nuril sebelumnya dengan suara lirih.
“Tapi arwah nggak mungkin bohong, Dull,” timpal Bari.
“Bisa saja arwah itu jelmaan iblis. Iya, kan?”
“Kamu meragukanku?” Nuril menukas.
“Bukan begitu, Nuril. Ini aku bilang sebatas pengetahuanku saja,” Dullah mencoba meminimalisir konflik dengan mengalah. “Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku berniat mengawasi Mas Fajar sambil menunggu Mas Nugraha muncul. Siapa tahu dia belum selesai bicara, dan entah kenapa aku ingin membantu membersihkan namanya.”
“Aku juga mau bantu,” Dullah dan Bari berkata kompak.
“Terima kasih.”
***
Mereka tidak menyia-nyiakan waktu berjalan. Setiap kali ada kesempatan untuk membuntuti Fajar, ketiga orang itu akan melakukannya dengan hati-hati. Mereka sengaja memisahkan diri supaya tidak terlalu mencurigakan. Namun tetap saja, kecurigaan Nuril tertuju pada kegiatan di perpustakaan. Pencarian apa pun mengenai peninggalan Nugraha di sana sungguh tidak bisa dikeluarkannya dalam benak.