Pernikahan Ayah dan Tante Ayu digelar sederhana di sebuah Masjid Raya. Setelah akad, aku harus mulai membiasakan diri menyebut Tante Ayu dengan sebutan Bunda. Ada hal yang kusayangkan dari pernikahan ayah ini. Karena akibat pernikahan ini, aku dan Risa akan menjadi kakak beradik.
Kau tahu bagaimana rasanya saat gadis yang kausuka tiba-tiba menjadi adikmu?
Tiba-tiba saja kalian akan tinggal serumah. Kau akan bertemu setiap hari. Beraktivitas bersama. Saling menyayangi sebagai saudara. Ah!
Sebagai saudara? Huft. Andai bisa memilih. Kini segala kesenangan saat mengamatinya dari jauh, sirna. Tiba-tiba, aku terpenjara, dan tak bisa memilih.
Saat aku dan Dea tiba di Masjid An Nur tempat akad akan digelar, Risa menghampiri kami dengan wajahnya yang ceria, sedangkan Ayah langsung disambut pihak keluarga.
"Halo Kak Rio dan Dea," sapa Risa ramah. Ternyata kami memakai baju dengan warna dan bahan yang sama. Wajah Dea terlihat tak suka ketika menyadari hal itu.
"Ih, kenapa sih harus kembar gini. Jelek!" ujarnya kesal, sambil menarik-narik ujung gaunnya.
"Sshh, Dea, sabar, acara ini cuma sebentar. Dea kan sayang Ayah," hiburku sambil menarik tangan adikku. Kami menaiki tangga menuju ruang akad di lantai dua masjid. Lantunan ayat suci terdengar mengalun syahdu. Risa mengikuti kami di belakang. Ia memanggilku ketika kami tiba di dekat pintu masuk.
"Kak Rio.” Aku menoleh. Risa tersenyum. Ah, sial! Senyumnya begitu manis. Aku menghela napas. Sampai kapan aku harus berpura-pura tak ada apa-apa?
“Iya, kenapa, Ris?” jawabku, berusaha terdengar santai.
"Tamu laki-laki dan perempuan dipisah, Kak. Itu kakak duduk di barisan kanan, yang perempuan di barisan kiri,” terang Risa ramah.
Aku mengangguk. “Oh, oke. Thanks, ya.”
Dea kembali tersenyum. Ia mengalihkan pandangan ke Dea.
"Ayo, Dea, ikut aku," ajak Risa berusaha menggandeng Dea, tetapi tangan itu ditepis Dea dengan kasar. Adikku berjalan sendiri menuju barisan tamu perempuan, menuju ke arah Tante Lana dan Eyang yang telah duduk manis di dalam masjid. Risa sempat terdiam, mungkin kaget melihat reaksi Dea.
"Ehm, maafin Dea, ya, Ris.”
“Nggak apa-apa, Kak.”
Suasana jadi terasa canggung. Aku memutuskan untuk segera duduk.
“Mas Rio ke sana dulu, ya," ujarku ramah. Aku menghargai usaha Risa untuk mengakrabkan diri. Risa tersenyum dan mengangguk. Ia pun bergegas menuju barisan tamu perempuan, duduk di samping bunda dan keluarganya.
Aku melirik calon ibuku yang terlihat anggun. Tiba-tiba kelebatan wajah Mama hadir dalam pikiran. Ia yang tersenyum, begitu cantik. Aku menghela napas, mengusir rasa cemas yang sesaat hadir. Lalu mengalihkan pandangan ke arah depan, berusaha konsentrasi.
Di depan sana, Ayah tengah melangsungkan prosesi ijab kabul. Tak lama, sahlah Ayah dan Bunda Ayu menjadi sepasang suami Istri.
Sebuah doa pernikahan terucap dari bibir penghulu, “Barakallahu laka, wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khayr." Yang artinya adalah, mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.