MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #2

SEBUAH KERINDUAN

Apa yang harus kulakukan pada kenangan yang terus menerus hadir memenuhi pikiran?”

***

Sering kali kita baru menyadari begitu berartinya seseorang, ketika ia tiada. Seperti juga, kepergian Mama yang tiba-tiba. Menyisakan sesak dan nyeri. Sungguh, aku ikhlas. Namun, tetap saja butuh waktu untuk menerimanya. 

Sebagai anak laki-laki, aku sering membantah kata-kata Mama. Bagiku Mama sangat cerewet. Apa pun yang kulakukan selalu dikomentarinya.  

"Rio, jika main sepeda jangan ngebut-ngebut dan jangan main terlalu jauh dari rumah. Mama ngeri, banyak orang jahat saat ini." Aku hanya diam, Mama tak tahu asyiknya melalui rute perjalanan yang belum ditelusuri. 

Kini, aku mengubur rindu dengan sibuk belajar. Apalagi sekarang aku duduk di kelas sembilan.

Sejak Mama tiada, bukan hanya aku yang sibuk. Ayah juga semakin jarang di rumah. Sedangkan Dea menjadi pemurung dan sedikit-sedikit menangis. Kadang capek dan kasihan melihatnya bertingkah begitu.

Contohnya saat sarapan tadi pagi. Di tengah makan, adikku tiba-tiba terisak. 

"Kenapa, Dea?" tanyaku heran melihat perubahan emosi yang tiba-tiba itu. 

Tetes bening di pipinya terus menerus mengalir deras.

"Nasi goreng ini...," ucapnya terbata. Aku teringat Mama sering membuat sarapan dengan nasi goreng dengan campuran teri medan dan tempe. "Dea kangen masakan Mama, Mas."

Aku menghela napas. Dan hanya bisa terdiam. Tak tahu harus bicara apa untuk menghibur adikku.

"Nasi goreng Bibi juga enak. Ayo dimakan, Dea. Nanti kamu sakit!" ujar Ayah tegas.

Kami melanjutkan makan dalam hening. Namun, sambil mengunyah nasi goreng, mataku melirik Ayah juga Dea. Aku memang tipikal pengamat. Yang suka mengamati keadaan.

Aku menyadari jika mata Ayah masih diselimuti kesedihan. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya, tanda orang sulit tidur. Wajah Ayah yang biasanya klimis, kini terlihat agak berantakan. Ada rambut-rambut halus di sekitar cambang dan di atas mulutnya. Sepertinya Ayah sudah beberapa waktu ini tidak bercukur.

Lalu aku melirik Dea. Adikku itu terlihat keras memaksa dirinya untuk makan. Ia menyendok nasi goreng dengan perlahan dan menyuapnya sama pelannya. Mungkin jika ini sebuah adegan film, gerakan Dea seperti slow motion. Begitu lambat dan tanpa semangat. Sesekali ia menyeka pipinya yang basah oleh buliran air.

Di waktu lain, aku mendapati Dea yang tersedu di dapur. Aku menghela napas. Menyadari betapa adikku tak pernah lagi tersenyum sejak Mama tiada. Dapur ini adalah ruang favorit Mama dan Dea. Sebelum Mama sakit, mereka suka mencoba-coba resep baru. Dea, adikku sangat suka membantu Mama memasak. 

"Dea." Panggilan lembutku tak membuatnya menoleh. Ia masih duduk memeluk lutut. Terisak. Hingga aku kembali memanggil namanya. Kali ini ia mendongak dan buru-buru mengusap matanya. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. 

"Dea harus kuat. Mama nggak kan senang melihat Dea kayak begini terus." 

Adikku menunduk. Bulir-bulir bening berjatuhan semakin deras. 

"Aku ...” Ia berhenti, mengusap kembali matanya. “Aku kangen Mama, Mas. Kangeeen banget," ujarnya kembali sesenggukan. Tak butuh waktu lama, tangisnya kembali pecah tak terbendung. Oh Tuhan. Refleks, aku merangkul bahunya. Membiarkan tangisnya pecah di dadaku.

***

Hari berganti hari. Saat rumput-rumput di halaman depan yang menyembul tak beraturan telah dirapikan Bibi. Ketika pohon mangga di depan rumah telah berbuah kembali. Kami tetap melanjutkan hidup tanpa Mama. Masih terus berjuang menyembuhkan luka kehilangan dengan cara kami masing-masing. 

 Ayah semakin giat bekerja, sering lembur dan melakukan dinas ke luar kota. Jika tugas ke luar kota, Ayah meminta adiknya, Tante Lana, untuk menemani kami. Aku semakin disibukkan aktivitas untuk menghadapi kelulusan. Sedangkan Dea asyik dengan dunianya. Ia lebih sering mengurung diri di kamar. Menyibukkan diri dengan membaca dan menulis diari. 

Lihat selengkapnya