Apalah arti sebuah nama, ungkapan itu memang sangat kuyakini benar adanya. Nama hanya sederet kata-kata yang hanya akan berakhir di KTP saja. Karena menginjak usia remaja, dijamin teman-temanmu akan memberimu julukan yang ajaib, sesuai dengan kebiasaanmu atau pun kemiripanmu dengan sebuah objek. Kawanku ada yang dipanggil Bokir karena kemiripannya dengan aktor legenda tersebut, terutama di bagian gigi. Ada juga yang dipanggil twiti, karena hobi piara burung. Sedangkan aku dipanggil manuk sioto, artinya ayam potong. Panggilan itu muncul karena tubuhku yang gempal dan montok, kata mereka mirip ayam boiler di KFC. Aku sudah sering protes kepada mereka, minta diganti dengan yang sesuai tokoh idolaku, si sembilan benua di tapak sakti, tapi mereka menolak secara aklamasi. Katanya, tokoh itu tidak mencerminkan diriku, pasalnya sembilan benua badannya otot semua, sedangkan aku, minyak semua.
Tapi hari ini, aku berubah pikiran. Nama itu ternyata sangat penting, terutama saat berhubungan dengan jodoh. Sekian lama menjadi jomblo membuatku hampir berganti julukan, menjadi Raditya Dika. Padahal berulang kali kukatakan kepada mereka, itu orang sudah kawin, sudah bukan lagi king of jomblo. Tapi tidak ada yang percaya, karena negara kadang lupa menguatkan sinyal internet di kampung kami, Huta Saing, Simalungun.
“Mak, tolonglah, Mak.” Sudah seminggu aku merajuk, agar mamak mau mengganti namaku. Tapi Mamak menolak permintaanku meskipun aku sudah beralasan, "kalau mamak ganti namaku, mamak akan cepat dapat menantu."
“Macam-macam alasan kau. Menantu tidak didapat dari nama, tapi dari ketulusan hati kau.” Mamak mulai menasihati. Mamakku ini memang seorang sastrawan ulung, semua kalimat yang terlontar dari mulutnya penuh dengan nilai dan merdu didengar.
“Tolonglah, Mak. Mamak mau aku jadi seperti Ende?”
“Hus, Jono dinilat bibir asa nidok hata.” Mamak kembali dengan perumpamaannya. Dia selalu begitu setiap kali aku menggunakan kakak perempuanku sebagai perbandingan.
“AYAM POTONG! KUPOTONG LIDAH KAU!” Tiba-tiba Ende berteriak dari ruang tamu. Aku langsung menciut dan berdiri di belakang Mamak yang sibuk meracik bumbu untuk makan siang kami.
“Dasar, anak boru nasolaku!” Balasku.
Kali ini Mamak langsung mendelik ke arahku. Nampaknya aku kelewatan. “Jaga ucapan kau! Kau tidak tahu perasaan Ito kau semenjak batal kawin kemarin.” Mamak menghardik ke arahku.
Memang tragedi yang menimpa kakak perempuanku agak tragis. Calonnya kabur saat mangalo alo boru, tergoda dengan sang mantan yang menurutnya menjadi lebih cantik dan bersinar. Macam pualam saja.
“Sudah dua minggu kau minta ganti nama. Dua minggu pula kau minta uang untuk pergi ke Jawa. Untuk apa? Cari kerja tidak, daftar kuliah pun tidak!”
“Aku janji akan daftar kuliah lepas aku ke Jawa dan ganti nama, Mak. Tolonglah, Mak.”
“Asal kau bicara, namamu itu mampe goar, nama leluhur yang masyhur. Seluruh marga diundang untuk menabalkan nama kau. Lagi pula, Mamakmu ini harus siapkan gondang untuk keinginan kau ganti nama. Ah, repot!”
Aku tidak menanggapi Mamak lagi, kalau sudah bicara tentang kemahsyuran nama yang kuemban, dia selalu berlebihan. Dia lupa kalau nama leluhur yang dia maksud itu, disematkan ke abangku, bukan aku. Usia sudah menggerogoti ingatannya.
“Jangan merajuk lagi. Ke belakang sana, lihat babimu, tu bulan naro maranak nama i.”
“Ah Mamak, babi saja diurusi!” Aku beringsut kesal. Mamakku itu memang pecinta ternak, semacam ada relasi kimia antara dia dan babi-babi itu. Memang di rumah ini, satu orang bertanggung jawab dengan satu babi. Semacam investasi personal, bisa dijual kalau dibutuhkan.
Kembali ke pergantian nama. Aku bukannya tanpa alasan meminta ganti nama, tapi memang ada alasan jodoh dibaliknya, setidaknya itu yang aku rasakan saat ini. Lagipula, namaku ini sama sekali bukan nama Batak, aku malu sebagai putra asli kelahiran Simalungun.
“Halo manuk sioto, sonaha kabarmu?” Ompu Togar menyapaku yang sedang mengurut babi di belakang. Ompu togar adalah satu-satunya ompu dalam silsilah keluarga yang selalu mendukungku. Bisa dibilang, kerabat paling favorit meksipun hobinya yang suka menceritakan kejayaan masa lampaunya, agak sedikit menyebalkan.
“Sehat, Ompu.” Aku membalas malas.
“Macam mana kau? Jadi ke Jawa?”
“Entahlah, Ompu. Mamak tidak merestui.”
“Jadi segitu saja cintamu?”
Aku melirik ke arah Ompu.
“Tabunganku hanya dua ratus ribu, Ompu. Macam mana bisa sampai Jawa. Sedangkan acaranya lima hari lagi. Tak sempatnya aku kerja cari uang.”
“Amang tahe, tarsonggot au! Kukira apa masalahmu. Kalau uang bisa dicari, kau mandikan saja semua kerbauku di ladang. Kuberi kau satu juta sebagai upahnya.”
Aku terkesiap tiba-tiba, ucapan Ompu barusan bagaikan oasis di tengah padang pasir, membasahi dahaga, memecah kebuntuan. Inilah mengapa Ompu Togar menjadi favoritku.
“Kalau bicara cinta, aku pun jadi teringat my first love dulu.” Ompu melanjutkan dengan logat Batak kental. Agaknya dia mau mulai menceritakan masa jayanya lagi.
"Ah, peduli setan. Kalau perlu, aku gelar tikar di sini, mendengarkan dia bercerita sehari semalam, asal bisa ke Jawa."
Setelah dua setengah jam Ompu bercerita, sebuah geluduk mengakhirinya. Untunglah hujan akan turun, kalau tidak aku pasti sudah pingsan di sini. Tidak kusangka ceritanya tentang cinta, jauh lebih lama ketimbang ceritanya waktu merantau di Jakarta. Dia bahkan menceritakan detail saat dia menjelajahi seluk beluk wanita idamannya yang ternyata janda beranak empat itu.
“Nanti malam, bicara lagi dengan mamak kau. Pasti dia mengizinkan kalau kamu meminta baik-baik. Pasangap ma namatorasmu.”
Aku hanya menangguk mendengarkan nasihat Ompu. Memang sejak aku ingin pergi ke Jawa, hubunganku dengan Mamak agak fluktuatif, macam harga dollar.
..........
Malam itu juga kembali kuberanikan diri untuk bicara pada mamak, kutunggu dia selesai semua urusan rumah, baru kudekati. Kupijati kakinya yang selonjoran sambil berbicara sehalus mungkin.
“Mak, izinkan aku ke Jawa, Mak. Aku tidak akan meminta uang dari Mamak.” Ujarku sambil berusaha tidak menyinggung perihal ganti nama.
Mamak menghela napas panjang, lalu berujar pelan. “Ise goranni hasomanmuai ambia?”