Kala mentari mulai keluar dari persembunyiannya. Saat denyut kehidupan mulai bergerak. Ketika suasana lengang mulai terisi satu per satu suara. Begitu pula di rumah ini.
Hai, namaku Rionaldy Zhafran. Kau bisa memanggilku, Rio. Aku kelas sembilan sekolah menengah pertama. Dan memiliki seorang adik perempuan bernama Dea. Ia masih duduk di kelas tujuh.
Hari ini, sama seperti hari-hari lainnya. Setiap pagi, kami akan menjalani ritual sebelum berangkat sekolah. Yaitu, mencium tangan dan pipi Mama. Lalu Mama akan mendoakan kami.
Di sinilah aku sekarang, berdiri di depan pintu kamar Mama yang terbuka lebar. Aku bisa melihatnya yang terbaring lemah di atas ranjang.
"Rio, sini, Sayang."
Rupanya Mama menyadari kehadiranku. Suara Mama begitu lembut. Selalu lembut.
Aku melangkah menghampiri, duduk di sebelahnya. Mama menatap lamat-lamat wajahku. Bibirnya menyunggingkan senyum sehangat mentari. Tanpa banyak kata, aku membantunya bangun.
Mama duduk di samping ranjang dan mulai mengusap dahiku. Ya, ritual pagi akan segera dimulai.
Mama tersenyum dan mengelus kepalaku. "Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a."
Dea kemudian menyusul datang. Dalam hening, ia duduk di sebelah Mama. Lalu Mama mengulang ritualnya. Mengelus kepala adikku dan melantunkan doa yang sama.
Dalam diam, aku hanya menatap Mama. Wanita yang melahirkanku kembali tersenyum dan balik memandangku penuh cinta.
"Ini doa yang biasa dilantunkan Nabi Zakaria."
"Aku tahu," celutuk Dea sok tahu. Aku menyenggol lengan adikku dengan sudut siku. Tak sopan berkata seperti itu. Dea malah melotot. Lalu mengelus lengannya. Lebay. Mama hanya menggeleng melihat tingkah kami.
"Rio mau tahu artinya?"