Wajah cemas Dullah dan Bari masih terpampang nyata saat menunggu Nuril kembali ke kamar. Mereka takut akan memperburuk situasi kalau sampai menyusul keberadaan temannya itu. Meskipun sempat jengkel ketika tahu teman barunya itu bertindak gegabah dengan pergi ke perpustakaan sendirian guna mencari bukti, tetapi kekhawatiran jelas mengambil alih ketika Budi meminta Nuril mengekorinya menuju rumah Abah Ibrahim. Segalanya tampak tidak baik-baik saja, bahkan sampai Nuril kembali ke kamar sembari berkemas.
“Kalian habis didatangi arwah Mas Nugraha, ya? Pucat banget,” canda Nuril sambil menjejalkan satu demi satu pakaian dari dalam lemari ke dalam tasnya.
“Kamu ngapain mindah-mindahin baju? Mau pergi?” Dullah segera memupus prasangka buruk dari dalam kepalanya. Dia bahkan masih berdiri dan berkacak pinggang. “Apa kita gagal nolongin Mas Nugraha?”
“Aku bilang juga apa. Makanya, jangan bertindak sendiri-sendiri. Jadi begini kan akibatnya―” Bari kemudian memotong sendiri omongannya. Dia kebingungan menentukan sikap.
Karena mendapati pelototan Bari dan Dullah, Nuril terpaksa menghentikan kegiatannya. Dia tidak ingin kedua temannya itu berasumsi liar. Jadi, Nuril memutuskan menceritakan semuanya, mulai dari dipanggil Abah Ibrahim melalui Budi sampai dengan rencana pemanggilan pihak audit independen untuk menyelesaikan masalah dana hibah.
“Terus, kenapa sekarang kamu malah beres-beres baju kalau masalahnya sudah selesai?” Bari gemas sendiri ketika harus menanyakan hal itu.
“Kamu kan bisa lanjut mondok di sini, Nuril. Nggak harus pergi. Kalau perlu, sekolah di sini sekalian,” imbuh Dullah sambil geregetan.
Keduanya lalu duduk untuk mengurangi rasa jengkel yang telah menyentuh ubun-ubun. Mereka takut, emosi mengambil alih.
Pandangan Nuril menerawang jauh sebelum akhirnya terdengar dengkusan. Bola matanya mengunci tatapan kedua orang itu lekat. “Awal kita ketemu dulu, kalian pernah mikir aku ini normal atau gila, nggak?” tanyanya dengan intonasi sedatar mungkin.
Mereka tidak menyangka mendapatkan pertanyaan tersebut. Bari dan Dullah bahkan sudah lupa pernah memikirkannya.
“Hmmm….” Dullah kebingungan merespons. Sikunya menyenggol lengan Bari, mencoba meminta tolong untuk menghalau canggung yang sebentar lagi mungkin hadir. Atau, sudah berada di tengah-tengah mereka?
Karena jeda sekian detik sebelum membalas dengan gumaman, hal tersebut membuat Nuril menarik kesimpulan bahwa jawaban mereka adalah iya.
“Tenang saja, aku sama sekali nggak tersinggung,” ucap Nuril santai.