Ruang tamu Abah Ibrahim sengaja Gus Mail pilih untuk menyambut tamu mereka yang masih dalam perjalanan.
Di hadapan abahnya, Gus Mail tampak tenang, padahal dalam hati gemuruh bergulung-gulung bagai ombak. Sembari berpikir keras, beberapa rencana untuk menendang Nuril dari pondok pesantren telah siap untuk dieksekusi. Hingga detik ini berjalan, dia tidak menyangka anak tidak waras itu mampu membahayakan posisinya. Menurutnya, Nuril sudah terlalu jauh turut campur. Untuk menghadapinya, dia butuh bantuan beberapa orang.
Sebelum mengeksekusi rencananya, Gus Mail lebih dulu menemui abahnya selepas memastikan tidak menemukan barang yang dicarinya dari tumpukan buku kisah para nabi. “Ada hal penting yang mau saya bahas sama Abah,” Gus Mail segera membuka percakapan, “Tapi tunggu tamu kita datang ya, Bah. Supaya enak bahasnya, dan nggak diulang-ulang.”
“Memangnya siapa tamu yang datang?”
“Salah satu orangtua santri ingin bertemu dan mengobrol. Kebetulan, saya sudah kontak beliau sebelumnya tanpa perlu putranya tahu. Inilah gunanya santri nggak boleh bawa ponsel selama mondok, karena bisa-bisa obrolan ini jadi nggak objektif.”
“Memangnya mau ngobrol apa―”
Bersama ketukan pintu dan ucapan salam dari tamu yang dimaksud Gus Mail, kegiatan tersebut berhasil menghentikan perbincangan mereka. Beberapa orang kemudian melangkah mendekat dan mencium punggung tangan pemilik pondok pesantren secara bergatian. Termasuk, Kusdi yang berada di barisan paling belakang.
“Sehat, Abah?” tanya Kusdi setelah kembali ke posisinya sebelumnya. Kerut-kerut di wajahnya seolah bertambah dari terakhir kali mereka bertemu. Kantong matanya membandul.
“Alhamdulillah, sehat. Mari, Pak Kusdi. Silakan duduk,” Abah Ibrahim mempersilakan. “Kalian juga, silakan duduk. Ambil kursi di dalam.”
“Inggih, Bah,” balas mereka serempak.
Selepas Kusdi mengambil posisi duduk di kursi sebelah Gus Mail, Fajar mengangguk kecil dan memberi kode kepada Bari dan Budi supaya ikut mengambil kursi dari dalam rumah Abah Ibrahim. Mereka menatanya berjejer, menempel pada tembok ruang tamu di bawah foto berbingkai milik almarhumah istri Abah Ibrahim.
Begitu semua orang sudah duduk, Gus Mail mulai bicara, “Maksud kedatangan Pak Kusdi ke sini adalah untuk membahas Nuril yang belakangan ini cukup meresahkan pondok pesantren.”
Seketika, Kusdi sedikit menunduk dan mengucap kata maaf pelan, sedangkan Abah Ibrahim mengernyitkan dahinya. Sebab, belum pernah perihal ini sampai ke telinganya.
Sebelum Abah Ibrahim menyela, Gus Mail sudah lebih dulu melanjutkan ceritanya, “Kebetulan saya bawa salah satu teman sekamarnya ke sini supaya cerita,” pandangannya tertuju kepada Budi. Santrinya itu mengangguk lambat. Semua tatapan kini tertuju padanya. Mereka juga memasang telinga baik-baik.
Budi berdeham. “Maaf, kalau cerita saya nantinya terlalu jujur, tapi ini benar-benar yang saya alami. Akhir-akhir ini Nuril kelakuannya aneh. Pernah selama beberapa waktu di kamar, dia ngomong atau teriak-teriak sendiri. Kadang, dia diam saja, ketakutan. Kalau sudah seperti itu, sebenarnya kami takut Nuril mengamuk atau berbuat yang membahayakan dirinya sendiri, apalagi kami. Sepertinya Nuril… sakit jiwa.”
Gus Mail mengambil alih kendali setelah memastikan Budi menyelesaikan ceritanya. “Bukan hanya Budi yang merasakan keanehan itu.” Dia lalu melemparkan pandangannya kepada Fajar dan Rama, seolah mempersilakan keduanya menambahkan cerita. “Pengurus pondok juga pernah mengetahui kelakuan ganjil Nuril.”
Fajar dan Rama mengangguk, serempak.
“Kalian bisa ceritakan,” imbuh Gus Mail.
“Malam itu, seperti biasa, semua santri sedang berkumpul di ruang makan menunggu pembagian makan malam. Tiba-tiba, Nuril berteriak. Semua santri terkejut. Sebagian ketakutan,” Fajar menerangkan.
“Iya, setelah kami tanya, kata Nuril ada kecoak terbang. Padahal, tidak ada hewan seperti itu di sini. Kami rajin bersih-bersih. Semua tertata rapi dalam jadwal,” Rama menambahkan.
“Mohon maaf atas kelakuan anak saya yang mengganggu kenyamanan pondok pesantren ini. Mungkin, waktu itu anak saya sedang… kumat,” Kusdi menimpali lirih. Pandangannya jatuh ke dengkul. Dia lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangan.