Tiga tahun melesat cepat. Aku lulus SMU dan diterima di fakultas teknik sebuah kampus negeri di Bandung. Sedangkan Paul melanjutkan pendidikan di fakultas hukum universitas negeri di Depok. Tiga tahun bersahabat, kini kami harus berpisah.
“Selamat, Yo! Langkah lo jadi arsitek udah terbuka,” ujar Paul. Kami melakukan tos ala anak KPF, sebelum akhirnya berpelukan.
“Iyup. Lo juga Paul, met jadi anak hukum.”
“Gue bakal sering ke Bandung, nengokin lo!” ujar Paul riang.
“Nggak usah janji! Ntar juga kalau kita mulai kuliah udah sibuk masing-masing. Mana sempat lo ke Bandung. Ntar kita ketemuan aja di rumah.”
“Gaya lo, Yo. Selalu tua!”
Kami tertawa bersama. Langkah awal telah kami mulai. Aku dan Paul akan terus melangkah meraih cita-cita kami. Aku jadi arsitek dan Paul menjadi pengacara.
Ingat pepatah ini? "A strong hope can make your dreams come true." Dan itulah yang akan terjadi. Cita-cita menjadi arsitek muncul sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, setiap bepergian entah ke pusat perbelanjaan, tempat piknik, atau pergi ke suatu wilayah, aku suka memperhatikan bangunan-bangunan di sepanjang perjalanan. Waktu kuceritakan pada Mama, ia bilang arsiteklah yang mendesain bangunan-bangunan indah itu.
Dan, inilah aku sekarang, seorang mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikan di program studi Arsitektur.
Arsitektur sendiri merupakan ilmu dan seni dalam mendesain serta merancang bangunan dan struktur. Satu yang harus diingat, suatu bentuk yang dirancang oleh seorang arsitek haruslah memiliki fungsi dan juga memiliki nilai estetika (keindahan). Inilah mungkin yang membedakan seorang arsitek dengan insinyur sipil.
Hubunganku dengan Bunda dan Risa berjalan baik-baik saja. Tapi, tidak dengan Dea. Walau waktu terus berjalan, ia masih belum membuka hatinya. Entah sampai kapan ia bersikap seperti itu.
“Mas, kenapa kuliah ke Bandung?” Mata Dea terlihat berembun.
“Mas kan udah lama bilang mau kuliah di Bandung, Dea.”
Setetes bening jatuh. “Mas bakal ninggalin Dea sendiri di sini.”
Aku mengusap kepala adikku. “Sssh. Kata siapa Dea sendirian? Di sini ada ayah, bunda, Risa juga Rain.”
Dea menggeleng. “Dea bakal rindu Mas Rio.”
Aku menatap lekat wajah adikku, dan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Membiarkannya menangis.
“Maafkan Mas, ya. Tapi, semua akan baik-baik aja. Udah nangisnya. Cheer up!”
Dea melepas pelukannya. Ia menghapus tetes air di pipi dan terdiam.
“Everthing will be fine, Dea!” ucapku lagi.
***