Sejak obrolan berdua, tak lama Ayah mulai melancarkan aksi mengenalkan ‘temannya’ pada kami. Puncaknya di hari Minggu, sejak sarapan Ayah meminta kami menyiapkan diri. Pukul sembilan pagi kami berangkat. Mobil yang dikendarai Ayah bergerak menuju sebuah rumah.
Saat tiba di rumah bercat biru itu, seorang anak perempuan berjilbab seusia Dea keluar membukakan gerbang. Aku terkesiap karena mengenalinya. Dia Risa, adik kelasku di ekskul Paskibraka. Aku turun dari mobil dan membantu Risa membuka pintu gerbang.
"Eh, Kak Rio. Risa nggak nyangka ternyata yang datang itu Kak Rio dan keluarga," ucap Risa tersenyum ceria. Aku membalas senyumnya dengan perasaan aneh. Ah ya Allah, kenapa Risa? Kami akan menjadi saudara jika Ayah dan ibunya Risa menikah.
Seorang wanita berjilbab biru muda dengan wajah yang mirip Risa datang menghampiri. Ia tersenyum dan menyambutku. "Ini Rio, ya?" ujarnya, hangat. Aku membalas senyum dan mencium tangannya. "Saya, Tante Ayu," ucapnya memperkenalkan diri.
Aku mengamati wanita yang dipilih Ayah untuk menggantikan Mama. Wanita itu cantik, dengan raut wajah khas wanita Sunda yang ayu. Tutur katanya lembut, sepintas mengingatkan pada Mama. Sekejap muncul pemahaman mengapa Ayah memilihnya. Wanita itu mirip Mama. Ia juga ramah dan terlihat tulus.
Ayah turun dari mobil dengan membawa bingkisan, senyum terkembang di bibirnya. Di belakang Ayah berjalan adikku, Dea. Melihat ekspresi wajahnya, aku tahu ia tak nyaman. Wajah itu cemberut. Dea bahkan tak menerima uluran tangan Risa. Dengan secepat kilat, ia mencium tangan Tante Ayu.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah yang tak terlalu besar, tetapi terasa hangat ini. Sebuah foto keluarga terpampang di ruang tamu. Foto Tante Ayu, Risa dan seorang pria. Oh itu pasti ayahnya Risa. Wajahnya sepintas mirip Risa.
Tak kusadari Risa datang dan meletakkan nampan berisi minuman segar, orange juice.
"Om Arya, Kak Rio, Dea, silakan diminum, ya.” Di belakangnya, Tante Ayu datang dengan membawa sebuah piring. Ada aroma yang begitu menggoda. Piring itu berisi pizza dengan irisan tomat bercampur keju leleh, paprika dan potongan jagung menyembul di antara olesan saus bolognaise.
"Ayo, Rio, silakan diicip pizza buatan Tante dan Risa ini, loh," seru Tante Ayu. Ia kelihatan paham jika aku ingin segera mencicipi pizza yang tersaji di depan meja. Tanpa ragu, aku mengambil potongan pizza dan mulai memakannya.
Gigitan pertama dimulai dari pinggiran cheesy bites. Hmm rasanya empuk tetapi garing. Ada perpaduan keju cheddar dengan mozarella dengan porsi yang pas. Selanjutnya aku menggigit bagian tengah pizza. Lidahku bisa merasakan potongan sosis, daging asap, paprika dan pipilan jagung yang berpadu serasi dengan saus bolognaise. Rasanya lezat. Dalam waktu singkat, aku sudah memakan dua potong pizza.
Ayah tertawa melihatku yang begitu menikmati pizza buatan Tante Ayu. Sedangkan Risa menatapku heran.
"Kak Rio, laper banget, ya?" ujar Risa yang membuatku tersadar, semua mata yang ada di ruangan ini tertuju padaku. Ya ampun, ternyata dari tadi hanya aku yang asyik makan pizza. Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal.
Aku melirik Dea yang diam saja. Padahal aku tahu dia juga suka pizza, tetapi gengsinya mengalahkan kesukaannya. Tante Ayu menyodorkan piring berisi pizza pada Ayah, Dea dan Risa. Ayah mengambil sepotong, begitu juga Risa, hanya Dea yang menggeleng. Adikku itu lebih memilih mengambil minum dan memakan kripik kentang yang juga tersedia di meja.
Aku mengamati kudapan-kudapan yang tersaji di meja. Semuanya kesukaanku dan Dea. Sebuah permulaan yang manis. Sikap Tante Ayu yang bersahabat pada kami cukup mengesankan. Entahlah apakah ia akan tetap bersikap baik jika sudah menjadi istri Ayah.
Aku tak terlalu mendengarkan obrolan Ayah, Tante Ayu, juga Risa. Mulutku sibuk mengunyah makanan. Aku malah memperhatikan Dea. Sejak Mama meninggal, adikku itu jadi berubah pendiam. Saat Risa mengajaknya masuk ke dalam, Dea menggeleng. Ia memilih duduk dekat sekali dengan Ayah, seakan-akan takut ayah kami itu direbut Tante Ayu.